Sebelum bertindak lebih jauh, Ra’an berjalan menuju mereka dan memukul kepala rekannya tersebut dengan gagang sapu. “Hentikan itu, Letnan. Dasar maniak,” tegurnya dengan nada sedikit jijik.
“A ⸻?! Maaf ….”
Di’in segera bangun dari anak kecil yang ditindih dan melangkah menjauh, merasa telah melakukan hal yang sangat berlebihan. Melihat anak yang tadi ditangkapnya masih meringkuk dan menangis tersedu-sedu, untuk sesaat Letnan Dua tersebut merasa seperti orang yang benar-benar jahat.
“Wah, wah …. Letnan membuat anak kecil menangis, dasar predator,” sindir Ra’an.
“Be-Berisik! Diriku tidak bermaksud membuatnya menangis! Tadi hanya ingin menangkapnya dan mengajukan beberapa pertanyaan!”
“Pertanyaan seperti apa memangnya, Letnan?” Ra’an semakin menatap jijik dengan sifat atasannya tersebut, merasa kalau samar-samar Di’in memang memiliki kelainan karena tingkahnya selalu berlebihan jika berurusan dengan anak-anak. Sembari menjauh ke belakang, perempuan rambut pirang tersebut berkata, “Saya hanya melihat Anda berlari seperti seorang maniak, lalu Anda begitu kegirangan setelah menangkap salah satu anak-anak yang tadi berlarian.”
Di’in tidak memiliki alasan untuk mengelak dari tuduhan tersebut, karena memang seperti itulah yang terlihat. Dengan sedikit bingung Letnan Dua tersebut mendekat ke arah rekannya dan berkata, “Dengarkan dulu perkataanku, Ra’an …. Bukan berarti aku ingin melakukan hal buruk kepada mereka. Sungguh, percayalah dan berhenti menatap seperti itu.”
“Sungguh? Lalu, kenapa Anda sampai membuatnya menangis ⸻?”
Perkataan Ra’an terhenti. Saat ia hendak menunjuk anak perempuan yang sebelumnya dijatuhkan rekannya, anak itu sudah tak ada di tempat dan sama sekali tidak meninggalkan jejak. Dalam hitungan detik tersebut, seketika tubuhnya gemetar dan kepalanya diisi pikiran-pikiran buruk.
Di’in yang melihat mimik wajah rekannya segera melihat ke arah anak perempuan yang tadi menangis, lalu ia pun terkejut karena tidak melihatnya di mana pun. “Kapan dia pergi?” tanya Letnan Dua dengan cemas.
“Letnan, mungkin saja … anak-anak itu sebenarnya tidak pernah ada di kastel ini? Mereka itu … sebenarnya tidak pernah benar-benar ada, dan apa yang kita lihat selama ini itu adalah …..”
Di’in segera menoleh dan memasang mimik wajah datar, merasa bosan dengan gurauan semacam itu. Setelah menghela napas sekali ia pun berkata, “Memangnya kamu percaya hantu? Sampai kapan lelucon seperti itu mau kamu pakai.”
“Wah, tidak ada efeknya lagi rupanya.” Ra’na tertawa kecit setelah mendapat reaksi seperti itu. Sembari mendekat kembali ia pun meledek, “Padahal …, Anda saat pertama mendengar lelucon seperti ini langsung marah dan menyuruh saya berhenti. Sayang sekali sudah basi.”
“Sudahlah, sekarang diriku penasaran ke mana perginya anak itu. Tadi …, aku bahkan tidak sadar kalau anak itu sudah pergi.”
Merasakan hal yang sama, Ra’an juga mulai sedikit cemas. Anak-anak kembar di kastel memang melakukan komunikasi dengan mereka, namun tidak secara langsung dan hanya perupa memberi petunjuk ataupun tulisan tangan pada kertas.
