Hanya demi mempertahankan sebuah keinginan, sang pemuda terus bertahan dalam penderitaan dan melihat ke depan. Melangkah tanpa tahu cara untuk berhenti ….
Itu bukanlah sesuatu berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari janji yang dilimpahkan orang lain kepadanya. Meski begitu, pemuda itu tetap menganggap mimpi serta harapan tersebut sebagai miliknya dan meyakini hal tersebut akan terwujud.
Hanya demi mempertahankan sepotong perasaan yang tertinggal dalam hati, pemuda itu terus bersumpah pada dirinya sendiri bahwa akan memegang mimpi tersebut sampai akhir.
Dalam dunia yang begitu kejam dan tidak menentu, mengalami banyak perpisahan dan melalui berbagai macam pertemuan, ia tetap berdiri dan terus melangkah.
Dari awal sampai akhir, sang pemuda terus berjalan menapaki kehidupannya yang seakan tiada ujung. Mempertaruhkan segalanya, kehilangan segalanya, lalu kembali mendapatkan alasan baru untuk tetap melihat ke depan.
Ada sebuah momen-momen dimana ia bercahaya terang dan menjadi panutan banyak orang, lalu ada kalanya juga saat-saat ketika dirinya jatuh ke dalam kegelapan hati dan dihujat semuanya.
Rekan, sahabat, keluarga ⸻ Ia sudah terlalu banyak merasakan kehilangan, sampai-sampai dirinya terbiasa dengan hal tersebut. Tanpa sadar, dirinya pun pada akhirnya berjalan sendirian dengan cara hidup yang berbeda dengan orang-orang di dekatnya.
Hidup dalam waktu yang berbeda, memiliki pandangan berbeda, dan pada akhirnya tujuan mereka pun tidak ada yang sama dengannya.
Meski paham jalan tersebut terlalu panjang untuk dilalui sendirian, sang pemuda tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun. Tanpa ragu sama sekali.
Tidak seperti rekan-rekannya yang menunggu seseorang meraih tangan mereka untuk bisa melangkah, pemuda itu berada di posisi yang mengulurkan tangan dan menanggung semua beban.
“Dari dulu sampai sekarang, engkau memang sama sekali tidak berubah. Selalu saja seperti itu. Karena itulah diriku mencintaimu ….”
Duduk mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, sang Dewi Penata Ulang meringkuk sedih dalam kesendirian. Dewi Kota yang sebelumnya menemani telah pergi dari Realm tersebut, tentu saja begitu pula jiwa terkasihnya yang sebelumnya sempat datang untuk bertemu.
Dalam Realm yang koordinatnya sangat terpencil di Celah Dimensi, Dewi dengan penampilan khas gaun hitam gotik tersebut hanya termenung ditemani boneka-boneka ciptaannya. Para malaikat, bentuk kehidupan ilahi yang dirinya ciptakan itu berbaris di sudut ruang dan hanya diam. Benar-benar terlihat seperti patung manusia dengan sayap indah mereka.
Ruangan megah dengan kesan klasik yang dirinya ciptakan seakan tidak bisa menghibur, malah semua yang ada di hadapannya cenderung terlihat seperti tempat karantina baginya. Begitu senyap, terasa hampa dan membosankan.
Dari waktu ke waktu, jumlah rambut sang Dewi yang memutih semakin banyak. Meski tubuhnya sekarang seharusnya adalah wadah yang sempurna baginya, pemutihan rambut berjalan dengan sangat cepat tanpa bisa dirinya kendalikan. Seperti memang tubuhnya sedang kembali ke bentuk asalnya.
Hanya duduk, diam, dan termenung tanpa bisa melakukan apa-apa dan dihantui rasa cemas membuatnya begitu stress. Meski seharusnya sang Dewi merupakan sosok ilahi yang tidak terjerat hal-hal duniawi seperti itu, perasaan suram membelenggu dadanya dengan erat.
“Dia … datang hanya untuk memperjelas permusuhan, ya?”
Dewi Helena mendongak dan menatap langit-langit ruang, menyipitkan tatapan dan sedikit memasang senyum pasrah setelah mengingat perkataan Odo. Meski paham dirinya pasti akan mendapat perkataan seperti itu darinya, Helena memang tidak bisa mengelak pada fakta bahwa itu sangat menyayat hati.
