Acara mengaji bersama akan segera dilakukan,
Ini saatnya keluarga Raharja, menjamu orang yang mau mendoakan almarhum Bumi.
Banyaknya makanan seperti. Soto, rendang, nasi uduk, lontong sayur, sampai jajanan yang ada di Indonesia seperti, kue ambon, tahu isi, bakpia, Jogja scrummy tak lupa klepon.
Saat Cahaya keluar dari dapur dan membawa nampan berisi teh hangat, ia tak sengaja...
Bruk....
"Maaf, enggak sengaja," ucap Cahaya, meminta maaf. Tapi wanita itu, tak tahu siapa yang ia tabrak. Karena ia menunduk.
"Ceroboh," ucap pemuda itu, yang tidak bisa melihat wajah milik Cahaya. Pemuda itu meninggalkan Cahaya, sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke bajunya yang terkena teh.
Dasar aneh, aku kan sudah meminta maaf, kenapa dia bilang, apa tadi? Ceroboh! Eh, mending tadi enggak usah minta maaf aja sekalian. Batin Cahaya sambil berlalu.
Jam dinding rumah itu, sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Semua orang yang tadinya memenuhi rumah Raharja sudah berpamitan pulang. Berbeda dengan orang-orang, sepertinya wanita itu masih betah di sana. Cahaya saat itu sedang mencuci piring kotor, pekerjaan seperti itu pastinya, tak susah lagi bagi wanita itu.
"Udah Nduk, nanti biar Mbok Ijah yang nyuci, kamu makan dulu sana sama Alula!" perintah Abidah Aminah, menghampiri Cahaya yang sedang mencuci piring.
"Nanggung, Tan!" jawab Cahaya, sambil tersenyum kearah Abidah Aminah.
Cahaya yang telah selesai dengan acara cuci piring. Ia memutuskan untuk makan terlebih dahulu, karena Abidah Aminah meminta Cahaya agar makan dahulu sebelum pulang.
Cahaya yang sudah mengambil lontong sayur, ia pun makan lontong itu dengan hikmat. Sepertinya Cahaya menikmati hal itu. Ia makan pelan-pelan, katanya dengan mengunyah pelan-pelan bisa membuat kenyang tanpa harus mengambil makanan porsi banyak.
"Kek, Om, Tante, Mbak Al. Cahaya pulang dulu yak," ucap Cahaya, kepada keluarga itu.
"Nduk, iki wis bengi, (Nduk, ini sudah malam) kamu diantar Jo saja ya, Nduk!" ucap Abidah Aminah.
"Enggak usah Tan, nanti aku pakai angkot saja," tolak Cahaya.
"Jo, tolong antarkan Cahaya pulang." Pak Khan meminta Jo untuk mengantar Cahaya pulang.
"Ya sudah, Cahaya pulang dahulu, Assalamu'alaikum!" Pamit Cahaya, sambil membawa kantong plastik yang isinya makanan. Karena Abidah Aminah sudah mempersiapkan, makanan untuk keluarga Cahaya yang ada di rumah.
Setelah kepergian Cahaya, keempatnya orang itu saling tatap dan memikirkan satu hal yang sama. Yaitu wajah Cahaya yang hampir mirip dengan orang yang sudah berapa tahun meninggalkan mereka untuk selamanya.
Saat di tengah perjalanan Cahaya basa-basi bertanya pada Jo.
"Kak Jo, sudah lama kerja dengan Kakek?"
"Lumayan."
"Nama aslinya siapa Kak? Enggak Paijo kan?" tanyanya Cahaya, yang duduk di samping Jo.
Jojo menjawabnya dengan tertawa. "Bukan, nama asli Jonathan!"
"Nama panjangnya Jonatannnn?" Canda Cahaya, yang mampu membuat Jojo tertawa terpingkal-pingkal.
"Ngomong-ngomong, Tante sama Om punya berapa anak?" tanya Cahaya, yang ingin tahu anaknya Abidah Aminah dan suaminya.
"Lima!"
"Lah, Mbak Al, itu yang pertama?" tanya Cahaya menelisik.
"Bu Al, itu anak ketiga, yang pertama almarhum pak Bumi, yang kedua pak Langit dan yang ke empat dan lima Arche dan Archer."
"Yang kedua udah nikah?" tanya Cahaya.
Sit...
"Sampai."
"Makasih ya, Kak Jo!" Cahaya keluar dari mobil itu.
"Tunggu, boleh tahu siapa nama panjang mu?" tanya Jojo, yang mengeluarkan kepalanya di kaca mobil.
"Bintang Cahaya Bulan! "
"Oh!... CABUL!" ucap Jojo, yang mendapatkan tatapan tajam dari Cahaya.
Cahaya berjalan kearah rumahnya. Dan ternyata kedatangan Cahaya sudah di tunggu ibu dan adik tirinya.
"Assalamu'alaikum."