Saat Di’in dan Ra’an menanyakan tempat penyimpanan, kamar tidur, kamar mandi, dan sebagainya, anak-anak kembar tersebut akan memberikan petunjuk tempat seperti tulisan atau semacamnya dan menghindari komunikasi secara langsung. Seakan-akan memang mereka dilarang melakukan kontak langsung dengan mereka oleh The Witch of Orgin.
Membingungkan, tidak memiliki arti yang jelas dan begitu abstrak. Untuk sekali lagi, kedua perempuan yang berasal dari Moloia tersebut meragukan keharusan mereka berada di kastel penuh misteri tersebut.
Namun, di tengah keraguan yang mulai mengisi hati mereka sebuah hal mengejutkan terjadi. Seakan datang untuk menghilangkan rasa suram, suara keras benda besar tercebur ke dalam genangan air terdengar.
Mereka segera menoleh, menatap terkejut ke arah ledakan air di depan bangku taman tempat mereka berada sebelumnya. Air berwarna biru terang mulai menggenang dan itu seakan bercahaya seperti neon. Di tengah rasa bingung kedua perempuan itu, dari genangan air tersebut seorang pemuda merangkak keluar.
Rambut hitam, mata biru, serta postur tubuh yang cukup tinggi. Meski warna kulitnya sedikit menggelap, namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk Di’in dan Ra’an tidak mengenalinya. Pemuda yang keluar dari genangan air tersebut adalah Odo Luke, orang yang memerintahkan mereka berdua untuk menetap di kastel milik The Witch of Orgin.
“Hmm, Puddle yang dikombinasikan dengan Radd Sendangi memang sangat praktis. Hanya dengan meninggalkan penanda infomasi keberadaan pada mereka, aku bisa langsung berpindah ke sini. Berarti untuk pengiriman surat itu seharusnya tidak masalah karena aku juga pernah melakukan memanipulasi informasi Arteria ….”
Odo untuk sesaat terdiam, tidak melihat sekeliling dan malah fokus dengan apa yang baru saja dicobanya. Seperti yang telah diucapkan, cara yang pemuda itu lakukan untuk datang adalah kombinasi antara dua kekuatan Native Overhoul, jenis telepati dan teleportasi.
Dalam dasar penggunaan, Puddle hanya bisa memindahkan pengguna ke tempat yang pernah dikunjungi atau sejauh mata memandang. Namun, jika hal tersebut dikombinasikan dengan Radd Sendangi yang bisa mengunci lokasi tempat individu dan mengambil beberapa informasi tempat melalui jalur telepati, Odo bisa dengan mudah ke tempat orang yang pernah dimanipulasi informasi tubuhnya.
Jika ditanya kapan Odo melakukannya kepada Di’in dan Ra’an, itu adalah ketika ia menolong kedua perempuan dari Moloia tersebut. “Untunglah darahku yang masuk ke tubuh mereka masih dalam keadaan aktif sampai sekarang,” gumam pemuda rambut hitam tersebut sembari melihat ke arah dua orang yang masih ditandainya.
Menggunakan kekuatan Penglihatan Jiwa yang pernah dirinya salin dari Putri Arteria, Odo melihat kepingan api hitam kecil di antara kobaran api dua perempuan dari Moloia tersebut. Itu adalah tanda dari serpihan jiwa yang ada di dalam diri mereka. Meski serpihan itu telah lepas dari sumber utama, namun mereka masih hidup dan melakukan simbiosis mutualisme dengan inangnya.
Menyingkirkan hal tentang percobaan-percobaan dari kepala, Odo segera fokus pada tujuannya datang lagi ke tempat kediaman Witch. Pemuda itu melambaikan tangan ke arah kedua perwira tersebut sembari bertanya, “Lama tak jumpa! Di’in! Ra’an! Kalian berdua di sini tidak ada masalah, ‘kan? Apa Lileian tidak lupa memberikan kalian makan?”
Mendapat pertanyaan yang terdengar tak penting bagi mereka, Di’in dan Ra’an langsung berlari ke hadapan Odo. Mereka menatap penuh rasa kesal, seakan menuntut pemuda itu mengatakan hal yang lebih penting lainnya.