“Padahal … kali ini diriku kira bisa bertemu lagi dengan engkau yang masih polos. Sama seperti saat dulu, ketika engkau belum mengenal diriku.” Helena berhenti mendongak, menghela napas ringan dan menurunkan kedua kakinya dari sofa. Sembari perlahan memasang ekspresi kesal ia pun bergumam, “Semuanya salah anak itu …. Andai saja Mahia tidak protes dan mau mereinkarnasikan jiwanya dengan sempurna, pasti dia takkan mengatakan hal seperti itu kepada diriku ….”
Rasa kesal dalam hati Helena turun dengan cepat, tidak bisa protes lagi karena memang keputusan Mahia sudah mewakili jiwa pemuda itu. Sebagai bentuk kecerdasan sempurna yang tercipta di Dunia Sebelumnya, Mahia telah mencerminkan dengan sempurna keputusan penciptanya. Pertemuan sebelumnya benar-benar membuktikan hal tersebut.
Rasa frustrasi membuat Helena ingin menangis, namun tidak bisa dan menahannya dengan mata berkaca-kaca. Sang Dewi paham jika dirinya menangis dan mengharapkan sesuatu, pasti hal tersebut akan segera diwujudkan oleh dunia. Sebagai sosok yang menjadi prioritas utama dunia, Helena hampir bisa mengubah segalanya. Kecuali konsep-konsep yang tidak termasuk dalam susunan hukum kausalitas yang ada.
“Ada kalanya melupakan itu penting, kenapa anak itu tidak bisa paham?” gumam sang Dewi dengan sendu.
Dalam suasana hati yang bercampur aduk, dirinya bangun dari tempat duduk dan memejamkan matanya sesaat. Ketika ia kembali membuka kedua mata, di dalam kornea sang Dewi terdapat tujuh warna pelangi yang bercampur aduk dan dengan berubah menjadi hitam secara keseluruhan.
Melihat kedua tangannya sendiri, Helena tak bisa menahan air mata dan mulai menangis. Rasa sedih dan kecewa mengisi benak, benar-benar muak karena harus mengulangi tahap yang sama seperti apa yang dilimpahkan kepadanya saat di Dunia Sebelumnya. Sebuah peran menjadi seorang musuh dari jiwa yang dirinya cintai.
“Kenapa …? Kenapa selalu seperti ini? Padahal diriku sudah tidak butuh semua itu, kenapa dia tetap menjadikan diriku musuh? Diriku hanya ingin melihat engkau bahagia. Kekasihku …, kenapa kali ini juga engkau terus memilih mereka? Rekan-rekan engkau, keluarga, sahabat, semuanya telah tiada! Lalu apa yang ingin engkau capai?! Untuk apa … kali ini engkau menentang diriku kali ini?”
Menangis sendirian, mengeluh sendirian, lalu menyesalinya pun sendirian. Di antara segala dunia yang dirinya ciptakan, tidak ada satu pun makhluk yang bisa bersanding dengannya. Itulah arti dari menjadi makhluk paling tinggi.
Ketika jiwa yang dirindukannya kembali, fakta menyakitkan malah menghantam keras wajah sang Dewi Penata Ulang seakan diorama dunia yang telah dirinya susun dengan susah payah malah dilempar jauh-jauh tanpa arti. Dianggap pengganggu, lalu dinyatakan sebagai musuh dengan sangat tegas.
Dengan air mata berlinang, dalam benak Helena menyerah untuk mengambil langkah damai dan pelan. Sang Dewi menyerah untuk mempertimbangkan kehendak dari jiwa yang dirinya cintai. Berdiri tegak dan menatap barisan malaikat tanpa kepribadian di sudut ruang, ia mulai membuka kedua tangannya ke depan.
“Selama engkau mati pada waktunya dan kembali bereinkarnasi dengan sempurna, semua ini tidak masalah. Diriku akan memaafkan tindakan egois Mahia dan perkataan kasar engkau. Selama takdir yang dijanjikan itu datang, itu tak masalah ….”
