Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Kegilaan Reygan
Informasi dari Reygan membuat tubuh Nokiami mendadak terasa lemas. Kakinya yang masih sedikit pincang tiba-tiba terasa lumpuh total.
Bungkusan kue di tangannya jatuh di lantai koridor. Aroma manis yang samar segera tertutup oleh bau karpet lembap dan kepanikan yang tiba-tiba meluap. Nokiami tidak bisa merasakan kakinya. Ia tidak bisa bergerak. Otaknya kosong, kecuali satu nama yang berulang-ulang seperti mantra ngeri. Leo. Leo. Leo.
“Nokia!” Suara Reygan membentak, menariknya kembali dari jurang ketakutan. Pria itu mencengkeram lengan Nokiami, tarikannya begitu kuat hingga jari-jarinya terasa seperti cakar baja yang menembus kulitnya. “Dengar, kita nggak punya banyak waktu. Dia bisa naik ke sini kapan saja.”
Nokiami mendongak, matanya melebar. Ia melihat rahang Reygan yang mengeras, tatapannya yang tajam dan tanpa ampun. Kali ini, tidak ada lagi jejak sarkasme atau kemarahan yang meluap-luap. Hanya urgensi murni dan yang lebih aneh, sebuah tekad yang dingin.
“Apa ... apa yang harus kulakukan?” bisik Nokiami, suaranya tercekat. Ia merasa seperti boneka kain yang bisa ditarik ke mana saja.
“Kita turun,” jawab Reygan, tanpa bertanya, tanpa menunggu. “Sekarang.”
Ia menarik lengan Nokiami, menyeretnya menuju tangga darurat, bukan lift. “Kenapa nggak lift?” Nokiami nyaris tersandung.
“Dia menuju lift, kan? Kita nggak akan papasan di sana,” kata Reygan singkat, melangkah menuruni anak tangga dengan kecepatan yang mencengangkan, menyeret Nokiami yang tertatih di belakangnya.
“Lagian, lebih cepat ini. Kita harus sampai lobi sebelum dia dapat informasi lebih jauh dari satpam.”
Setiap langkah terasa seperti siksaan. Pergelangan kaki Nokiami berdenyut kesakitan, rasa malu karena diseret seperti karung beras mulai kembali. Tapi ketakutan jauh lebih besar dari segalanya. Leo. Pria itu ada di bawah. Pria yang telah meracuni hidupnya selama bertahun-tahun, yang telah membuatnya merasa tidak berharga, kini hanya beberapa lantai di bawahnya, mencarinya.
“Kamu … kamu mau ke mana? Kamu mau apa?” tanya Nokiami, napasnya tersengal.
Reygan tidak menjawab, fokusnya terpaku pada setiap anak tangga. Sepatu kets-nya mencengkeram lantai semen dengan setiap pijakan.
“Kita buat dia berpikir dia salah orang,” gumam Reygan akhirnya.
“Kita buat dia percaya kau sudah punya orang lain. Orang yang jauh lebih … nggak penting dari dia.”
Nokiami mengernyit. “Maksudmu?”
“Kau lihat saja nanti,” jawab Reygan, suaranya mendesis, penuh perhitungan.
Mereka mencapai lantai dasar. Pintu tangga darurat terbuka, dan tiba-tiba, mereka berada di area lobi yang terang benderang. Aroma kopi dari kafe lobi, bau disinfektan, dan semerbak parfum mahal dari para penghuni yang lalu lalang langsung menyergap indra penciuman Nokiami. Namun, semua itu lenyap saat matanya tertumbuk pada sosok yang berdiri tidak jauh dari meja resepsionis.
Leo.
Pria itu mengenakan setelan jas abu-abu yang disesuaikan sempurna dengan tubuh atletisnya. Rambutnya disisir rapi, arlojinya berkilauan di pergelangan tangannya. Ia terlihat sempurna, seperti model iklan majalah pria. Ia sedang berbicara dengan salah satu petugas keamanan, ekspresinya terlihat tegang, sesekali melirik ke arah lift.
Jantung Nokiami mencelos. Ia ingin bersembunyi. Ia ingin lari, tetapi Reygan masih mencengkeram lengannya, mengencangkan cengkeramannya, dan menariknya sedikit lebih maju, ke arah yang lebih terbuka.