Namun sebelum Putra Tunggal Keluarga Luke itu kembali berkata, anak-anak kembar keluar dari tempat persembunyian mereka di balik pagar tanaman dan menghampiri Odo. Itu sempat membuat Di’in dan Ra’an terkejut karena sama sekali tidak merasakan hawa keberadaan mereka.
Anak-anak Lileian tersebut menatap penuh antusias, begitu senang akan kedatangan Odo ke tempat mereka. Sembari memeluk, menarik-narik tangan dan pakaian, mereka pun secara bergiliran berkata.
“Kak Odo datang lagi? Apa Kak Odo ingin bertemu Ibunda?”
“Kakak! Kakak! Ayo masuk! Ibunda pasti senang melihat Kakak!”
“Itu benar, Kak Odo harus disambut!”
“Ayo masuk, Kakak! Ayo!”
“Ibunda sepertinya juga sudah tahu kalau Kakak akan datang!”
Dari keenam anak kembar tersebut, lima di antaranya benar-benar menyambut Odo dengan sangat antusias. Mereka semua terdiri dari tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki, memiliki karakteristik watak masing-masing saat berbicara. Meski secara penampilan sangat identik satu sama lain.
Odo hanya terdiam meski kedua tanyanya ditarik mereka dan diajak masuk. Untuk sesaat, ia merasa anak-anak kembar tersebut mengalami banyak perkembangan jika dibandingkan dengan terakhir kali dirinya bertemu mereka. Tentu bukan secara fisik, namun kepribadian mereka.
Tatapan pemuda rambut hitam tersebut terarah kepada satu anak perempuan yang menjadi Main dari Cluster anak-anak kembar tersebut. Sebelum ia sempat bertanya, anak perempuan yang sebelumnya menjadi korban pelecehan Di’in tersebut menghampiri Odo dan menatap tajam.
Anak perempuan rambut pirang tersebut langsung menunjuk sang pelaku di tempat tersebut, lalu tanpa ragu melaporkan, “Kakanda Hitam, tadi saya dilecehkan manusia itu! Dia orang jahat!”
Di’in dan Ra’an tersentak mendengarnya, merasa sifat anak tersebut sangat buruk karena melaporkan masalah kecil tersebut dengan nada menuntut. Sang Letnan Dua langsung memberikan pembelaan, “Tidak! Dia bohong kok! Aku tidak melakukan hal buruk padanya.”
Mendengar reaksi tersebut, Odo tertawa kecil dan berkata, “Kalian akrab, ya …. Senangnya melihat kalian semua ⸻”
““Akrab dari mana?!”” Di’in dan Ra’an dengan kompak membantah.
Sang Letnan Dua menunjuk wajah Odo, lalu dengan penuh kesal menyampaikan, “Hey! Dengar ini baik-baik! Sejak kami datang, mereka sama sekali tidak mau berbicara dengan kami, tahu! Apanya yang akrab! Sejak musim semi loh!”
“Yah, paling tidak mereka tak benar-benar acuh, ‘kan? Mereka tetap menyiapkan makanan, memberi kalian kegiatan, dan memberitahu kalian tempat-tempat di kastel supaya tidak tersesat.”
“Eh?” Untuk sesaat Di’in merasa ada yang janggal. Perkataan Odo seakan-akan telah mengetahui segala yang hal yang telah dialami kedua perempuan dari Moloia tersebut. Dengan sendirinya, Di’in pun menyimpulkan, “Apa … kamu selama ini berkomunikasi dengan Witch itu?”
“Hmm ….” Odo tidak menjawab dengan jelas dan hanya mengangguk, membiarkan itu menjadi rasa penasaran Letnan Dua tersebut. Mengacungkan jari telunjuknya, pemuda rambut hitam itu berkata, “Daripada membahas hal yang sudah berlalu, mari kita bicarakan alasan ku datang ke tempat ini.”