Di saat Helena telah memutuskan untuk membuat langkah besar dan akan mengirimkan para malaikat ke Dunia Nyata, salah satu malaikat tanpa kepribadian tiba-tiba berbicara, “Apa yang hilang tidak bisa dikembalikan. Kau sendiri yang menghancurkan hubungan kita …, meski seharusnya waktu itu kita berdua pernah bisa mengerti satu sama lain.”
Itu membuat Helena tersentak dan menurunkan kedua tangannya. Menoleh ke sumber suara, sang Dewi terperangah melihat malaikat tanpa kepribadian yang sebelumnya pernah diambil alih Odo Luke. Malaikat tersebut bergerak dengan sendirinya, melangkah ke arah Helena dan memberikan tatapan tajam yang mirip dengan sang pemuda.
“Kenapa? Apa yang ⸻?!”
“Dulu kau juga pernah membunuh aku dan ingin menghapus semua ingatanku secara permanen. Menghancurkan tubuh utama milikku sampai-sampai aku harus mengekstrak jiwa, ingatan, serta kepribadian milikku ke dalam Kristal …. Yang tak pernah berubah itu kau! Dari awal, kau tak berniat untuk menerima diriku apa adanya!! Kau hanya memaksakan gambaran ideal kepadaku!”
“Diamlah!”
Helena langsung menunjuk malaikat tanpa kepribadian tersebut. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya seketika meledak dan dagingnya terpencar ke penjuru ruang. Darah bening menciprat ke makhluk sejenisnya, lantai, dinding, dan bahkan sampai ke sofa.
Tidak seperti saat tubuh malaikat tanpa kepribadian tersebut rusak seperti sebelumnya, tubuhnya kali tidak kembali pulih. Sebab kerusakan yang didapat terlalu parah untuk melakukan perbaikan diri. Namun, sebagai gantinya di susut lain ruangan dengan perlahan mulai kembali terbentuk malaikat dengan rupa yang sama.
Susunan tulang, sendi, saraf, darah, daging, kulit, rambut, dan bulu. Semua itu dalam hitungan detik mulai berkumpul dalam satu tempat, lalu membentuk tubuh malaikat baru yang sempurna tanpa kekurangan fisik.
Helena termenung dalam wajah pucat, merasa pemuda rambut hitam tersebut telah mengambil banyak langkah lebih dulu saat dirinya datang untuk bertemu. “Apa dia menanamkan pengaturannya saat mengambil alih malaikat yang diriku ciptakan? Dia … sudah memprediksi diriku? Bahkan sampai emosi dan perasaan ini …?” gumam Helena sembari melangkah mundur dan menabrak meja.
Ia pun terjatuh ke lantai, gemetar dan perlahan dihantui rasa takut akan bangkitnya kekuatan asli jiwa terkasihnya. Menutup wajah dengan kedua tangan, sang Dewi mulai gemetar dan bergumam, “Kalau dia bangkit, pertempuran abadi itu akan kembali terjadi …. Diriku tak sanggup melaluinya lagi. Diriku mohon, jangan bangkit …. Jangan kembali ke janti dirimu yang sebenarnya. Diriku sudah lelah dengan semua ini ….”
ↈↈↈ
“Jangan pernah berhenti untuk berpikir, meragukan dan mencurigai merupakan tanda jati. Itulah dirimu.”
Seakan dikutuk oleh perkataan dari masa lalu, tidak pernah satu kali pun Odo Luke bisa langsung mempercayai perkataan orang lain tanpa mempertanyakannya. Meragukan, mencurigai, lalu mencari maksud dari kebenaran dan kebohongan yang masuk ke telinga. Itulah caranya, bentuk pertahanan hidup sang pemuda.
Hari masih belum berganti. Matahari telah naik ke puncak tertingginya dan memapar daratan dengan sangat terang. Sesudah melakukan beberapa pembicaraan dan mengantar kepergian beberapa Shieal dan Matius ke Ibukota, Odo memilih untuk melakukan hal yang berbeda dari rutinitas.
Melangkahkan kaki di antara pepohonan oak dengan tanah yang sedikit lembap karena rerumputan, pemuda rambut hitam tersebut mengambil pedang Gladius dari dimensi penyimpanan pada sarung tangannya. Langkah kaki Odo sama sekali tidak memiliki rasa ragu, dengan tegas dan kuat terus masuk ke dalam hutan yang letaknya tidak jauh dari kota pesisir. Seakan memang telah memiliki tujuan pasti dalam perjalanannya kali ini.
