Saat jam pulang tak di sia-siakan mahasiswa ke kantin hanya untuk mengisi perut yang sedang keroncongan.
"Ayo guys kita ngavelin mak Saidah," ucap Alexa, kepada sahabatnya.
"Lo lesbi ya Ale? Lo kan cewek ngapain suka sama mak Saidah?" tanya Williams, yang berdiri di samping Cahaya.
"Eh Wil, lo jangan salah. Lesbi itu kalau ciuman enggak dosa." Nah otak Cahaya sudah mulai bekerja sepertinya.
"Enggak dosa gimana maksud lo Ay?" tanya Rai menelisik.
Yang tak habis pikir dengan jawaban sahabatnya itu.
"Ya enggak dosa lah orang cewek sama cewek, mau ciuman juga muhrim," Cahaya memberi jeda. Sebelum ia meneruskannya kembali. "Hehehe, bercanda guys, lesbi itu haram, jadi jangan lesbi." Cahaya berbicara, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ya sudah, gua udah lapar kita ke kantin saja," ucap Fafa, yang enggak bisa nahan lapar. Kalau Fafa udah kelaparan, dia enggak ada bedanya dengan radio rusak berisiknya minta ampun.
"Ayo let's gooo!" Williams sudah jalan duluan.
"Guys, gua mau sholat dulu, nanti kalian pesenin makan kesuksesan gua yak," ucap Cahaya, kepada sahabatnya.
"Okey, gua lagi free jadi enggak sholat dulu," jawab Rai.
"Kok pada free sih kalian?" tanya Cahaya. Sepertinya Fafa dan Alexa juga sedang ada tamu datang bulan.
Karena biasanya mereka akan sholat bertiga. Karena Williams adalah non muslim. Tapi mereka bersahabat tidak memandang suku, ras dan agama.
"Jodoh kali, Ay!" jawab Fafa ngawur.
Cahaya berjalan sendirian, menuju mushola yang berada tak jauh dari kantin kampusnya.
Bruk.
"Meuah(maaf), Kak!" ucap gadis berwajah bulat.
"Oh iya, enggak apa-apa kok, Dik! " jawab Cahaya, karena yang ditabrak gadis berambut panjang itu adalah Cahaya.
"Adik disini sendirian?"
"Seureuta(bersama) papi."
"Dimana papinya? Kok kamu sendirian?" tanya Cahaya, karena menurutnya anak usia sekitar lima tahun, tidak baik jika dibiarkan sendirian. Apa lagi siang-siang. Waktu kecil Cahaya ingat, saat siang-siang sedang main di luar rumah, almarhumah ibunya akan bilang begini. 'Bintang kamu jangan kelayapan kalau siang-siang begini, ibu takut kalau kamu diculik dan matamu di congkel, lalu dijual matamu.' Wanita itu teringat dengan mendiang ibunya, ia tersenyum. Karena ibu sangat takut, jika anak semata wayangnya kenapa-napa. Ada rasa kangen, di hatinya. Cahaya dengan sosok ibu.
Cahaya yang buru-buru untuk sholat dzuhur mau tidak mau dia harus meninggalkan gadis itu.
"Adik cantik, Mbak enggak bisa nemenin kamu. Soalnya Mbak harus sholat," ujar Cahaya, karena ia harus buru-buru sholat.
"Oe Akak, enggak apa-apa."
Sebelum meninggalkan gadis berwajah bulat itu. Cahaya mengelus rambut hitam panjang milik gadis usia lima tahun yang tidak diketahui namanya itu.
Saat Cahaya meninggalkan gadis berumur lima tahun itu. Ada lelaki menghampiri bocah yang siang Itu, Cahaya ajak bicara.
"Cantik, maafin Papi. Ya, sayang!" ucap lelaki itu kepada anaknya, sambil mengelus rambut panjang anaknya sama seperti yang Cahaya lakukan siang itu.
"Iya Papi, Cantik, enggak apa-apa kok," jawab Cantik kepada ayahnya. Ya, nama gadis yang tak sengaja menabrak Cahaya adalah CANTIK.
Gadis berwajah bulat itu bingung, kenapa wanita yang ia tabrak bisa tahu namanya, padahal dia belum memberi tahu namanya kepada wanita itu.
