"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Kunci Emas di Leher Ibu
Kirana dengan cepat menyembunyikan buku itu di balik daster hamilnya, tepat ketika pintu terowongan jebol dan Nyi Laras berdiri di sana, matanya merah menyala. "Kau berani melanggar Larangan Masuk Paviliun Belakang? Sekarang, berikan apa yang kau curi, atau kau akan melihat betapa brutalnya Kunci Emas di Leher Ibu itu bekerja!"
Nyi Laras berdiri di pintu masuk terowongan, menghalangi cahaya matahari. Wajahnya yang biasanya tenang dan cantik kini tampak mengerikan, urat-urat hijau tipis terlihat menonjol di pelipisnya.
"Aku tidak mencuri apa-apa," Kirana berbohong, memegangi perutnya yang sakit. Ia mundur sedikit, menyentuh tepi kolam dengan air merah yang berbau.
"Jangan berbohong pada Ibumu sendiri, Kirana. Aku mencium bau lama. Bau kakakmu. Apa yang dia tinggalkan padamu?" Nyi Laras melangkah maju, kakinya yang kecil menginjak tanah dengan langkah yang terlalu berat.
Kirana tahu dia harus mengalihkan perhatian Nyi Laras. Matanya tertuju pada leher Nyi Laras. Di balik kebaya sutra, tergantung sebuah kalung rantai tebal. Di ujung rantai itu, tersembunyi sebuah kunci kecil, berwarna emas kusam, terukir bentuk burung hantu.
"Aku hanya ingin tahu kenapa kau tidak pernah mengizinkan kami masuk Paviliun Belakang," kata Kirana, suaranya dipenuhi amarah yang dibuat-buat. "Kenapa kau membunuh kakak-kakakku?"
Wajah Nyi Laras menyempit. "Bocah bodoh. Kau masih percaya omong kosong Laksmi? Kakakmu sakit. Itu takdir! Ibu hanya mempermudah jalannya menuju kebahagiaan abadi!"
"Kebahagiaan abadi dengan mengorbankan anak cucumu sendiri? Kau ini Ibu, atau Iblis?"
Mendengar kata 'Iblis', Nyi Laras melepaskan kendali. Ia menerjang Kirana. Gerakannya jauh lebih cepat daripada yang Kirana duga dari wanita berusia enam puluhan.
"Jaga bicaramu!" Nyi Laras meraih pergelangan tangan Kirana. Cengkeramannya terasa seperti besi panas, dan seketika itu juga, Penanda baru muncul di lengan Kirana. Memar ungu itu melebar secepat semburan tinta di air.
Saat Nyi Laras mencengkeramnya, Kirana menyadari jaraknya terlalu dekat. Inilah kesempatan terakhirnya.
Dengan refleks yang didorong oleh keputusasaan, Kirana mengangkat tangannya yang lain dan menarik kalung kunci emas itu sekuat tenaga.
Crakk!
Rantai kalung itu putus. Kunci emas itu terlepas dari leher Nyi Laras dan jatuh ke lantai batu.
Nyi Laras melepaskan Kirana, matanya melebar karena terkejut dan marah. Ia tidak peduli dengan Kirana, ia hanya melihat kunci yang jatuh.
"Kunci Emas itu! Beraninya kau!" Nyi Laras berlutut, mencoba meraih kunci itu.
Saat Nyi Laras lengah, Kirana menendang kunci emas itu ke air kolam yang berwarna merah darah.
Byurr!
Kunci itu tenggelam, langsung menghilang di bawah permukaan cairan kental merah itu.
Nyi Laras memekik, bukan suara wanita, tetapi suara melengking seperti burung pemangsa. Ia berbalik menatap Kirana, amarahnya meluap-luap.
"Kau merusak Waris! Kau menjatuhkan kunci milikku!" Nyi Laras berteriak.
"Itu kunci ke Paviliun Belakang, kan? Kunci ke tempat kau menyimpan janin kakakku!" Kirana menuduh, meskipun ia tahu dia baru saja kehilangan petunjuk penting.
Nyi Laras tersenyum bengis. Senyum itu terlihat begitu tua, begitu kejam, hingga Kirana bisa melihat kerutan halus di bawah mata Nyi Laras bergetar.
"Paviliun? Kau terlalu naif, Kirana. Kunci itu bukan untuk Paviliun. Paviliun terlarang itu hanyalah gudang lama. Kunci itu..." Nyi Laras menunjuk ke perut Kirana. "...kunci itu untuk memastikan kau tahu Dimas Tidak Kunjung Pulang karena kau tidak akan membutuhkannya lagi."
Tiba-tiba, Nyi Laras membeku. Pandangannya tidak lagi terfokus pada Kirana, melainkan pada lipatan daster di perut Kirana—tempat buku harian Laksmi tersembunyi.
Meskipun buku itu tertutup daster, kontur buku harian yang tebal itu terlihat jelas. Nyi Laras tidak mungkin mencium bau buku itu, tetapi matanya yang tajam telah melihat perbedaannya.
"Apa itu?" Suara Nyi Laras pelan, tetapi lebih berbahaya daripada teriakannya tadi.