Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesali segalanya
"Kamu dimana?" tanya Edward melalui sambungan telepon kepada Samuel.
....
"Oke. Tunggu aku disana. Lima menit lagi aku sampai," lanjut Edward sambil mendengus kasar.
Ponsel pun gegas ia matikan kemudian menambah kecepatan kendaraannya agar cepat sampai.
Bugh!
Tanpa basa-basi, begitu Edward berhasil menemukan Samuel, ia langsung menghadiahi sahabat baiknya itu dengan pukulan keras.
Samuel terjungkal ke belakang. Bibirnya bawahnya tampak pecah akibat hantaman tinju milik Edward.
"Edward! Apa-apaan, sih?" protes Samuel yang ikut naik pitam karena tidak tahu apa-apa.
"Sialan kamu, Sam!!!" teriak Edward. Dia hendak memukul Samuel lagi namun Andro dengan cepat menghalangi.
"Stop, Ed! Ini tempat umum. Orang lain bisa melaporkan kamu dan kita semua akan terkena masalah," peringat Andro.
Edward pun seketika tersadar. Ya, Andro memang benar. Ini tempat ramai. Sebuah cafe yang biasa mereka datangi untuk nongkrong disaat bosan.
"Lepas!" kata Edward. Dia menyentak tangan Andro yang masih memegang kedua bahunya dengan kasar.
Andro pun melepaskan tangannya. Dia meminta kedua sahabatnya untuk duduk bersama. Tentunya, dia yang berada di tengah untuk mengantisipasi adu jotos kembali berlanjut.
"Kamu gila ya, Ed? kenapa kamu tiba-tiba memukulku, hah?" tanya Samuel tak terima.
Bibirnya berdarah. Wajar jika dia marah.
"Apa yang sudah kau katakan pada Nana tempo hari?" tembak Edward dengan emosi yang masih kentara di nada suaranya.
"A-aku nggak bicara apa-apa," elak Samuel dengan nada gugup.
"Jangan bohong!" hardik Edward.
Samuel reflek memejamkan matanya. Tak ia sangka jika Nana berani mengadukan dirinya kepada Edward.
"Kamu bilang, kamu ingin membeli Nana untuk semalam, hah? Kamu pikir, kamu siapa, Sam?"
Edward tiba-tiba meraih kerah kemeja Samuel dengan erat.
"Sam, apa maksud Edward?" tanya Andro tak mengerti.
Sementara, yang ditanya hanya diam saja.
"Jawab, Bangs@t!" hardik Edward penuh emosi. Kerah kemeja Samuel masih ia tarik dengan kencang.
"Aku minta maaf!" ucap Samuel pada akhirnya.
Seketika, Edward melepaskan kerah kemeja Samuel dengan kasar. Ia mengusap wajahnya. Ingin sekali dia menghabisi Samuel saat ini juga namun dia masih mengingat bahwa pria itu adalah sahabat baiknya sendiri.
"Sam, kamu benar-benar mengatakan hal seperti itu ke Nana?" Andro masih berusaha mengonfirmasi.
"Aku cuma bercanda sama Nana, Ndro. Aku nggak benar-benar serius."
"Dia istriku, Sam! Dan, dengan seenaknya kamu malah merendahkan dia? Kamu pikir, kamu siapa, hah?"
Edward berniat meraih kerah kemeja Samuel lagi. Namun, Andro dengan cepat menghalangi.
"Jangan emosi, Ed! Tenang!" kata Andro.
"Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sahabatku sendiri malah dengan lancangnya merendahkan harga diri istriku, Andro?" pekik Edward dengan suara melengking.
"Tak hanya itu, si bangs@t ini juga sudah berbohong kepadaku. Dia bilang, dia dipecat karena jebakan orang suruhan Nana. Padahal, faktanya dia memang melakukan tindak korupsi di kantornya," lanjut Edward berapi-api.
"Apa?" Andro tampak begitu terkejut. Dia menoleh ke arah Samuel yang kini sudah tertunduk karena merasa malu sekaligus bersalah.
"Kamu korupsi di kantormu, Sam?" tanya Andro yang wajahnya terlihat sangat syok.
"Maaf!"
Hanya satu kata itu yang meluncur dari mulut Samuel. Ia tak bisa membela diri lagi karena Edward sudah tahu semuanya.
"Gara-gara kamu, hubunganku dan Nana jadi semakin memburuk. Sialan!!!"
Bugh!
