Pada semestinya untuk ikut campur urusan makhluk mortal adalah pantangan bagi para penduduk kayangan. Namun pada momen ketika Dewi Asmali mendengarkan doa dari Ratu Pertama Felixia dan mengabulkannya, itu adalah sebuah pengecualian yang diberikan oleh sang Penata Ulang Dunia.
Sebuah toleransi pertama sejak diberlakukannya Perjanjian Kuno untuk tidak ikut campur urusan takdir para Mortal.
Pada tempat dimana konsep waktu tidak stabil, ruang berantakan dan susunan informasinya sangat jauh dari bentuk dunia yang konkrit, kedua Dewi saling bertatap muka setelah puluhan ribuan tahun berlalu di antara mereka.
Perempuan berparas muda duduk di atas peti mati, melipat kedua kakinya ke depan dan memasang mimik wajah muram seakan tidak menikmati pertemuan tersebut. Ia memiliki warna rambut hitam panjang bergelombang sampai punggung dan sebagian telah memutih, kornea matanya menyala ungu, dan kulit tampak pucat.
Seakan menyesuaikan dengan tempatnya duduk, sang Penata Ulang Dunia mengenakan gaun berenda dengan kesan gotik yang kental, serta hiasan pita ungu pada bagian samping kepala. Pada kedua tangannya terdapat sarung tangan tipis berwarna hitam panjang sampai siku, serta kedua kaki pun mengenakan sepatu kayu yang mungil.
Berdiri di atas puing yang melayang di Celah Dimensi, Dewi Asmali menatap lawan bicaranya dengan sorot mata tak tenang layaknya seorang bawahan yang dipanggil oleh pimpinannya setelah melakukan kesalahan.
Penampilan sang Dewi Kota tersebut sangat mirip dengan rupa Putri Arteria, dari ujung rambut sampai kaki. Memiliki rambut biru langit, mata ungu, dan bahkan tinggi badannya serta suara pun mirip.
Namun, bukan berarti sang Dewi datang ke Celah Dimensi dengan meminjam tubuh Tuan Putri Arteria. Ia berdiri di sana dalam bentuk Astral, menggunakan salah satu kekuatan yang dimilikinya sebagai sosok yang mengatur Dunia Astral dan menjadi pemimpin para Roh.
“Duduklah ….”
Dengan satu kata dari Dewi Helena, sebuah sofa tercipta di atas puing-puing tempat Dewi Asmali berdiri. Untuk sesaat Asmali memalingkan pandangannya, merasa ada yang sedikit berbeda dari sosok penguasa kayangan yang memanggil dirinya untuk bertemu.
Seraya merapikan gaun abu-abunya, Dewi Asmali duduk dengan sopan dan segera bertanya, “Sejak kapan engkau berpenampilan seperti itu dan meniru para manusia, wahai pemimpin bangsa kami?”
“Apa … yang kamu maksud, wahai salah satu Dewi ku?” Helena berhenti melipat kakinya ke depan, ia mulai duduk di ujung peti dan menggantung kedua kakinya. Sembari memasang seringai lebar, ia kembali bertanya, “Apa kamu juga penasaran dengan penampilan yang diriku gunakan saat ini?”
“Hmm, sedikit ….” Menyadari ada yang sedikit janggal dari perkataan Helena, sang Dewi Kota kembali menatap lawan bicaranya dan bertanya, “Hmm, juga? Berarti ada lagi yang tahu engkau telah terbangun setelah sekian lama?”
“Beberapa waktu lalu diriku sudah bicara dengan Lileian, untuk menyiapkan waktu yang dijanjikan itu. Karena itulah diriku menggunakan wujud ini untuk persiapan tersebut.”
Mendengar jawabannya, Aslami merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Arti dari waktu yang dijanjikan juga berdampak besar bagi dirinya, berarti sudah semakin dekat untuknya menarik perlindungan yang telah diberikan kepada Kerajaan Felixia. Bagi Dewi yang sangat mencintai kota dan semua penduduk negerinya, itu bukanlah hal yang menyenangkan.
