Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 20
Raka memarkir mobil di basement apartemen dengan napas yang masih belum sepenuhnya teratur. Menggotong Sadewa yang setengah mati beratnya benar-benar menguras tenaga belum lagi aroma alkohol yang menyengat dari tubuh sahabatnya itu.
“Berat juga lo kalau gak sadar gini,” gerutunya sambil menopang tubuh Sadewa yang terkulai di bahunya.
Perjalanan menuju unit apartemen terasa panjang. Begitu sampai di depan pintu, Raka menekan bel beberapa kali, berharap penghuni di dalam cepat membukakan.
Tak lama kemudian, pintu terbuka.
Bianca berdiri di sana dengan wajah mengantuk, rambut panjangnya tergerai seadanya, mengenakan piyama sederhana berwarna pastel. Matanya masih setengah terpejam sampai pandangannya jatuh pada sosok Sadewa yang nyaris tak berdiri.
“Dewa…?” suara Bianca refleks naik, kaget. “Kenapa Sadewa?”
Raka menghembuskan napas panjang. “Mabuk berat.”
Bianca spontan membuka pintu lebih lebar. Raut kaget di wajahnya berubah jadi cemas.
“Tolong… bawa ke kamarnya,” ucap Bianca cepat sambil memberi jalan.
Raka mengangguk. Dengan sisa tenaga, ia menyeret Sadewa masuk, mengikuti arah yang ditunjukkan Bianca. Setiap langkah terasa makin berat, sampai akhirnya tubuh Sadewa dijatuhkan perlahan ke atas ranjang.
Sadewa mengerang pelan, lalu kembali tak bergerak.
Raka membungkuk, bertopang pada lututnya sendiri, napasnya ngos-ngosan. “Maaf ya,” katanya kepada Bianca, suaranya sedikit terputus. “Dia… lagi banyak pikiran.”
Bianca berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Sadewa yang pucat dengan alis berkerut. “Terima kasih sudah mengantarnya pulang.”
Raka mengangguk singkat. Ia melirik Bianca sejenak tatapannya rumit, seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan tapi ditahan.
“Jaga dia,” ucap Raka akhirnya pelan.
Bianca mengangguk. “Iya.”
Raka berbalik, melangkah keluar kamar. Sebelum menutup pintu apartemen, ia kembali menoleh sekilas.
Malam itu, ia meninggalkan Sadewa dalam keadaan paling rapuh bersama satu-satunya orang yang tanpa disadari justru paling tulus menjaganya.
Bianca menutup pintu kamar dengan pelan, seolah takut suara sekecil apa pun bisa membangunkan Sadewa. Lampu kamar ia nyalakan redup. Aroma alkohol langsung menyeruak, membuat alisnya mengernyit tipis.
Ia melangkah mendekat ke ranjang.
Sadewa terbaring miring, kemejanya kusut, dasinya masih melingkar longgar di leher. Wajah pria itu terlihat lelah bukan lelah fisik semata, melainkan lelah yang lahir dari terlalu banyak luka yang dipendam.
Bianca menelan ludah.
Dengan hati-hati, ia melepas dasi Sadewa, menariknya perlahan agar tidak melukai lehernya. Lalu ia berlutut, membuka sepatu Sadewa satu per satu. Gerakannya tenang, nyaris refleks seperti seseorang yang sudah terlalu sering mengalah demi orang lain.
“Kenapa sih harus sejauh ini, Dewa…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Ia berdiri, menarik selimut, dan berniat menyelimuti Sadewa agar tubuh pria itu tidak kedinginan. Namun tepat saat kain itu menyentuh dada Sadewa, alis pria itu berkerut.
“Caca…”
Suara itu keluar lirih, serak, penuh kerinduan.
Bianca membeku.
Nama itu panggilan masa kecil yang sudah lama ia kubur keluar begitu saja dari bibir Sadewa. Dadanya terasa nyeri, tapi tangannya tetap melanjutkan gerakan menyelimuti.
Tiba-tiba tangan Sadewa bergerak.
Dengan refleks yang cepat namun tak terarah, ia menarik tubuh Bianca ke arahnya. Bianca tersentak, napasnya tercekat ketika tubuhnya jatuh di atas dada Sadewa.
“Dewa—!” Bianca berusaha bangkit, mendorong bahu Sadewa. “Sadewa, lepas—”
Namun pelukan itu justru mengencang.
Sadewa menggumam tak jelas, lengannya melingkar kuat seolah takut kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Wajahnya menyembur ke rambut Bianca, napasnya hangat dan berat.