“Tunggu di sini,” bisik Reygan, melonggarkan cengkeramannya dan mendorong Nokiami ke balik pilar besar dekat deretan sofa lobi. “Jangan muncul sampai aku suruh.”
Sebelum Nokiami sempat menjawab, Reygan sudah melangkah maju. Pria itu berjalan dengan sikap santai yang terlalu dibuat-buat, melewati beberapa orang, dan sengaja berjalan di dekat Leo. Nokiami melihat Reygan sengaja memperlambat langkahnya di belakang Leo, lalu melirik ke arahnya.
Leo, yang sepertinya baru saja selesai berbicara dengan petugas keamanan, berbalik. Mata mereka bertemu. Sebuah kilatan pengakuan melintas di wajah Leo, bercampur dengan kebingungan. Nokiami bisa melihat Leo mengernyit, seolah mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah kurir itu.
Kemudian, Reygan melakukan sesuatu yang sama sekali tidak Nokiami duga.
Ia mengangkat tangannya, melambaikan tangan ke arah Nokiami yang masih bersembunyi di balik pilar. Sebuah senyum tipis, yang Nokiami tahu adalah senyum paling palsu dan paling menyebalkan, terukir di bibirnya.
“Sayang!” panggil Reygan, suaranya sedikit terlalu keras, menarik perhatian beberapa orang di lobi, termasuk Leo. “Di sana saja? Sini dong, jangan malu-malu.”
Nokiami terkesiap.
Sayang? Malu-malu? Pria gila ini!
Leo menoleh, matanya mengikuti arah pandang Reygan, dan kemudian matanya melebar saat melihat Nokiami. Wajahnya yang tadi tegang kini berubah menjadi merah padam. Matanya menyipit, penuh amarah yang membara.
“Nokia?” desis Leo, suaranya rendah dan berbahaya. Ia mulai melangkah ke arah Nokiami, setiap langkahnya penuh ancaman.
“Astaga, si Leo,” gumam Reygan, masih dengan senyum palsu yang sama. Ia menoleh ke arah Nokiami, ekspresinya berubah menjadi lebih serius, tetapi masih ada kilatan kenakalan di matanya. “Sekarang, atau nggak sama sekali.”
Nokiami tidak mengerti. Sekarang apa?
Namun, sebelum ia bisa memprosesnya, Reygan sudah mendekat. Pria itu melangkah cepat, meraih lengan Nokiami lagi, kali ini menariknya keluar dari balik pilar. Ia melakukannya dengan begitu cepat dan kuat hingga Nokiami nyaris jatuh ke pelukannya.
“Kamu … kamu mau apa? Reygan!” bisik Nokiami, jantungnya berdegup kencang.
Leo sudah mendekat, matanya menatap Nokiami dengan tatapan yang bisa membekukan darah.
“Nokia! Apa-apaan ini? Siapa dia?”
Reygan tidak menunggu. Ia tidak menjawab Leo. Pria itu hanya menatap Nokiami, matanya yang gelap kini penuh intensitas yang membuat Nokiami terpaku. Wajahnya mendekat, begitu dekat hingga Nokiami bisa merasakan napas hangat pria itu di pipinya, aroma mint dan keringat yang samar.
Kemudian, Reygan menciumnya.
Ciuman itu singkat, mendadak, dan penuh desakan. Bibirnya mendarat di bibir Nokiami, dingin dan sedikit terburu-buru, tetapi cukup kuat untuk membuat lutut Nokiami goyah. Itu bukan ciuman romantis, bukan ciuman gairah. Itu adalah ciuman pernyataan. Sebuah ciuman yang berteriak, ‘Dia milikku’ kepada siapa pun yang melihat. Terutama kepada Leo.
Nokiami membeku. Otaknya berhenti bekerja. Ia tidak bisa berpikir juga bernapas. Ia hanya bisa merasakan sensasi bibir Reygan di bibirnya, dan seluruh dunia seolah berhenti berputar.
Ciuman itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi terasa seperti selamanya. Reygan menarik diri, tetapi tidak sepenuhnya. Wajahnya masih begitu dekat hingga Nokiami bisa melihat bintik-bintik emas di mata gelapnya. Sebuah senyum miring, penuh kemenangan, muncul di bibirnya.