Mendengar itu, Ra’an yang tadinya masih menjaga jarak mulai mengambil satu langkah mendekat dan berdiri di dekat salah satu anak kembali di dekat Odo. Dengan sorot mata serius, perwira Moloia dengan pangkat Pembantu Letnan Satu itu pun bertanya, “Apa … setelah ini kau akan memberikan kami tugas yang sesuai? Sungguh konyol seorang perwira seperti kami bekerja sebagai pelayan seperti ini.”
“Tenang saja, kalian setelah ini akan aku minta untuk mengawal ku.” Odo melangkahkan kaki dan berjalan menuju kastel, lalu semua anak-anak kembar dan kedua perempuan itu pun mengikutinya. Setelah menurunkan jari telunjuk, pemuda rambut hitam itu kembali menyampaikan, “Setelah ini kalian akan mendapatkan tugas untuk membunuh orang, dengan senapan dan sihir kalian.”
“Eh? Membunuh?” tanya Ra’an terkejut.
“Memangnya siapa yang ingin kau bunuh?” tambah Di’in.
“Kita akan membicarakan itu nanti. Yang lebih, aku sekarang harus bicara dengan Lileian. Ada hal yang perlu aku pastikan …. Setelah itu, kita akan membahas tugas kalian.” Odo menoleh ke arah salah satu anak kembar yang berjalan di sebelah kanannya, lalu dengan nada serius bertanya, “Hilya, apa kau sudah menyampaikan apa yang aku minta kepada Ibumu?”
“Hmm ….” Main dari Cluster anak-anak kembar mengangguk, lalu sembari meniru gaya bicara Odo ia pun mengangkat jari telunjuk dan menjawab, “Soal apa yang Kakanda Hitam setelah keluar dari bangkai Raja Iblis Kuno itu sudah saya sampaikan. Lalu, dengan apa yang Kakanda minta juga ….”
“Jadi, apa jawabannya?”
“Ibunda menolaknya dengan sangat keras.”
.
.
.
.
Jika dibandingkan dengan terakhir kali Odo berkunjung ke tempat tersebut, arsitektur dan tata ruangnya mengalami cukup banyak perubahan. Lantai marmer, furnitur, kaca hias, dan bahkan tata letak ruang banyak yang terasa berbeda. Meski seharusnya tidak ada pembangunan atau renovasi terhadap kastel tersebut, semua apa yang ada di dalamnya berubah seakan-akan bangunan tersebut mengikuti perubahan tahun yang berlangsung.
Kesan yang lebih cerah dengan warna krem dan putih mendominasi dinding, lalu pada lantai diisi dengan keramik cokelat kayu. Sepanjang dirinya melangkah di lorong, kaca-kaca hias di setiap jendela pun mengalami banyak perubahan. Dominasi biru terang dan hijau, kaca lukis yang terpasang seperti sedang menceritakan sebuah musim hijau dengan pepohonan dan sungai.
Tak lama setelah masuk ke dalam kastel, akhirnya Odo bersama anak-anak Lileian dan kedua perempuan Moloia sampai di ruang tamu. Seperti lorong dan tempat-tempat lain yang dilihat pemuda itu di sepanjang lorong, ruang tamu yang pernah dirinya datangi itu pun mengalami perubahan.
Merah daun pada musim gugur, warna tersebut seakan menjadi tema utama dari ruangan. Dari perabotan seperti meja, kursi, lemari, stoples, lampu gantung, hiasan dinding, dan bahkan sampai lantai, semuanya mencerminkan kesan musim gugur yang kuat.
“Apa kalian yang merenovasi kastel ini?” tanya Odo kepada anak-anak Lileian. Ia menghentikan langkah kaki sebelum sampai ke maja, menatap datar dan kembali bertanya, “Dari mana kalian mendapat bahannya? Furnitur memang bisa saja kalian mendapatnya dari hutan, tapi bukannya di sekitar sini tidak ada tambang untuk lantai keramik?”
