Pernikahan Emelia dengan Duke Gideon adalah sebuah transaksi dingin: cara ayah Emelia melunasi hutangnya yang besar kepada Adipati yang kuat dan dingin itu. Emelia, yang awalnya hanya dianggap sebagai jaminan bisu dan Nyonya Adipati yang mengurus rumah tangga, menemukan dunianya terbalik ketika Duke membawanya dalam perjalanan administrasi ke wilayah terpencil.
Di sana, kenyataan pahit menanti. Mereka terseret ke dalam jaringan korupsi, penggelapan pajak, dan rencana pemberontakan yang mengakar kuat. Dalam baku tembak dan intrik politik, Emelia menemukan keberanian yang tersembunyi, dan Duke Gideon dipaksa melihat istrinya bukan lagi sebagai "barang jaminan", melainkan sebagai rekan yang cerdas dan berani.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bertemu ayah
Keesokan paginya, Emelia diantar oleh salah satu kereta kuda kastil menuju desa tempat ayahnya tinggal. Perasaannya campur aduk: senang karena bisa bertemu sang ayah, sekaligus terharu mengetahui Duke diam-diam menjaga keluarganya.
Rumah sederhana mereka masih sama seperti terakhir kali dia lihat—kecil, tetapi penuh kenangan hangat. Ayahnya, seorang pria tua yang baik hati dengan rambut beruban, langsung memeluk Emelia erat saat melihat putrinya datang.
"Emelia! Putriku!" serunya, air mata menggenang di matanya. "Aku sangat khawatir! Duke itu... apakah dia memperlakukanmu dengan baik? Kau terlihat kurus."
Emelia tertawa kecil, membalas pelukan ayahnya. "Aku baik-baik saja, Ayah. Tuan Duke sangat baik, dan aku makan dengan teratur. Dia bahkan sering mengirim pengawal untuk memastikan Ayah baik-baik saja."
Ayahnya mengangguk haru. "Ya, Nak. Setiap bulan mereka datang membawa bahan makanan. Pria itu memang terlihat dingin, tapi hatinya mulia."
Emelia menghabiskan beberapa jam bercerita tentang kehidupannya di kastil, meskipun dia sengaja menghindari insiden memalukan di koridor atau ciuman yang tidak disengaja. Dia memberi tahu ayahnya bahwa dia akan pergi ke wilayah lain selama sebulan untuk belajar mengurus tanah milik Duke.
"Jaga dirimu baik-baik, Nak," pesan ayahnya saat Emelia bersiap kembali ke kastil. "Dan jangan lupa, tugasmu sekarang mulia. Belajarlah yang rajin."
Emelia kembali ke kastil tepat pada waktunya. Di halaman, Duke Gideon sudah menunggu di samping kereta yang berbeda—kereta perjalanan yang lebih ringkas dan kokoh.
"Sudah berpamitan?" tanya Duke, tatapannya menyapu Emelia dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Sudah, Tuan Duke," jawab Emelia ceria. "Terima kasih atas izinnya."
Duke mengangguk, lalu membuka pintu kereta. "Kalau begitu, kita berangkat sekarang."
Kali ini, suasana di dalam kereta terasa lebih santai. Keheningan yang ada bukan lagi keheningan yang canggung, melainkan keheningan nyaman di antara dua rekan yang memiliki tujuan yang sama. Emelia melirik Duke yang sedang membaca dokumen peta dengan serius di bawah cahaya sore yang masuk.
Dia telah menemukan rahasia kecil tentang Duke hari ini: pria itu peduli dengan caranya sendiri, tanpa perlu kata-kata manis.
Emelia tersenyum dan menyandarkan punggungnya ke kursi, siap untuk bulan depan yang penuh petualangan, belajar, dan mungkin... membongkar lebih banyak rahasia tentang suaminya yang misterius itu.
Perjalanan ke wilayah itu memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Matahari telah terbenam sepenuhnya ketika kereta kokoh yang membawa Duke dan Emelia akhirnya tiba di tujuan mereka: sebuah rumah bangsawan yang lebih kecil dan sederhana, berfungsi sebagai markas administrasi di wilayah tersebut.
Perjalanan yang panjang dan goyah membuat Emelia kelelahan. Dia telah tertidur lelap di kursinya sejak sore, kepalanya bersandar ke jendela, sama sekali tidak menyadari kedatangan mereka.
Duke Gideon melipat dokumennya, pandangannya beralih dari peta ke Emelia yang tertidur pulas. Kilatan geli muncul lagi di matanya saat ia mengamati istrinya yang terlihat begitu polos dalam tidurnya, sangat kontras dengan kepanikan lucu yang sering ditunjukkannya saat sadar.
Dengan hati-hati, Duke membuka pintu kereta dan turun. Dia memberi isyarat kepada pelayan yang menunggu untuk diam, lalu kembali ke dalam kereta.
Dia memberi isyarat kepada pelayan yang menunggu untuk diam. Kemudian dia keluar dari kereta, dan memberi instruksi kepada para pelayan untuk membangunkan istrinya dan membawanya ke kamar yang sudah disiapkan. Para pelayan mengangguk patuh, dan dengan hati-hati membangunkan Emelia.
Emelia, yang masih setengah sadar, mengerjap-ngerjapkan matanya, sedikit bingung dengan lingkungan yang asing. Para pelayan dengan lembut membantunya turun dari kereta dan menuntunnya masuk ke dalam rumah bangsawan itu.
Rumah itu terasa hangat dan nyaman, berbeda dengan dinginnya perjalanan di malam hari. Emelia digiring ke sebuah kamar tidur yang lebih kecil dari kamarnya di kastil utama, tetapi didekorasi dengan nyaman dan fungsional, dengan perapian yang menyala hangat.
Setelah para pelayan membantunya melepaskan jubah perjalanan dan memberinya gaun tidur yang nyaman, Emelia dengan cepat masuk ke dalam ranjang berkanopi yang empuk. Kelelahan dari perjalanan panjang segera menguasainya, dan meskipun rasa penasarannya tentang rahasia Duke masih ada, untuk malam ini, Emelia tidur nyenyak.