Sepanjang kakinya melangkah, suara kicau burung dan ramainya serangga musim panas menemani. Sinar matahari masuk melalui celah-celah dedaunan, seakan terpotong-potong dan sampai pada sang pemuda. Rusa serta kijang sesekali terlihat melintas, begitu pula para serigala yang sedang berburu ataupun tupai-tupai di lubang-lubang pohon.
Melewati sebuah sungai bebatuan dengan arus deras, Odo sekilas melihat beruang yang baru saja menangkap ikan. Namun saat menyadari keberadaan pemuda itu, beruang tersebut langsung kabur ke dalam hutan membawa mangsanya. Seperti memang makhluk buas sepertinya menyadari ada yang menakutkan dari pemuda rambut hitam tersebut.
“Hampir sampai,” gumam Putra Sulung Keluarga Luke sembari kembali melangkah, lalu menggunakan bebatuan sungai sebagai batu loncatan dan menyeberang.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari dua jam dari kediamannya, akhirnya Odo sampai di tempat tujuan. Sebuah zona berbahaya di dalam hutan yang menjadi tempat para monster tinggal. Populasi monster di tempat tersebut memang tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan Hutan Pando.
Namun, untuk penduduk biasa dengan mudah bisa terbunuh jika masuk ke dalam zona tersebut tanpa persiapan. Karena itulah dalam peta rute perdagangan zona populasi monster itu dihindari, lalu dijadikan oleh beberapa pemburu untuk mengais nafkah dengan memburu monster dan menjual bagian tubuh mereka di pasar.
Saat keluar dari hutan dan memasuki tempat dengan permukaan penuh bebatuan, sesaat Odo mengingat kembali bahwa dirinya pernah datang ke tempat tersebut tahun kemarin. Ketika dirinya pertama kali mulai sadar bahwa reinkarnasi yang dialaminya tidaklah seindah yang dikira.
Momen saat Odo paham pada kenyataan, bahwa tempatnya sekarang bukanlah sebuah dunia lain yang penuh dengan imajinasi seperti layaknya cerita-cerita dalam buku yang pernah dirinya baca.
Menatap lurus ke depan, pemuda itu melihat dua ekor Goblin yang sedang menggotong rusa buruan mereka ke dalam sebuah Gua. Ia pun mengikuti mereka, lalu mengintai dari balik semak-semak yang tumbuh di tanah yang sedikit berbatu.
Ketika dua ekor Goblin tersebut sampai di dekat bukit berbatu, Odo seketika menggenggam erat pedang pendek di tangan. Sembari menyipitkan mata ia pun bergumam, “Itu Gua milik Giftmelata yang tahun lalu aku bunuh, ‘kan? Apa mereka menggunakannya untuk sarang? Berarti ada yang sudah bermutasi dan memimpin mereka? Kalau begitu, seharusnya paling tidak ada Tahap Lanjutan atau mungkin Mutan Awal di sana ….”
Odo sesaat memilih untuk bersembunyi di balik semak-semak, kembali mengamati dan memperkirakan sarang yang akan dirinya serang tersebut. Ada sembilan ekor yang lalu-lalang di depan Gua, berkelompok antara dua sampai tiga Goblin dalam menjaga mulut Gua yang mereka jadikan sarang.
Menarik napas dalam-dalam, pemuda rambut hitam itu kembali bergumam, “Kalau mereka berkembang cepat seperti ini dalam beberapa bulan saja, berarti tidak ada pemburu yang masuk ke zona ini? Atau … mereka memilih tempat lain untuk berburu⸻?” Odo langsung terdiam, seketika paham alasan para pemburu dari Guild tidak lagi masuk ke zona berbahaya untuk memburu para monster yang biasanya secara rutin mereka basmi.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Fakta Resaif
Fakta 000: Pojok ini berisi tentang fakta, rincian tambahan, bagian yang tidak dimasukkan ke dalam cerita utama atau informasi pendukung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Ken Arrock
👍👍👍
2021-03-29
1