Pertanyaan tersebut membuat anak-anak Lileian menghentikan langkah mereka. Mewakili saudara-saudarinya, anak laki-laki yang memiliki nama En menyampaikan, “Tentu saja kami memakai sihir. Apa Kak Odo tidak tahu? Kastel ini sebenarnya adalah sebenarnya adalah Kuil Sihir yang dibangun Ibunda. Memanfaatkan tipologi geografis dan energi alam, secara berkala Mana di seluruh hutan diserap oleh bangunan. Menggunakan itu, kami bisa dengan mudah mengubah isi kastel.”
“Ah, Ibu kalian memanfaatkan pengetahuan dari Dewi Kota itu rupanya.” Odo sesaat memalingkan pandangan. Kembali melangkahkan kaki dan mengambil kursi dari kolong meja utama, setelah duduk pemuda itu pun kembali berkata, “Kalau diingat-ingat, topologi bangunan ini juga hampir sama dengan yang ada di Mylta. Semacam Feng Shui untuk mengatur energi positif dan negatif untuk dimanfaatkan.”
“Kakak Hitam paham soal Feng Shui?” tanya Riria, anak perempuan dari keenam kembar tersebut.
“Ya, tentu saja tahu. Tapi untuk penataan ruangan yang kalian gunakan, aku belum pernah melihatnya. Memangnya sirkuit sihir macam apa yang kalian gunakan? Sihir ruang? Atau sihir penciptaan?” tanya Odo.
Pemuda itu bukan berarti benar-benar penasaran dengan hal tersebut, ia mulai bertanya hanya untuk membuka pembicaraan. Menggunakan Spekulasi Persepsi terhadap aliran Mana yang ada di ruangan, dirinya langsung sedikit paham kalau memang struktur sihir di kastel memiliki banyak kemiripan dengan apa yang digunakan pada Toko Ordoxi Nigrum. Namun, lebih kompleks karena sampai bisa mempengaruhi bentuk objek di dalam bangunan serta tata letak ruang.
“Yah, apa yang aku gunakan pada toko sebenarnya mencontek dari bangunan milik Lileian. Pertanyaan ini rasanya tak terlalu penting,” benak Odo sembari memalingkan pandangan.
Tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, baik anak-anak Lileian ataupun Di’in dan Ra’an, mereka semua duduk di kursi masing-masing untuk memulai pembicaraan kecil mereka. Sembari mengisi waktu saat mereka menunggu Nyonya Rumah tempat tersebut datang menemui sang tamu.
Mereka membahas topik yang pertama kali Odo mulai, soal perubahan di dalam kastel tersebut. Dalam penjelasan anak-anak Lileian, Odo tidak mendapatkan informasi tambahan yang terlalu penting. Anak-anak tersebut cenderung langsung menyimpulkan bahwa yang tahu struktur sihir kastel hanya ibu mereka, The Witch of Orgin, Lileian.
Namun setelah menggunakan Spekulasi Persepsi kembali dan mengisi kekosongan dari penjelasan yang terputus-putus mereka, Putra Tunggal Keluarga Luke tersebut mendapat kesimpulan yang menarik.
Konsep Penciptaan dari Ether yang diolah menjadi Mana ⸻ Tahapan dari metode tersebut mengingatkan Odo dengan sifat Maha Kuasa milik Dewi Helena, bisa menciptakan segalanya selama memahami informasi dari objek yang akan diciptakan. Dengan memaafkan energi dari dalam tubuh sebagai pemicu dan yang ada di luar sebagai material, dengan mudah sang Dewi bisa menciptakan segala objek dari benda mati, makhluk hidup, bahkan sampai materi baru yang dirinya perlukan.
Di tengah pembicaraan kecil mereka yang belum selesai, pintu utama ruangan tiba-tiba terbuka dan Nyonya Rumah pun datang. The Witch of Orgin, Lileian, wanita rambut pirang yang memiliki paras sangat mirip dengan anak-anaknya itu melangkahkan kaki ke dalam ruangan.
