Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkunci di Ruang Server
Gila. Itu kata pertama yang muncul di kepala Elena saat dia melompat melewati polisi yang kebingungan. Ruang konferensi pers itu sudah kayak pasar, tapi sekarang semua orang panik karena pop-up jahat Ratu. Polisi cuma fokus kepada Elena, si pembunuh berdarah dingin menurut data palsu yang baru saja ter inject ke jaringan Asmara Cafe.
"Minggir!" teriak Elena, mendorong troli katering yang ada di depannya.
Dia berlari tanpa menoleh, setengah Kunci Jaringan ada di genggaman tangannya. Panas. Panas karena dia harus meninggalkan Panji yang sekarat sendirian. Gedung lama. Ruang Server. Pesan terakhir Panji itu berputar-putar kayak loop lagu yang bikin stres.
Elena berhasil keluar dari pintu darurat, lalu menyelinap melalui parkiran bawah tanah. Dia tahu, mobilnya sudah pasti diawasi. Dia harus mencari cara lain. Begitu dia sampai di jalanan yang agak sepi, dia menyetop taksi.
"Ke kawasan industri lama, yang dekat stasiun kereta mati, Pak. Cepat!"
Sopir taksi itu meliriknya curiga, melihat pakaian branded-nya yang kotor dan compang-camping. "Mbak mau ke sana? Kawasan itu sudah kayak hutan, loh. Sudah lama enggak ada orang."
"Cuma ke sana. Saya bayar dua kali lipat, deh," balas Elena, melempar beberapa lembar uang tunai. Sopir itu langsung menginjak gas. Uang memang bicara, di situasi darurat sekalipun.
Sepanjang perjalanan, Elena mencoba menghubungi Bima dan Ratu, tapi nihil. Dia tahu Ratu pasti sedang menyembunyikan diri, memastikan Panji tidak bisa bicara, dan mencari setengah kunci yang Elena bawa.
Elena menatap setengah kunci di tangannya. Kunci perak itu retak, tapi masih berfungsi. Ini adalah satu-satunya chip yang dia punya untuk melawan Ratu.
Taksi itu berhenti di depan gerbang berkarat. Di seberangnya, berdiri sebuah bangunan tua era 80-an, tampak bobrok dan terlantar, ditelan semak-semak. Ini pasti 'Gedung Lama' yang Panji maksud.
"Tunggu, jangan matikan mesin," kata Elena, memberikan uang sisa.
Dia berjalan cepat ke pintu masuk utama. Gelap, pengap, dan berbau debu. Panji memilih tempat ini sebagai ruang server cadangan? Gila.
Di lobi yang penuh sarang laba-laba, Elena menemukan papan petunjuk yang pudar. Ada tulisan tangan yang menunjuk ke bawah, "Server."
Dia menuruni tangga beton yang licin. Begitu sampai di lantai bawah tanah, udaranya langsung dingin. Di balik pintu besi tebal yang sedikit terbuka, terdengar dengungan rendah yang konstan. Ruang Server.
Elena mendorong pintu itu. Ruangan itu kecil, tetapi dipenuhi rak-rak server kuno yang berdengung keras. Lampu darurat berwarna merah berkedip-kedip, membuat suasana makin mencekam. Inilah jantung besi Asmara Cafe, tempat semua data krusial, yang Panji rahasiakan, bersemayam.
Di tengah ruangan, ada satu unit console utama yang tampak lebih modern daripada yang lain. Di sebelahnya, ada lubang kunci untuk Kunci Jaringan. Dan yang lebih penting, di lubang kunci itu, tertancap separuh kunci yang dia tinggalkan di podium Asmara Cafe.
"Ketemu," bisik Elena, lega sekaligus ngeri.
Dia mendekati console, mencabut setengah kunci yang tertinggal itu, dan menyatukannya dengan separuh kunci yang ia bawa. Kunci itu berbunyi klik, menyatu sempurna.
Tepat saat Elena hendak memasukkan kunci yang utuh ke lubang kunci console utama, pintu besi di belakangnya berderit terbuka.
"Aduh, terlambat sedikit, ya, Elena?"
Suara itu. Dingin, menusuk. Ratu Widaningsih Asmara. Dia berdiri di ambang pintu, pergelangan tangannya diperban kasar, wajahnya dipenuhi dendam. Di belakangnya, Bima berdiri dengan seringai licik, memegang pistol kecil.
"Aku tahu kamu akan datang ke sini," kata Ratu, melangkah masuk perlahan. "Panji selalu memilih tempat paling menyakitkan untuk menyimpan rahasianya. Dan tempat ini... ini adalah tempat dia dan Renata dulu pernah merencanakan masa depan mereka. Puitis, kan?"
"Kamu menjebakku dengan Bima," kata Elena, memegang Kunci Jaringan erat-erat.
"Tentu saja. Bima adalah double agent terbaikku. Dia yang mengurus flash drive palsu di server, dia yang memastikan polisi nggak terlalu cepat, dan dia yang mengurus Panji. Kami hanya butuh kamu menemukan kunci ini untuk kami," jelas Ratu, bangga dengan kecerdasannya.
"Di mana Aa Panji?" tuntut Elena.
"Dia? Dia sudah diurus. Sekarang, berikan kuncinya, Elena. Atau aku akan membiarkan Bima menembakmu, dan aku akan mengambil kunci itu dari tangan mayatmu," ancam Ratu, matanya bersinar kegilaan.
