Melina Lamthana tak pernah merencanakan untuk jatuh cinta ditahun pertamanya kuliah. Ia hanya seorang mahasiswi biasa yang mencoba banyak hal baru dikampus. Mulai mengenali lingkungan kampus yang baru, beradaptasi kepada teman baru dan dosen. Gadis ini berasal dari SMA Chaya jurusan IPA dan Ia memilih jurusan biologi murnni sebagai program studi perkuliahannya dikarenakan juga dirinya menyatu dengan alam.
Sosok Melina selalu diperhatikan oleh Erick seorang dosen biologi muda yang dikenal dingin, cerdas, dan nyaris tak tersentuh gosip. Mahasiswi berbondong-bondong ingin mendapatkan hati sang dosen termasuk dosen perempuan muda. Namun, dihati Erick hanya terpikat oleh mahasiswa baru itu. Apakah mereka akan bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Greta Ela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Keesokan paginya, Melina bangun lebih awal, Ia mengecek ponselnya dan ternyata tidak masuk pesan. Cahaya matahari masuk melalui celah tirai, menandakan hari yang cerah, hari yang terasa lebih normal dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ia bersiap seperti biasa, mengenakan pakaian sederhana dan mengikat rambutnya rapi.
"Mel, nanti pulang kuliah kita belanja ya ke pasar."
"Iya."
Mereka tiba di kampus sedikit lebih awal dari jadwal. Hari itu adalah hari pertama praktikum. Laboratorium terlihat sibuk, mahasiswa mondar-mandir mengenakan jas lab putih yang masih kaku dan bersih.
"Eh, itu Miss Yolan," bisik Bunga.
Seorang dosen muda berdiri di depan laboratorium. Rambutnya dikuncir rapi, kacamatanya memberi kesan tegas tapi ramah. Wajahnya terlihat muda, nyaris seperti kakak tingkat, bukan dosen.
"Selamat pagi, semuanya," sapa Miss Yolan dengan suara cerah.
"Saya Yolan. Kita akan bersama selama semester ini untuk praktikum Struktur dan Perkembangan Tumbuhan."
"Untuk peraturan di laboratorium, tidak boleh membuka ponsel kecuali untuk memotret hasil mikroskop. Untuk yang laki-laki dilarang merokok didalam lab. Yang perempuan rambutnya dikuncir seperti saya." ujarnya tegas hingga mahasiswa tunduk
Nada suaranya santai tapi jelas. Ia menjelaskan aturan praktikum, pembagian kelompok, dan jadwal yang cukup padat. Melina mencatat dengan serius. Fokusnya tertuju pada instruksi, pada mikroskop, pada preparat tumbuhan yang akan mereka amati.
Ia merasa lega.
Praktikum menuntut konsentrasi penuh. Tidak ada ruang untuk melamun. Tidak ada celah untuk memikirkan hal lain. Jam-jam berlalu cepat di laboratorium, diisi dengan diskusi kelompok, mencatat hasil pengamatan, dan sesekali mendengarkan arahan Miss Yolan.
"Kalian boleh bertanya kapan saja," ujar Miss Yolan.
"Saya ingin kalian benar-benar paham, bukan sekadar selesai."
Bunga mencondongkan badan ke arah Melina.
"Aku suka dosen ini. Tegas tapi gak bikin takut."
Melina mengangguk setuju. Ia merasa semester ini, setidaknya di sebagian besar waktunya, ia bisa bernapas lebih lega.
Setelah selesai praktikum, mereka pun pulang. Bunga mengajak Melina untuk belanja ke pasar.
Di ruang tamu, Bunga sudah siap sambil memeriksa daftar di ponselnya.
"Hari ini kita belanja dulu ya," kata Bunga.
“Sabun cuci kita juga habis."
Melina mengangguk.
"Sekalian beli bahan masak. Praktikum semester ini pasti bikin capek."
Mereka berjalan berdampingan menuju minimarket dekat apartemen. Suasana pagi terasa hidup. Mahasiswa lain terlihat membawa tas besar, beberapa masih menguap, beberapa sibuk bercanda. Melina merasa kembali menjadi bagian dari dunia itu, dunia yang sempat terasa menjauh darinya.
Di dalam minimarket, Bunga sibuk memilih deterjen dan pewangi pakaian.
"Kamu yakin mau beli yang ini?" tanya Bunga.
"Murah sih, tapi baunya aneh."
Melina tertawa kecil. "Yang penting bersih."
"Ya kan kamu suka yang wewangian."
Mereka lalu berpindah ke rak bahan makanan. Telur, sayuran, mie, bumbu instan, barang-barang sederhana yang membuat hidup terasa lebih terkendali. Melina menyadari, kegiatan kecil seperti ini memberinya rasa aman yang sempat hilang.
"Semester dua ini bakal berat," kata Bunga sambil memasukkan wortel ke keranjang.
"Katanya praktikum bisa sampai malam."