“Apa benar … jiwa itu yang engkau cari, wahai pemimpin kami?” tanya Dewi Asmali.
“Hmm, memang dia.”
Helena menatap ke arah ruang kosong di Celah Dunia, sedikit teringat dengan masa lalu dan membuatnya tersenyum tipis. Itu bukanlah ekspresi senang atau bahagia, namun lebih cenderung penyesalan dan kesedihan.
Perlahan menurunkan tatapannya dan kembali melihat ke arah Asmali, sang Penata Ulang mengendus ringan dan berkata, “Meski diriku tidak melihatnya secara langsung, ia memang berada dalam semesta yang diriku tata ini.” Mimik wajah muram perlahan berubah menjadi senyum senang, memperlihatkan ekspresi yang tidak pernah dirinya perlihatkan kepada semua makhluk kayangan. Sembari mengangkat telunjuknya ke depan mulut, dengan riang ia kembali menyampaikan, “Bergembiralah kalian para makhluk kayangan! Setelah sekian lama akhirnya perjuangan anak-anak Korwa itu berhasil. Tujuan kalian diriku ciptakan sudah semakin dekat.”
“Korwa? Makhluk setengah-setengah yang ditugaskan untuk ratusan pengulangan dunia di dasar dimensi? Apa itu benar-benar nyata? Jujur saja diriku tidak merasakan dampak pengulangan meski telah diberitahu,” ucap Asmali dengan ragu.
Meski pun diperintah untuk berbahagia, Dewi Kota tidak merasakannya. Bukan karena ia tumpul terhadap perasaan seperti itu, namun ia memang tidak tahu tujuan serta alasan penciptanya melakukan hal merepotkan seperti itu.
Helena tampak sedikit kecewa melihat salah satu ciptaannya tidak merasakan kesenangan yang sama dengannya. Memalingkan pandangan, setelah menghela napas ia pun berkata, “Engkau tidak merasakannya karena engkau termasuk bagian dari takdir dunia, itu selalu bergerak menyesuaikan perubahan dan melindungi kalian ….”
Meski diberitahu hal tersebut, Asmali tetap tak mengerti karena itu diluar bidang pengetahuannya. Ia adalah Dewi Kota yang tahu segalanya tentang kota, karena itulah pengetahuan terkait dunia secara mendasar tidaklah dirinya miliki.
Melihat ekspresi bingung salah satu makhluk ilahi ciptaannya, Helena menatapnya dan sembari mengangkat telunjuknya ke depan menjelaskan, “Bagi mereka yang berada di luar susunan takdir yang telah diriku buat, pengulangan yang dilakukan Korwa berkali-kali itu sangatlah menyakitkan. Sebaiknya engkau bersyukur, Asmali. Jika saja engkau berada di posisi Korwa, ego serta keberadaan itu pasti akan lenyap saat proses pengulangan untuk memberikan hasil yang kita nikmati sekarang ini.”
Asmali tetap tidak bisa merasa berterima kasih kepada pengorbanan Korwa dan para salinan dari dimensi dasar yang disebut dengan anak-anak Korwa. Bagi dirinya, hal tersebut hanyalah sebuah peran yang diberikan oleh Penata Ulang Dunia kepada salah satu ciptaannya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Meskipun benar seperti apa yang telah dikatakan oleh Helena, diumpamakan Asmali mendapat tugas tersebut di dasar dimensi, ia tidak akan protes atau bahkan mengutuk penciptanya tersebut dengan kata-kata.
Karena memang seperti itulah seharusnya para makhluk kayangan bertindak, mematuhi sosok yang lebih tinggi derajatnya dari mereka.