Wanita dengan kornea mata merah tersebut mengenakan Maxi Dress hitam yang sedikit ketat dan pendek sampai paha, tampak lebih terbuka jika dibandingkan dengan pakaian yang dirinya biasa pakai. Sarung tangan hitam berenda dikenakan pada kedua tangan, lalu kedua kakinya mengenakan sepatu hak tinggi berwarna hitam.
Lileian menghentikan langkah kakinya, sebelum dirinya duduk di kursi yang telah disediakan untuknya supaya bisa bertatap muka dengan Odo. Wanita itu hanya diam dan tetap berdiri di depan meja, tanpa sedikitpun niat menarik kursi dari kolong dan duduk untuk memulai pembicaraan.
Dengan tampak canggung, wanita rambut pirang tersebut menatap ke arah tamunya tersebut dan bertanya, “Sebelum kita mulai pembicaraan, boleh diriku memastikan sesuatu, wahai Unsur Hitam?”
Odo balik menatap, paham dengan rasa cemas wanita itu. Raut wajah, kecemasan yang jelas, serta rasa takut yang mulai ditunjukkan gestur tubuhnya. Melihat semua itu darinya, sang pemuda berkata, “Silahkan saja, kita punya banyak waktu hari ini.”
Menelan air liur dengan berat, Lileian pun bertanya, “Apa benar seperti yang disampaikan salah satu putri ku? Engkau … ingin membunuh sang Dewi Penata Ulang?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Odo hanya menatap datar dan memasang senyum santai seakan-akan pertanyaan itu tidak penting. Ia perlahan mengangkat tangannya ke depan dan menunjuk lurus ke arah Lileian.
Sembari mengubah senyuman menjadi seringai gelap yang mengintimidasi, Odo mulai menurunkan tangannya dan berdiri. Ekspresi yang ada pada pemuda itu membuat Lileian gemetar dan melangkah mundur, instingnya kembali diingatkan dengan rasa takut yang seharusnya sukar dirasakan oleh makhluk kayangan.
Tidak membiarkan wanita itu bereaksi lebih dari itu, Odo langsung menggunakan Langkah Dewa. Kurang dari hitungan satu dekik dan sebelum semua orang bereaksi, pemuda itu langsung berdiri di hadapan Lileian.
Odo telah memasang ancang-ancang dengan tangan kanan mengepal kencang. Meningkatkan sirkuit sihir penguatan pada sarung tangan, tanpa ragu ia menghajar wanita itu dengan sekuat tenaga.
Pukulan menembus perut Lileian, sangat cepat sampai-sampai dirinya tak sempat memasang sihir untuk menghalau. Serpihan daging yang terpental sampai menempel ke dinding di belakangnya, dan darah pun berceceran di lantai.
Semua orang di ruangan tersebut terkejut dan tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Meski begitu, anak-anak Lileian yang telah belajar tentang emosi membuat tubuh mereka bergerak sebelum sepenuhnya memahami situasi yang ada.
Mereka langsung meloncat dari tempat duduk, mengaktifkan Inti Sihir mereka dan berniat menyerang Odo demi untuk menyelamatkan Ibu mereka.
Namun sebelum serangan anak-anak tersebut mengenainya, Odo mendekatkan mulutnya ke telinga Lileian dan berbisik, “Link Perception ….”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Catatan :
Yoi! CH pertama di Arc 03 ini!
Kemungkinan besar Book 2.0 ini bakal diisi oleh Arc 03 doang. Yah, baru rencana.
See You Next Time!
Jangan lupa dukung terus Seri ini supaya Author semangat mengudara!
Kode Khusus untuk bergabung ke Grup Chat "Kenikmatan"
Bagi yang udah mengajukan bergabung tapi gak diacc, silahkan ajukan lagi dan pakai kode di bawah untuk alasan bergabung.
"ChainMan"
Berlaku sampai tanggal 11/09/2020
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Odoluke
5 anak : 3 perempuan & 3 laki-laki
2022-12-10
0
ime Queen
up up up sehat selalu thor
2021-01-31
2
Xeviorynz
Odo easanya seperti Anti-Hero
2020-12-14
0