"Iya," jawab Melina.
"Apalagi struktur dan perkembangan tumbuhan. Banyak pengamatan."
Mereka lalu pergi ke kasir dan membayar belanjaan mereka.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan suasana baru. Jadwal Melina dan Bunga semakin padat. Pagi kuliah teori, siang hingga sore praktikum. Malam diisi dengan laporan, mencuci jas lab, dan memasak seadanya.
Dan di sela-sela itu, Erick hanya muncul satu kali seminggu.
Cukup untuk diingat. Cukup untuk tidak dilupakan.
Di kelas Erick, Melina tetap menjaga jarak. Ia duduk bersama Bunga, tidak lagi di tempat favoritnya dulu. Ia menjawab pertanyaan jika perlu, tapi tidak mencari perhatian. Erick pun bersikap sama formal, singkat, efisien.
Jarak itu terasa disengaja. Dan untuk sementara, Melina bersyukur.
Malam hari datang dengan keheningan khas apartemen mahasiswa. Setelah makan malam sederhana dan mencuci piring, Melina masuk ke kamarnya. Ia duduk di meja belajar, membuka laptop untuk menyusun laporan praktikum.
Ponselnya bergetar.
Pesan dari Erick.
Ia menatap layar beberapa detik sebelum membukanya.
Erick:
"Kamu bagaimana hari ini?"
Melina menarik napas, lalu membalas.
"Baik, Pak. Lumayan capek, tapi praktikum seru."
Beberapa detik berlalu.
Erick:
"Saya dengar Miss Yolan dosen yang cukup tegas."
"Iya, Pak. Tapi jelas ngajarnya."
Pesan berikutnya datang lebih lambat.
"Maaf kalau akhir-akhir ini saya lebih banyak diam. Situasi kita sekarang berbeda."
Melina membaca kalimat itu berulang kali. Ia bisa merasakan nada penyesalan yang samar, tapi juga ada jarak yang tidak biasa.
"Saya mengerti," balasnya. "Mungkin ini yang terbaik."
Tiga titik muncul, lalu hilang, muncul lagi.
"Saya hanya ingin kamu tahu," sambung Erick, "bukan karena saya tidak ingin bertemu. Tapi karena sekarang kita harus lebih hati-hati."
Melina memejamkan mata sejenak. Ada bagian dari dirinya yang kecewa kehilangan kebiasaan malam-malam itu. Namun ada bagian lain yang merasa lebih aman.
"Terima kasih sudah mengerti," lanjut Erick.
"Maaf karena sekarang kita tidak bisa berkencan seperti dulu."
Kata *dulu* terasa berat.
Melina mengetik balasan perlahan.
"Saya juga minta maaf kalau terasa menjauh. Saya sedang mencoba menata ulang semuanya."
Tidak ada balasan cepat kali ini.
Bunga yang juga sedang mengerjakan laporan melihat Melina yang entah chatingan dengan siapa,
"Mel, nge-chat siapa?." tanya Bunga penasaran
"Gak ada, aku hanya mencari tahu tentang kuliah tadi" ujarnya tanpa curiga
Ia meletakkan ponsel, menatap layar laptop yang kembali menampilkan tabel hasil pengamatan. Hidupnya kini terbagi jelas siang adalah dunia akademik yang nyata dan padat, malam adalah ruang sunyi tempat perasaannya pada Erick.
Erick akhirnya membalas.
"Jaga diri baik-baik. Fokus kuliahmu. Itu yang terpenting sekarang."
Melina tersenyum kecil, pahit tapi tulus.
"Iya, Pak. Selamat malam."
Ia mematikan ponsel dan kembali ke laporannya. Di luar sana, semester dua berjalan cepat dan tanpa ampun. Praktikum demi praktikum menuntut ketelitian. Hubungan demi hubungan menuntut kejelasan.
Dan Melina mulai menyadari sesuatu, jarak yang tercipta bukan hanya melindunginya dari risiko kampus tetapi juga memberinya kesempatan untuk mengenali kembali dirinya sendiri.
Apakah jarak ini akan menyembuhkan, atau justru membuka luka baru, ia belum tahu.
Namun untuk pertama kalinya setelah lama, Melina merasa sedang berjalan ke arah yang ia pilih sendiri.
"Aku udah selesai. Kamu gimana Mel?" tanya Bunga
"Dikit lagi, Bunga. Tinggal masukkan gambar kok." ujarnya
Melina lalu mengetik cepat dilaptopnya. Ia memasukkan pembahasan yang telah didapatnya tadi dari sumber Google Scholar sebagai refrensi pembahasan laporannya. Tak lama, ia memasukkan gambar dan menekan "Save" tandanya laporan praktikumnya sudah selesai dan Ia mematikan laptopnya.
"Mel, ayo tidur. Aku gak mau kita begadang. Besok masih ada praktikum." ujar Bunga sambil Ia berbaring diranjangnya
"Iya." balas Melina singkat