“Lalu, di mana Korwa sekarang, wahai pemimpin kami? Jika tugas yang diembannya telah selesai, mengapa ia tidak menemui engkau atau kembali ke kayangan? Apakah Korwa juga memiliki Inkarnasi atau wadah di Dunia Nyata seperti diriku dan Lileian?”
Mendapatkan pertanyaan tersebut, mimik wajah Helena kembali muram. Seakan ada sesuatu tidak sesuai rencananya, ia menurunkan telunjuk dari depan mulut dan mulai menggigit kuku jempol tangan dengan kesal.
“Sayangnya Korwa yang kita ketahui masih tertidur. Jika dirimu ingin menemuinya, ada salah satu salinannya di Dunia Nyata.” Helena berhenti menggigit kuku, bersiap menjentikkan jari dan bertanya, “Ingin diriku kirim kamu ke sana? Kalian cukup saling mengenal dan akrab, bukan?”
“Ti-Tidak usah. Kalau hanya salinan, bukannya mereka berbeda?”
“Benar juga.” Helena menurunkan tangan ke atas pangkuan, lalu dengan ekspresi kesal ia pun mengeluh, “Jika saja Korwa bisa bertemu dengan jiwa itu sekali lagi, mungkin ia akan meloncat-loncat kegirangan. Andai saja Mahia tidak protes soal koordinasi dan skenario yang telah disusun diriku, mungkin jiwa mulia tersebut akan lahir di tempat yang lebih baik dan tidak terlalu membebani Korwa. Kenapa … anak itu tidak suka kalau diriku yang berada di sisinya?”
Perkataan yang keluar dari mulut Dewi Helena benar-benar membuat Asmali heran. Sifat dan perilaku tersebut sangat mirip dengan para Mortal. Bagi dirinya yang telah tinggal ratusan tahun dengan para manusia, Asmali bisa memahami hal tersebut dengan sangat jelas. Ia tahu kalau ekspresi yang Dewi Helena perlihatkan adalah wajah yang muncul ketika seorang perempuan jatuh cinta.
“Wahai pemimpin kami, boleh diriku ini bertanya sesuatu?”
“Hmm, silahkan saja.” Helena menyangga dagunya dengan punggung tangan, lalu dengan mimik wajah sedikit angkuh menyampaikan, “Apa kamu ingin bertanya tentang keringanan soal perjanjian kita? Asal engkau tahu, diriku sama sekali tidak ingin mengubahnya kecuali kamu menawarkan hal yang lebih menarik.”
“I-Itu juga ingin diriku minta dari Anda ….” Asmali sedikit tersentak dan memalingkan pandangan, merasa penciptanya tersebut tahu bentul sifat dan kecemasan yang dirinya rasakan sekarang. Kembali menatap lurus ke arah sang Penata Ulang, Dewi Kota dengan nada sedikit ragu bertanya, “Namun, ada hal lain yang ingin diriku ini ketahui terlebih dulu. Jiwa itu …, pemuda yang bernama Odo Luke itu sebenarnya siapa? Kenapa Anda sampai mengorbankan banyak hal untuknya?”
“Mengorbankan?”
Helena kembali menurunkan tangan ke atas pangkuan, mengguncang-uncang kakinya dan sedikit memalingkan pandangan untuk memikirkan jawaban yang tepat. Sebagai Penata Ulang Dunia dirinya memang mahakuasa, namun tidak mahatahu karena unsur tersebut tidak dimilikinya. Ingin menyampaikan hal tersebut kepada Asmali, ia merasa hal tersebut tidak perlu diketahui oleh salah satu ciptaannya tersebut.
Dalam tatapan dan nada dasar, Helena hanya menjelaskan, “Kata yang engkau pilih itu sangat salah. Jiwa yang begitu mulia tersebut, sosok yang telah mencapai Awal Mula itu ….” Perkataan sang Penata Ulang terhenti, merasa sedikit ragu untuk memberitahukannya karena bisa saja merusak aliran takdir yang telah ada.