“Maaf, ya,” kata Reygan, suaranya cukup keras untuk didengar Leo, tetapi matanya hanya menatap Nokiami. “Dia memang suka malu-malu begitu kalau di depan umum. Apalagi kalau pacarnya baru pulang kerja.”
Nokiami menatap Leo. Wajah pria itu telah berubah menjadi ungu padam. Matanya menyala dengan amarah yang tidak terkendali, tatapannya beralih dari Nokiami ke Reygan, seolah ia sedang melihat pemandangan paling menjijikkan di dunia.
“Nokia! Apa-apaan ini?” teriak Leo, suaranya menggelegar di lobi, menarik perhatian semua orang. “Beraninya kau bersama sampah ini?”
“Sampah apa?” Reygan mengangkat alis, pura-pura bingung. Ia menyentuh lengan Nokiami, seolah menandai wilayah.
“Oh, maksudmu pacarnya? Ya, aku pacarnya. Ada masalah? Atau kau mau ikut campur urusan orang?”
Leo mendidih. Ia melangkah maju, tangannya mengepal. “Kau … kau sudah gila, Nokia! Pulang sekarang!”
Nokiami masih terlalu syok untuk bicara. Ia hanya menatap Leo, lalu ke Reygan. Ia melihat Reygan kembali menunjukkan seringai khasnya, yang kini terasa lebih seperti topeng daripada sebelumnya.
“Pulang? Memangnya siapa kamu?” Reygan menantang, tawanya sedikit hambar. “Dia bersamaku. Aku tunangannya. Kami sudah punya janji.”
“Tunangan?” Leo mengejek, tawanya pahit. Ia menunjuk Reygan dari kepala sampai kaki, tatapannya penuh penghinaan. “Pria ini? Kurir murahan ini? Nokia, kamu sudah gila! Apa yang dia bisa berikan padamu? Kecuali bau keringat dan motor butut?”
Amarah tiba-tiba membakar hati Nokiami. Itu adalah amarah yang sama yang ia rasakan semalam, amarah yang memberinya keberanian untuk melawan Reygan. Tapi kali ini, amarah itu ditujukan pada Leo.
“Bau keringat ini lebih jujur daripada parfum mahalmu yang busuk, Leo!” sembur Nokiami, suaranya bergetar. Ia menepis tangan Reygan dari lengannya, melangkah maju, menatap Leo dengan mata menantang. “Dan motor butut ini membawaku pergi dari neraka yang kau sebut hidup bersamaku!”
Reygan, yang kaget dengan ledakan Nokiami, menatap gadis itu dengan takjub.
Leo terdiam sesaat, terkejut dengan keberanian Nokiami. Lalu, ia tertawa, tawa yang penuh kebencian.
“Baiklah. Kalau begitu, nikmati saja sampahmu. Tapi jangan harap ada satu sen pun dari keluargamu. Aku akan pastikan orang tuamu tahu tentang ‘tunangan’ barumu ini. Selamat tinggal, Nokia. Semoga kau menikmati hidup miskinmu bersama pria ini.”
Dengan tatapan penuh amarah dan kekalahan, Leo berbalik. Ia berjalan cepat menuju pintu keluar lobi, tidak menoleh lagi. Suara pintu kaca yang tertutup di belakangnya meninggalkan keheningan yang canggung di lobi.
Nokiami masih berdiri di sana, napasnya tersengal. Amarahnya perlahan mereda, digantikan oleh kesadaran akan apa yang baru saja terjadi. Ia baru saja mencium Reygan. Di depan Leo. Di depan semua orang di lobi.
Reygan menghela napas panjang, sebuah suara yang terdengar seperti kelegaan bercampur kelelahan. Ia menoleh ke arah Nokiami, matanya masih berkilat-kilat, tetapi ketegangan di wajahnya sudah jauh berkurang.
“Kau … kau hutang padaku dua kali lipat untuk akting itu,” kata Reygan, suaranya rendah dan sedikit serak. Ia menunjuk ke arah bungkusan kue yang tergeletak di lantai.
“Dan aku minta kue lebih.”
Bersambung ...