"Baiklah kita pulang ya sayang!" ajak ayahnya kepada putrinya itu.
Ayah, membantu Cantik naik mobil. Lelaki itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Pi!" Gadis berwajah bulat itu memulai pembicaraan dengan sang ayah.
"Iya, ada apa sayang?" jawab lelaki itu yang fokus mengemudi.
"Tadi Cantik nabrak orang, tapi anehnya—"
Cantik menghadap kearah ayahnya, agar bisa melihat wajah ayahnya.
"Anehnya, kenapa sayang?" tanyanya, sambil melirik anaknya itu dan kemudian fokus mengemudi lagi.
"Dia tahu kalau namaku Cantik!" ujar gadis itu.
"Oh... mungkin kamu cantik, jadi dia memanggilmu, Cantik!"
Mungkin gadis berwajah bulat itu beranggapan kalau Cahaya adalah peramal mungkin.
"Tapi Pi.—" ucapnya dipotong sang ayah.
"Tapi apa lagi sayang?"
"Wajahnya mirip almarhumah."
Lelaki itu terkejut karena ucapan anaknya.
Cahaya yang sudah selesai mengambil air wudhu, ia mulai memakai mukena dan bersiap untuk menunaikan sholatnya.
Setelah mengerjakan kewajibannya sebagai umat muslim. Ia pun memutuskan ke kantin.
"Cahaya, KITA DISINI!" teriak Alexa, sambil melambaikan tangannya kepada sahabatnya itu.
"Lama banget sih lu, Bul Ca-Bul. Enggak seperti biasanya." Williams menggeser tubuhnya, agar sahabatnya itu bisa duduk di sampingnya.
"Biasa ada insiden dikit tadi," jawab Cahaya, yang belum mulai makan.
"Insiden apaan?" tanya Rai, sambil mengunyah makanan.
"Tadi enggak sengaja ada anak kecil nabrak gua."
"Terus, tuh anak marah-marah sama lu." Tebak Williams yang selalu berpikiran cetek alias negatif thinking.
"Ish... ya enggak lah. Tuh anak minta maaf ke gua, sepertinya orang tuanya mendidik dia dengan baik," jawab Cahaya, sambil mengingat wajah bulat milik gadis berusia lima tahun itu.
"Emang lu tahu orang tuanya?" tanya Fafa.
Tak dirasa waktu jalan begitu cepat. Siang itu ibu tiri memberi tahu Cahaya lewat panggilan telepon. Bahwa kakek Raharja, meminta Cahaya untuk datang ke kediamannya.
Cahaya yang diberi tahu ibu tirinya. Ia langsung meminta izin kepada atasannya. Bahwa hari itu, ia tidak bisa bekerja, dan kabar baiknya sang atasannya mengizinkan Cahaya untuk libur.
Cahaya yang sudah sampai depan rumahnya, ia langsung masuk ke rumah itu.
"Assalamu'alaikum." Cahaya mengucap salam, namun tak ada yang menjawab salam itu.
Berasa tak ada jawaban. Cahaya memutuskan untuk langsung ke kamarnya, untuk mandi dan berganti baju. Setelah itu ia akan ke rumah kek Raharja.
Cahaya yang sudah selesai mandi, ia langsung berganti pakaian. Karena acara mengaji bersama. Jadi, ia memilih memakai kemeja polos dan celana jeans hitam yang senada dengan kemejanya. Setelah memakai pakaian lengkap, Cahaya menjalankan kewajiban sebagai muslim, ia sholat terlebih dahulu. Cahaya yang sudah sholat ashar, ia berjalan kearah meja riasnya. Setelah selesai memakai bedak dan lipbalm, wanita itu langsung mengambil hijab pasmina dan kemudian ia letakan di bahunya. Setelah dirasa sudah siap. Cahaya akan menemui neneknya.
Wanita itu sudah ada di depan pintu kamar nek Endah, Cahaya mengetuk pintu terlebih dahulu.
"Iya, Aya!" Nek Endah tahu yang mengetuk pintu adalah Cahaya.
Cahaya yang mendapat sahutan dari dalam. Ia membuka pintu kamar nek Endah perlahan. Cahaya berjalan mendekati nek Endah yang duduk di kursi tua.
"Nek! Aya pamit mau ke rumahnya, kakek Raharja. Ya!" ucap Cahaya, berbisik ditelinga nek Endah.