Namun saat melihat mimik wajah penasaran Asmali, rasa ragu itu hilang karena Helena paham akan percuma untuk menghentikan orang penasaran untuk tahu. Sembari memasang senyum tipis layaknya Ibu yang melihat anaknya telah tumbuh, Helena menjelaskan, “Kamu tahu, Asmali …. Semesta ini diriku tata ulang hanya untuk membentuk kembali jiwanya yang terpencar. Jika diumpamakan dari sudut pandang sahabat dekat kamu, dunia ini adalah altar sihir untuk ritual pemanggilan jiwa tersebut. Diriku …, kami, dan kamu …, kita semua telah memaksanya turun dari singgasana tertinggi. Hanya dengan keberadaan kita, kemuliaannya turun.”
Asmali tidak bisa menangkap arah pembicaraan, tidak mengerti kenapa bisa hanya satu jiwa memiliki nilai setinggi itu di mata sang Penata Ulang. Mengingat ada sebuah tempat terlarang bagi para makhluk kayangan di lapisan dimensi yang sangat tinggi, dengan nada bingung ia pun kembali bertanya, “Singgasana tertinggi? Wahai pemimpin kami, ja-jangan bilang kalau itu … dari dimensi yang bahkan tidak bisa dijamah oleh kami? Arsh tempat Anda berasal?”
“Lebih tinggi dari itu, jauh di luar imajinasi dan pemikiran kalian. Ketika jiwa tersebut benar-benar mengingat siapa sebenarnya dirinya, maka itu adalah awal baru bagi kalian semua. Sama saja dengan akhir.”
“Awal …? Akhir? Apa maksudnya?”
Pembicaraan benar–benar keluar dari awal tujuan mereka saling bertemu. Meski begitu, Asmali merasa apa yang dibicarakan sekarang lebih penting daripada membahas waktu tenggang dari perjanjian di masa lalu. Ini adalah pertama kalinya ia mendengar sang Penata Ulang berbicara sangat panjang.
Bahkan saat membuat Penjanjian Kuno dengan para Iblis, Dewi Helena hanya mengucapkan beberapa kalimat dan kembali ke Celah Dimensi.
“Awal sesungguhnya dari Dunia Selanjutnya ini,” sampai Helena.
Ia bertepuk tangan satu kali, memanipulasi ruang dan memindahkan dirinya beserta Asmali ke dimensi yang telah diciptakan saat baru saja bangun. Asmali dipindahkan bersama sofa tanpa sedikit pun guncangan, sedangkan Dewi Helena duduk pada sofa di seberang meja yang ada di hadapannya.
Itu adalah ruang dengan gaya kerajaan yang megah, memiliki lampu hias dan perabotan yang terbuat dari tembaga, perak, dan emas. Pada dinding-dinding terdapat lukisan-lukisan yang menurut Asmali tampak aneh, berisi tempat dengan gedung-gedung tinggi yang belum pernah dirinya lihat sebelumnya.
Saat Dewi Kota melihat sekeliling, terdapat beberapa malaikat yang tampak mengenakan seragam pelayan rumahan. Itu sedikit membuat Asmali terkejut, ia tidak mengira kalau penciptanya akan meniru gaya peradaban milik para makhluk mortal.
“A-Awal? Anda sebelumnya berkata Awal Dunia Selanjutnya, bukan?” Asmali segera kembali menatap Dewi Helena, lalu dengan sedikit cemas kembali menanyakan, “Apa maksudnya itu awal dari semesta kita?”
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Helena bertepuk tangan dan memerintahkan para malaikat untuk menyiapkan camilan karena pembicaraan akan berlangsung lama. Meski pada kenyataannya mereka berdua tidak memerlukan makan.
Sosok-sosok ilahi yang berada di ruangan tersebut mulai bergerak, layaknya pelayan dari keluarga bangsawan mereka membawakan manisan dan minuman teh berkelas.