"'Wa'alaikumussalam." Ibu dan adik tirinya menjawab.
"Baru pulang, ngapain di sana, cari muka?" tanya Ibu tiri, yang sudah marah-marah.
Ngapain muka dicari segala, jika muka sudah ada di tempatnya. Batin Cahaya
Adik tiri Cahaya melihat kantung plastik yang ada di tangan kanan Cahaya langsung merebutnya tanpa basa-basi. Matanya berbinar saat melihat isi yang ada di kantung plastik itu.
"Wah Bu, kita makan enak," ucapnya kepada ibunya.
"Pulang jam dua belas juga enggak apa-apa asal kalau pulang bawa makanan," ucap Ibu tiri, yang sangat egois menurut Cahaya. Itu sih namanya matre.
Cahaya meninggalkan kedua orang itu yang sedang bahagia karena dapat makanan. Untung, Cahaya sempat mengambil sedikit jajanan yang tidak akan basi untuk besok. Ia mengambil bukan untuknya, tapi untuk neneknya.
Cahaya yang sudah sampai kamarnya, ia langsung menjatuhkan tubuhnya keranjang. Kamar yang tidak terlalu besar. Tapi sangat bersih ada rak buku yang tidak terlalu besar. Cahaya suka mengoleksi buku dan ia harus membaca setiap harinya meski hanya beberapa lampir saja. Pepatah bilang. "Membacalah Anda akan mengenal dunia lebih dekat. Menulislah, Anda akan dikenal dekat oleh dunia". Cahaya pernah membaca motivasi dari Madi Ar-Ramim.
Cahaya menatap langit-langit kamar.
Ibu, jika Ibu masih hidup. Aku akan membagi suka duka ku dengan ibu. Ibu mengasih nama Bintang Cahaya Bulan kepadaku. Tapi kenapa hidupku penuh kegelapan bagi tak ada secuil cahaya semua gelap ibu. Kenapa ibu? Aku lelah ibu.
Perlahan mata itu mulai tertutup. Cahaya tertidur setelah bertanya kepada ibu yang tidak mungkin menjawab pertanyaan darinya. Hanya waktu yang bisa menjawabnya kenapa ibu memberi nama 'Cahaya'. Sepertinya wanita itu melupakan sesuatu. Ya, Cahaya lupa menjalankan tugasnya sebagai seorang muslimah, ia tidak sholat isya. Tidak biasanya wanita itu lalai. Sepertinya ia sangat lelah fisik dan batinnya.
Jarum jam dikamar Cahaya terus bergerak. Detik demi detik, menjadi menit, menit berubah menjadi jam. Hingga jam dua belas malam Cahaya belum membuka matanya. Apa wanita itu akan terbangun sampai cahaya matahari membangunkannya.
Jam menunjukkan pukul setengah dua dinihari. Mata itu mulai terbuka secara perlahan, meski rasa kantuk masih menyelimuti matanya. Tapi apalah daya jika kewajiban, menuntut untuk tetap bangun.
Iya! Kewajiban sebagai hamba Tuhan.
Cahaya terbangun, karena ia ingat ia belum mengerjakan sholat isya. Cahaya berjalan kearah kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Ia pun mengerjakan sholat isya dan dilanjutkan dengan shalat tahajud. Cahaya berdoa agar diberikan kesabaran dan kekuatan hati, agar ia tidak pernah mengeluh dengan takdir yang Tuhan berikan kepadanya. Tak lupa ia berdoa untuk ibu dan almarhum Bumi agar ditempatkan di tempat yang terbaik menurut Allah.
Setelah sholat tahajud. Cahaya tidak tidur lagi, ia membaca buku yang berjudul "Berobat dengan sedekah" Di buku itu ia mendapat pelajaran, ternyata ada empat manfaat agung dari shalat tahajud yang disinyalir dari sebuah hadist. Hadist itu berbunyi "Kerjakanlah shalat malam oleh kalian, karena ia adalah tradisi orang-orang shalih sebelum kalian, sebagai sarana yang dapat ¹mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, ²menghapuskan berbagai keburukan, dan ³mencegah dari perbuatan dosa, serta ⁴mengusir penyakit dari tubuh."
Cahaya mulai berkutat dengan perabotan masak. Cahaya mulai memasak dengan hati yang bahagia. Ia memasaknya penuh dengan cinta kasih. Karena ayah sedang diluar Kota, jadi Cahaya sedikit mengurangi jatah masakannya. Setelah selesai dengan pekerjaannya, ia memilih untuk sholat subuh dan setelah itu. Cahaya akan berangkat kuliah. Jika ibu tiri tidak menghargai usaha Cahaya, ia sangat kejam. Apa dia tak berperasaan. Entahlah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Qirana
buat Author sayang
🌹🌹🌹
2021-11-30
0
Andiyas
udah punya muka, ngapain cari muka?😂😂
2021-11-01
0
Yunia Afida
novelnya banyak hikmah ya
2021-09-05
0