Diperjalanan menuju rumah sakit. Sepertinya kedua orang itu, tak terlibat pembicaraan apapun.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung bertanya kepada resepsionis
"Bagaimana keadaan Nenek, Yah. Bukannya tadi sore Nenek, baik-baik saja?" tanya Cahaya, sambil memegang tangan neneknya yang tertidur.
"Biasalah, Ay. Namanya juga sudah tua, maklum jika Nenek sering jatuh sakit. Kamu jangan khawatir Nenekmu pasti sembuh."
"Ayah, pulanglah Cahaya akan menemani Nenek. Ayah juga harus istirahat." Cahaya masih saja setia mencium tangan neneknya.
"Tapi, Ay ..." ucapnya terpotong suara milik Langit.
"Saya akan menemani putri, Om disini. Om pulanglah."
"Baiklah kalau begitu, Ay tadi Ayah bawakan mukena, Ayah taruh lemari samping ranjang Nenek, kalau begitu Ayah pamit. Terima kasih, Nak, kamu sudah bersedia menemani putriku." Brian menepuk bahu Langit.
Setelah Brian pamit pulang, Cahaya masih saja duduk dan memegang tangan neneknya.
"Biarkan, Nenek, istirahat. Lebih baik kita keluar saja."
Cahaya duduk di samping Langit.
"Besok ada kelas?"
Cahaya hanya mengangguk.
"Besok kau masuklah, aku akan menemani nenek disini."
Cahaya menatap Langit sejenak.
"Emang Abang enggak ada jadwal ngajar?" tanya Cahaya, yang dijawab dengan gelengan kepala.
Sejenak ruangan itu sunyi tak ada percakapan antar keduanya.
"Bang, apa aku boleh bertanya?" tanya Cahaya, yang dijawab dengan anggukan kepala.
"Sebenarnya apa hubungan Abang dengan keluarga itu."
Langit berpikir sejenak, siapa gerangan yang di panggil keluarga itu oleh Cahaya.
"Maksudnya keluarga om Ari, kenapa Abang memanggilnya papi?" tanya Cahaya.
Sepertinya Langit enggan untuk menjawab. Sudah lima menit, Cahaya bertanya. Mamun mulutnya tak kunjung terbuka. Cahaya berdiri dari duduknya, ia mau kedalam ruangan nenek. Namun jalanya terhenti, di saat Langit mulai berbicara.
"Semua itu akan terjawab seiring berjalannya waktu, kau akan menemukan jawabannya di waktu yang sudah ditentukan." Cahaya sangat kesal, jawaban macam apa itu. Kenapa menggantung? Jawaban yang membuat Cahaya semakin penasaran dibuatnya.
"Kau sholat lah dulu, aku akan mencari makanan di kantin rumah sakit ini." Langit berdiri dari duduknya, dan meninggalkan Cahaya yang masih tertegun dengan jawabannya.
Langit telah kembali dari kantin. Pemuda itu membawa kantung plastik bewarna hitam di tangan kanannya. Dan di sana dia bisa melihat Cahaya yang sedang duduk di kursi. Sepertinya wanita itu sudah selesai melaksanakan sholatnya. Langit menghampiri Cahaya dan duduk di samping Cahaya.
"Makanlah." Langit menyodorkan makanan yang terbungkus dari kertas minyak dan di ikat dengan karet.
"Makasih,"
Cahaya tersenyum, melihat cara Langit memakan-makanan itu dengan tangan. Entah mengapa hal itu sangat lucu bagi Cahaya. Langit yang merasa dipandang. Pemuda itu melotot kearah Cahaya. Cahaya yang di pelototi langsung memasukkan makan itu kedalam mulutnya. Namun ...ia tak tahu jika yang ada di tangannya itu bukan nasi dan tempe melainkan irisan cabe hijau dan tumis cumi.
Perlahan makanan itu masuk kedalam mulutnya. Sedetik kemudian dia terbatuk-batuk karena pedasnya cabe dan tumis cumi itu. Langit yang ada di sampingnya, segera membuka botol air putih yang masih tersegel. Kemudian ia memberikan kepada Cahaya. Cahaya yang sudah tak tahan karena tersedak, ia langsung menyambar minuman itu. Dan langsung meminumnya dari mulut botol tersebut. Cahaya tak tahu jika Langit hanya membeli satu botol saja.