Melihat semua itu, Asmali benar-benar tidak menyangka kalau sang Penata Ulang Dunia akan menunjukkan rasa tertarik seperti itu kepada peradaban para mortal. Bahkan sampai membuat para malaikat yang memiliki sikap dan tugas sebagai pelayan dari rumah bangsawan, layaknya seorang penguasa aristokrat.
Sebelum Asmali menanyakan hal tersebut, Helena mengangkat cangkir keramik berisi teh hangat yang telah disediakan untuknya. Memasang senyum tipis, ia meminumnya dengan anggun dan terlihat begitu menikmati hal tersebut seakan memiliki indra seperti para mortal.
Setelah meletakkan kembali cangkir ke atas piring cawan, Dewi Helena berkata, “Kamu tahu, dunia ini sebenarnya bahkan belum memiliki awal karena muncul dari sisa-sisa Dunia Sebelumnya. Dengan kata lain, tidak sempurna ….”
“Ti-Tidak sempurna?!”
Kata yang keluar dari sang Penata Ulang terdengar layaknya vonis dari sang jaksa dalam pengadilan, begitu mutlak dan membuat Dewi Kota terebut sesaat terperangah. Mendengar itu dari sosok yang menciptakan dunia, itu membuat Asmali tidak bisa menyanggah. Meski tak ingin mengakuinya bahwa dunia memang tak sempurna, ia hanya bisa menerima ketentuan tersebut.
“Benar, semesta ini tidaklah sempurna. Karena itulah diriku ingin dirinya menyempurnakannya dan membuat awal bagi segalanya. Karena itulah …, satu kali lagi diriku harus membunuhnya. Seperti saat itu ….”
“Me-Membunuh?!! Kenapa Anda malah membunuhnya⸻?!”
“Itu harus, hal ini telah ditetapkan sejak dulu. Kamu tahu, Asmali …. Dunia ini sudah terlalu banyak dilumuri dosa, baik oleh kita ataupun jiwa-jiwa di Dunia Nyata, Astral, maupun Neraka.”
“Ka-Kalau itu diriku paham! Banyak kejahatan dan hal buruk di dunia ini! Namun, kenapa Anda harus membunuhnya?! Bukannya Anda telah mengorbankan banyak hal untuk menghidupkannya kembali?”
“Untuk mengangkat semua dosa, Anak Tuhan perlu disalib terlebih dahulu.”
Asmali terdiam, amarah yang sesaat naik ke permukaan berganti dengan rasa bingung. Lalu, itu pun keluar dari mulutnya dalam bentuk pertanyaan, “A-Apa yang Anda katakan?”
“Itu … salah satu cara pandang dari kepercayaan di Dunia Sebelumnya. Untuk mengangkat dosa manusia, mereka harus membunuh Tuhan mereka supaya jiwanya bisa diangkat ke surga bersama dosa-dosa seluruh umat, dan dibersihkan. Karena itulah, untuk memulai awal yang baru ia harus mati sekali lagi …, sebagai Juru Selamat.”
“Ta-Tapi, itu terlalu ….”
“Tentu kematiannya pun harus sesuai dengan syarat yang ada. Kita … tidak bisa langsung menarik jiwanya dari raga, ada ketentuan yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Karena itulah, panggung diorama telah diriku susun. Tentu … dengan kalian dan diriku ini semua sebagai pemeran. Diriku berharap …, kalian dapat memenuhi harapanku. Sampai waktu dimana harus melaksanakan peran tersebut, diriku akan melihat semuanya dari tempat ini.”
“Wahai Pemimpin kami …, itu ….”
“Diriku mengandalkan kalian, wahai para makhluk yang diriku ciptakan.”
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Catatan :
Prolog dulu. Selagi Author masih punya waktu.
Mari kita mulai Arc paling panjang dari seri ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
Ken Arrock
👍
2021-03-23
1
ime Queen
mantul crazy up thor shat selalu
2021-01-13
0
drawan
bagus, lebih midah dipahami
2021-01-12
0