"Iya, Aya, nih uang buat bayar ongkos, jangan di tolak." Nek Endah memberikan uang lima puluh ribu dua, kepada Cahaya.
Nek Endah tahu benar sifat cucunya itu. Cucu-nya akan menolak pemberian darinya, terkadang ia harus mengancam Cahaya segala agar mau menerimanya.
"Iya Nek! Aya terima, makasih ya, Nek!" Cahaya yang tahu sifat neneknya itu ia memutuskan untuk menerimanya, karena jika wanita itu menolak nenek pasti mengancam, entah itu tidak makan sehari atau lain lagi alasannya.
"Nek, ibu sama adik kok enggak ada?" tanya Cahaya. Sadari pulang dari kampus Cahaya tidak melihat ibu dan adik tirinya.
"Biasalah, Ay, ngabisin uang ayahmu, kan belum habis, Aya. Nanti kalau udah habis juga akan ninggalin
ayahmu." Nek Endah tersenyum kecut.
Nek Endah tahu kalau menantu dan cucu tirinya hanya memanfaatkan anaknya saja.
Cahaya yang mendengar jawaban dari nek Endah hanya tersenyum simpul.
Hampir tiga menit wanita itu menunggu angkot, akhirnya ada juga angkot yang lewat. Cahaya dengan cepat masuk angkot itu.
"Nyupir angkot udah lama Pak?" tanya Cahaya, sekadar basa-basi biar tidak hening. Karena kebetulan waktu itu hanya dia saja yang ada di angkot itu.
"Lumayan lah, Neng!"
"Cukup Pak? Buat makan sehari-hari bersama keluarga?" tanya Cahaya, karena pak sopir sangat ramah kepada penumpangnya. Membuat wanita itu, bersemangat untuk bertanya, masalah kehidupan. HItung-hitung cari pengalaman.
"Cukup enggak cukup, ya, di cukup-cukupi atuh, Neng!"
"Iya juga, ya. Pak! Kadang banyak uang aja masih belum cukup. Bagaimana pun kita mah harusnya bersyukur kerena masih banyak diluar sana, yang buat makan aja susah," ucap Cahaya, sambil menganggukkan kepala.
"Iya Neng, kita mah harus bersyukur, selagi bisa mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada kita."
Sepertinya kedua orang beda usia itu sangat cocok jika bicara. Ya anggap saja satu frekuensi lah. Sampai-sampai tak dirasa sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai Neng!"
"Eh... iya, makasih ya Pak!" ucap Cahaya, sambil menyodorkan uang kepada pak sopir.
"Sama-sama Neng!" jawab pak sopir itu, sambil menerima uang dari Cahaya.
Cahaya yang baru keluar dari angkot, ia langsung berjalan kearah gerbang rumah Raharja. Dan tak lupa menyapa satpam penjaga gerbang terlebih dahulu.
"Sore, Pak!" sapa Cahaya kepada satpam yang menjaga gerbang kediaman Raharja.
"Sore juga." Pak satpam membukakan gerbang untuk Cahaya, agar bisa masuk kedalam.
Cahaya yang sudah masuk di pekarangan rumah kek Raharja. Ia bingung harus ngapain, karena ia tidak mengenal satupun keluarga itu. Yang ia tahu hanya kek Raharja saja, itupun waktu kek Raharja menyapanya dengan senyuman hangat dari beliau.
Cahaya yang tak sengaja mendongakkan kepalanya, ia menangkap sosok pemuda tampan, berambut hitam yang memakai kemeja polos yang senada dengan warna rambutnya. Sedang ada di lantai dua rumah Raharja, sedang menatap langit sambil menyilang kan kedua tangannya di dada.
Orang itu lagi! Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia ada di lantai dua Mbah Raharja, ya? Apa dia kerabatnya. Itu muka kenapa selalu datar. Sepertinya muka tuh orang harus diajak senam biar enggak datar. Orang aneh. Batin Cahaya, yang memperhatikan orang itu dari bawah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Qirana
Komen tentunya
2021-11-30
0
Sri Mulyani
janjiku minimal 50 episode aku baca thor & ceritanya manarik yg semangat upnya 💪💪💪
2021-11-05
0
Rini Sarmilah
❤👍👍❤
2021-10-22
0