Edward memukul permukaan meja dengan sangat keras.
"Kalau sampai aku benar-benar bercerai dengan Nana, maka kamu orang pertama yang akan aku hajar, Sam!" lanjutnya memperingatkan Samuel.
"Kenapa tiba-tiba kamu jadi membela Nana, Ed?" tanya Samuel yang akhirnya merasa jengah juga disalahkan.
"Selama ini, kamu orang pertama yang selalu menghina dan menjelek-jelekkan Nana. Kamu nggak pernah menghargai Nana sehingga kami pun enggan untuk menghargai dia. Andai dari awal kamu memperlakukan Nana dengan sedikit lebih baik, apa kamu pikir aku akan berani untuk merendahkan dan melecehkan dia?" tukas Samuel panjang lebar.
"Aku hanya melakukan hal yang selama ini sering kamu lakukan ke Nana, Ed! Jadi, kenapa kamu malah marah sekarang?"
Tangan Edward semakin mengepal kuat. Dia menatap Samuel dengan tatapan sengit. Dan, sekali lagi, tinjunya menghantam wajah Samuel dengan sangat keras.
Bugh!
"Awas kalau kamu berani mendekati Nana lagi!" peringat Edward sebelum meninggalkan tempat itu.
Ya, pria itu akan kembali untuk menemui Nana. Perkataan Samuel tadi sukses membuat matanya jadi terbuka lebar.
Orang-orang disekitarnya memang tak pernah menghargai Nana karena Edward sendiri tak pernah memberi muka untuk Nana didepan umum.
Dimanapun itu, jika Edward ingin menghina Nana, maka Edward akan melakukannya tanpa beban. Jadi, wajar saja jika orang-orang akhirnya memperlakukan Nana sama dengan yang dilakukan oleh Edward.
"Maaf, Na! Ternyata semua salah aku," lirih Edward.
Dia semakin menambah kecepatan kendaraannya. Dan, begitu ia sampai di rumah sakit, dia langsung menuju ke ruang perawatan Nana.
"Nana!" panggil Edward tak sabaran.
Akan tetapi, yang dia dapati hanya ruangan kosong tak berpenghuni. Ruangan tersebut tampak sudah rapi tanpa adanya jejak Nana yang tersisa.
"Kamu kemana, Na?" lirih Edward dengan gelisah.
Dia pun segera mencari perawat untuk menanyakan soal keberadaan Nana.
"Maaf, Sus... apa pasien di ruangan sana sudah pindah?"
"Oh, Mbak Nana, ya? Mbak Nana sudah keluar sejak satu jam yang lalu, Tuan."
Degh!
Pria itu nyaris kehilangan keseimbangan. Dia tampak limbung setelah mendengar informasi dari perawat yang bertugas di bangsal tersebut.
Edward pun dengan terburu-buru menuju ke apartemen Rossa. Dia berharap, istrinya ada di sana.
"Nana!! Keluar, Na! Aku mohon!!" teriak Edward frustasi.
Dia sudah menekan bel berkali-kali namun tak ada seorang pun yang keluar untuk menemuinya.
"Hei, jangan ribut!" tegur tetangga sebelah.
"Anda tahu, kemana pemilik apartemen ini pergi?" tanya Edward tanpa peduli pada teguran wanita paruh baya itu.
"Oh, Rossa, maksud Anda? Sepertinya, dia sedang pergi berlibur. Sekitar setengah jam yang lalu, saya melihatnya datang bersama seorang pria tampan dan pergi dengan membawa dua buah koper besar."
Edward semakin bingung. Informasi mengenai keberadaan Nana semakin kabur.
Perempuan itu sepertinya benar-benar sudah mantap untuk meninggalkan Edward. Sementara, Edward sendiri justru semakin takut kehilangan.
*
"Ed? Kamu darimana saja? Kenapa kamu nggak ada kabar seharian?"
Baru saja memasuki rumah, Edward sudah direcoki oleh suara cempreng Silva.
"Bisa tolong tinggalkan aku? Aku ingin sendirian, Silva!"
"Ed, tadi ada orang yang kirim surat. Katanya, ini untuk kamu."
Silva memberikan surat dengan logo pengadilan agama tersebut ke tangan Edward.
Dengan tak sabaran, Edward membuka surat itu dan membaca isinya dengan serius.
"Nana benar-benar ingin bercerai?" lirihnya sembari menjatuhkan kertas tersebut tanpa sadar.