"Alhamdulillah, Abang beli duakan?" tanya Cahaya, yang takut jika Langit hanya membeli satu botol saja. Langit menggeleng. Mampus! Mungkin itu yang ada di benak Cahaya. Cahaya segera berdiri. Namun langkahnya terpotong saat Langit angkat bicara. "Jika kau ingin ke kantin hanya untuk membeli air putih, itu akan sia-sia. Karena di kantin hanya tinggal satu saja, itu pun saat aku membelinya. Dan mungkin kantin itu juga sudah tutup."
Cahaya mulai duduk kembali. Dia memaki kebodohannya. "Akh... maaf Bang, aku tak tahu jika minumannya hanya tinggal satu. Lalu bagaimana Abang minum, jika air di kantin sudah habis." Langit masih diam tak menjawab pertanyaan Cahaya. Cahaya yakin Langit akan menjawab pertanyaannya itu. Tapi entah kapan itu akan terjadi. Lima menit, dua menit atau lebih cepat.
Langit masih setia memakan- makanan itu hingga tanpa sisa. "Kau bertanya, bagaimana aku minum jika di kantin sudah tak ada lagi minuman bukan?" Cahaya mengangguk. "Tapikan minuman di tanganmu masih banyak, berikan! Atau kau mau aku kehausan sampai pagi." Langit meminta minuman itu dari Cahaya. Namun Cahaya enggan memberikannya. Langit merebut minuman itu dari tangan Cahaya. Kemudian ia meminumnya dengan cara yang sama seperti Cahaya lakukan. Di bagian yang sama dimana Cahaya meletakkan bibirnya di tutup botol itu, di bagian itu pula mulut Langit berada.
"Abang kenapa mau meminum bekas ku?"
"Terpaksa,"
"Mau kemana Bang?" tanya Cahaya. Langit tak menjawab. Pemuda itu, terus berjalan meninggalkan Cahaya. Namun Cahaya masih setia memandangi pemuda itu. Langit kembali lagi kearah Cahaya. Ternyata Langit hanya membuang sampah dan mencuci tangannya.
"Tidurlah ini sudah malam, besok kau harus kuliah bukan?"
"Enggak bisa Bang!"
"Bang apa aku boleh bertanya?" Cahaya terlalu banyak bicara malam itu. Lagi dan lagi Langit hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Kenapa Abang menerima perjodohan ini?"
Sekali lagi Langit tak segera menjawab. Dia malah memposisikan tubuhnya untuk segera tidur di kursi yang berhadap-hadapan dengan kursi yang digunakan duduk Cahaya. Langit sudah selonjoran di kursi itu dan menutup matanya dengan lengan tangannya. Cahaya mendengus sebal. Sepertinya malam itu Cahaya tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang ia tanyakan kepada Langit. Langit yang belum tertidur dia bisa melihat wajah Cahaya yang memerah karena sebal dengannya.
Cahaya perlahan mulai melakukan hal yang sama seperti Langit lakukan. Ya! Cahaya malam itu juga mulai selonjoran di kursi panjang yang ada di depan ruangan inap nek Endah.
Mata Cahaya sudah mulai tertutup, sepertinya wanita itu sudah mulai tertidur. Perlahan Langit mulai terbangun dia mulai memeriksa apa wanita itu benar-benar sudah tertidur. Di rasa Cahaya sudah tertidur Langit masuk ke ruangan nek Endah. Ia melihat nek Endah masih tertidur lelap. Matanya mulai menyapu seisi ruangan itu. Saat ia masuk pertama kali, sepertinya ia melihat selimut. Benar saja, selimut itu masih ada di tempatnya. Pemuda itu mulai berjalan kearah sofa dan mengambil selimut itu. Setelah dirasa apa yang ia butuhkan ia dapatkan. Langit kembali keluar dari ruangan nek Endah dan menutup pintu itu secara perlahan,
agar tak ada yang terbangun. Langit berjalan mendekati Cahaya dan mulai menyelimuti tubuh milik Cahaya. Di pandanglah wajah milik Cahaya yang tertidur lelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Yunia Afida
semangat terus💪💪💪💪💪
2021-09-05
0
aisyah syasyah
di tunggu dan lanjut terosssss sampek tamat
2021-08-28
0
Nina Una
semangat thor....aq suka karyamu😍
2021-08-25
1