Bianca terdiam.
Ia mencoba bergerak lagi, tapi kekuatan Sadewa meski dalam keadaan mabuk tetap tak bisa ia lawan. Perlahan, perlawanan itu melemah. Tangannya yang semula menekan dada Sadewa kini hanya mencengkeram kain kemeja pria itu.
“Kenapa kamu selalu muncul di saat aku rapuh…” bisik Bianca di dalam hati.
Sadewa bergeser sedikit, kepalanya jatuh tepat di ceruk leher Bianca. Napasnya mulai teratur. Tubuhnya yang semula tegang kini perlahan mengendur.
Ia tertidur.
Masih memeluk Bianca.
Bianca menatap langit-langit kamar, matanya berkaca-kaca. Posisi itu terlalu dekat. Terlalu intim. Terlalu menyakitkan untuk seseorang yang mencintai diam-diam.
Tapi ia tidak bergerak.
Dengan hati-hati, Bianca menyesuaikan posisinya agar Sadewa tetap nyaman. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuh mereka berdua, lalu memejamkan mata, membiarkan malam menelan segala perasaannya.
Malam itu,
Sadewa tertidur pulas dalam pelukan perempuan yang tak pernah ia sadari telah ia lukai paling dalam.
Kepala Sadewa terasa seperti dipukul berkali-kali ketika kesadarannya perlahan kembali. Dahi berdenyut, tengkuknya berat, dan mulutnya terasa kering. Ia mengerang pelan, memejamkan mata beberapa detik, berusaha mengingat di mana ia berada.
Aroma yang asing bukan parfum mahal atau bau alkohol menyentuh inderanya. Wangi lembut. Hangat. Terlalu familiar.
Sadewa membuka mata perlahan.
Dan seketika tubuhnya menegang.
Lengannya melingkar pada sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang.
Bianca.
Ia terbaring di pelukannya, wajahnya menghadap ke dada Sadewa, napasnya teratur, bulu matanya lentik membingkai mata yang terpejam lelap. Rambut panjangnya sedikit berantakan, beberapa helai menutupi pipinya.
Sadewa menahan napas.
“Gila…” gumamnya nyaris tanpa suara.
Kepalanya masih pusing, tapi jantungnya justru berdetak terlalu jelas. Ia mencoba mengingat potongan malam sebelumnya muncul samar club, Raka, minum terlalu banyak… lalu gelap.
Bagaimana bisa…?
Sadewa tidak bergerak. Takut satu gerakan kecil saja akan membangunkan Bianca. Tangannya refleks ingin menarik diri, tapi justru terhenti di udara. Entah dorongan apa, jarinya bergerak lebih dulu menyingkirkan anak rambut yang jatuh di dahi Bianca.
Sentuhannya sangat ringan. Hampir tidak terasa.
Bianca mengerang kecil, menggeser wajahnya sedikit. Sadewa refleks membeku, lalu dalam sepersekian detik penuh kepanikan ia memejamkan mata dan berpura-pura masih tertidur.
Detak jantungnya mengacau.
Bianca membuka mata perlahan. Pandangannya masih buram, tapi tubuhnya langsung menegang saat menyadari posisinya.
“Ya Tuhan…” bisiknya lirih.
Ia menahan napas, menoleh sedikit ke wajah Sadewa. Pria itu terlihat tertidur pulas alisnya rileks, napasnya teratur. Bianca mengamati beberapa detik, memastikan.
Masih tidur.
Rasa lega mengalir cepat di dadanya.
Dengan sangat hati-hati, Bianca mengangkat lengan Sadewa dari pinggangnya, menggeser tubuhnya perlahan agar tidak menimbulkan suara. Gerakannya begitu pelan, seolah sedang menyelinap keluar dari perangkap perasaan sendiri.
Begitu bebas, Bianca duduk di tepi ranjang, merapikan rambutnya dengan tangan gemetar. Ia menoleh sekali lagi ke arah Sadewa lalu bangkit dan melangkah pergi.
Pintu kamar ditutup tanpa suara.
Beberapa detik berlalu.
Mata Sadewa terbuka.
Ia menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menghela napas panjang. Ada rasa asing yang mengendap di dadanya bukan pusing, bukan mabuk melainkan sesuatu yang hangat dan mengganggu.
Ia menyentuh dadanya sendiri, tepat di tempat kepala Bianca tadi bersandar.
Sadewa tersenyum kecil. Hampir tak terlihat.
Senyum yang bahkan ia sendiri tidak sadari telah lama hilang.