"Kamu nggak bisa kayak gitu, Ratu. Aa Panji merusak kuncinya. Tanpa separuh kunci yang kupasang tadi, kamu nggak akan bisa mengaktifkannya," balas Elena, mencoba mengulur waktu.
Ratu tertawa renyah. "Ah, si Akang yang terlalu pintar. Sayang sekali, Bima sudah merencanakan ini lebih dulu. Bima, tunjukkan pada nona bodoh ini."
Bima maju selangkah. "Sebelum drama di podium, saat Panji pura-pura sekarat, aku sempat mencabut chip kecil dari Kunci Jaringan itu. Chip itu berisi kode pengaman terakhir. Tanpa chip ini, kunci itu cuma jadi besi tua. Dan chip itu... ada di tanganku."
Bima membuka telapak tangannya. Terlihat sebuah chip kecil, berkilauan. Elena menelan ludah. Ratu sudah selangkah lebih maju.
"Sekarang, kita buat kesepakatan," kata Ratu. "Kamu masukkan kunci itu, lalu Bima akan memasukkan chip ini. Server terbuka. Kita ambil asetnya. Dan aku akan membersihkan namamu. Atau, kamu melawan, dan aku akan mengaktifkan protokol virus yang kupasang di server utama ini."
"Virus apa?" tanya Elena, waspada.
"Virus pembakar. Jika aku nggak bisa mendapatkan datanya, nggak ada yang bisa. Aku akan membakar semua data digital Asmara Cafe, dan kemudian, aku akan membakar seluruh gedung ini. Dengan Panji di dalamnya," Ratu tersenyum, menunjuk ke sudut ruangan yang gelap.
Di sana, terikat dan terikat pada kursi, Panji terlihat. Dia sadar, wajahnya penuh memar, dan dia berjuang melawan ikatan itu.
"Aa Panji!" teriak Elena.
"Jangan, Elena! Jangan berikan kuncinya!" raung Panji, suaranya parau.
Elena merasa hatinya hancur. Dia harus memilih, “Menyelamatkan Panji dan data perusahaan, atau menyelamatkan dirinya dari tuduhan pembunuhan.”
"Baiklah, Ratu. Aku akan masukkan kuncinya," kata Elena, menyerah.
Bima dan Ratu saling pandang dengan kemenangan. Elena perlahan memasukkan Kunci Jaringan yang utuh itu ke dalam lubang kunci console utama.
BEEP! Lampu hijau menyala. "Code input awaiting secondary authentication.”
"Sekarang, Bima. Masukkan chipnya. Cepat!" perintah Ratu.
Bima maju, siap memasukkan chip itu.
Tepat saat Bima mendekat, Elena tiba-tiba melompat. Ia tidak menyerang Ratu atau Bima. Ia menerjang ke arah Panji, meraih kursi itu, dan menggulingkannya.
"Sekarang, Aa Panji!" teriak Elena.
Panji, yang sudah bersiap, menggunakan momentum jatuh untuk mematahkan ikatan terakhirnya. Ia adalah umpan, tapi umpan yang cerdik.
Pertarungan fisik pecah di ruangan sempit itu. Panji, meskipun terluka, menghajar Bima yang lengah. Ratu, dengan pergelangan tangan berdarah, mengarahkan pisau ke arah Elena.
"Kamu nggak akan bisa, Ratu!" kata Elena, mencabut gagang pemadam api dari dinding dan mengayunkannya.
Gagang itu menghantam kepala Ratu. Ratu tersungkur, menjatuhkan pisaunya.
Panji berhasil melumpuhkan Bima. Ia mengambil chip dari tangan Bima dan berlutut di console utama.
"Cepat, Elena! Aku harus memasukkan chip ini dan membersihkan virusnya!" seru Panji.
"Aku akan melindungi kamu!" Elena mengambil pistol yang sebelumnya Bima jatuhkan.
Panji memasukkan chip itu ke console utama. "Authentication successful. Network unlocked. Virus detected: Asmara_Apocalypse. Action required.”
Panji membalikkan console itu ke arah Elena. "Kamu yang harus melakukannya! Aku sudah kehabisan tenaga!"
Elena melihat kode-kode di layar. Dia harus membersihkan virus itu. Tapi di tengah kode pembersihan, dia melihat sesuatu yang membuatnya terpaku.
Ratu Widaningsih, yang kini sadar, merangkak, meraih kabel listrik tebal.
"Kamu pikir kamu menang, Elena? Kamu pikir ini hanya tentang data?" Ratu menyeringai, matanya penuh air mata kemarahan. "Tujuan utamaku bukan data, Elena! Tujuan utamaku adalah membuat Panji merasakan apa yang kurasakan!"
Ratu menarik kabel listrik itu, mencabutnya dari stop kontak. Ruang server tiba-tiba menjadi gelap total, lampu darurat padam. Hanya layar console yang menyala redup, mencahayai wajah Ratu yang tampak seperti hantu.
"Aku nggak hanya menghapus data, Elena. Aku telah mengubah fungsi Gedung Lama ini. Begitu listrik utama terputus, Gedung Lama ini akan meledak! Hanya ada satu pintu keluar, dan pintunya terkunci otomatis!" teriak Ratu, sambil mengunci pintu besi dari luar dengan senyum gila. Elena menatap layar console yang kini menunjukkan timer mundur besar, "Destruction protocol active. Time remaining, 5:00."
Dia dan Panji yang terluka parah kini terkunci di dalam ruang server yang akan meledak. Dan Ratu, dia sudah ada di luar, tertawa penuh kemenangan.
Bagaimana nasib Panji dan Elena di ruang server itu? Bisakah keduanya selamat?