TEROR BAYI BAJANG

TEROR BAYI BAJANG

TBB 1

Ada beberapa orang di dunia ini yang rela melakukan hal nyeleneh demi bisa menjadi berbeda, karena mungkin berbeda adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka, menjadi berbeda bisa memberikan kepuasan dan meningkatkan rasa percaya diri. Menjadi berbeda bisa mendapatkan banyak keuntungan untuk isi dompet, menjadi berbeda bisa menarik perhatian lawan jenis, menjadi berbeda hanya untuk kesenangan semata, dan banyak alasan lain untuk sebuah perbedaan.

Tapi, hal itu tak berlaku bagi Tazkia. Seorang gadis muda kelas sebelas yang harus rela pindah dari sekolah lama ke sebuah sekolah asrama. Tak perlu mengorek informasi tentang kepindahannya, ia gadis baik-baik. Hanya saja ia lelah. Lelah karena menjadi berbeda. 

***

“Nama kamu Tazkia ya? kenalkan aku Shella. Teman sekamar kamu,” ucap seorang gadis dengan jilbab panjang menutup dada. 

“Salam kenal juga Shel, panggil aja aku Kia.” Tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang tampak rapi. 

“Wah kamu cantik banget Ki, oh iya kamu kelas sebelas ya? Kalau gitu kita sepantaran, ngomong-ngomong kenapa kamu pindah kesini Kia? Padahal aku dengar kamu sekolah di SMA bergengsi lo di kota ini? kenapa malah pindah sekolah asrama yang bahkan tak begitu dikenal di kota kita.”

“Ehm, tak ada alasan khusus sih, hanya ayah ingin aku belajar agama disini.” 

“Kalau begitu, kenapa tidak sekalian ke pesantren saja?” 

“Entahlah. Ayahku yang memilih asrama ini.” Kia tersenyum ramah, ia tak bohong. Beberapa waktu yang lalu ia hanya mengeluh ingin pindah karena kesal selalu dirundung teman-teman sekelasnya. Hanya karena Kia bisa melihat yang tak kasat mata, alasan yang aneh bukan? Kia sendiri tak mengerti, ia hanya sering mendengar mereka mengatakan berdekatan dengan Kia hanya akan membawa bencana, jadilah ia selalu kesepian dan menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya. 

Sebenarnya ayah ingin sekali mengajukan keluhan pada sekolah, tapi Kia mencegah. Ia tak ingin memperpanjang masalah, hanya ingin pergi diam-diam bagai gelembung diterpa angin. Terbang lantas meletus di udara, tak ada sisa. 

“Tapi aku setuju sih ayah kamu, tempat kita sekarang sudah lebih cukup untuk belajar agama disini.” Shella tampak antusias, mata bulatnya sesekali mengerjap lucu.

“Kenapa bisa begitu?”

“Jadi gini Ki, aku dulu pernah masuk pesantren. Sebelum kenal asrama ini, tapi aku nggak betah, disana sangat ketat. Hanya cocok untuk ukhti-ukhti yang kadar imannya setebal papan tulis, lah kalau aku mah masih setipis tisu dibagi dua. Jadilah aku kabur saat jadi santri selama dua hari.” Shella mengakhiri ceritanya dengan tawa berderai. Bahkan mulut Kia kini terbuka sempurna demi mendengar cerita gadis di depannya. 

“Kamu serius kabur Shel?” 

Shella mengangguk, ujung netranya basah sebab tawa yang tak kunjung usai. 

“Jangan ditiru, aku memang gila saat itu. Lagian coba bayangin, aku yang biasa main ponsel, nonton televisi dan keliling kota hanya untuk menikmati seblak, bakso aci, pempek, cilok, sempol dan lain sebagainya. Tiba-tiba harus mendekam di pesantren, no televisi, no gadget, no keluyuran cuci mata. Gimana nggak stress coba Ki? ya udah kabur aja.”

“Terus? bisa sampe lolos apa ketangkep pihak pesantren?” tanya Kia, merasa percakapan mereka mulai menarik kini. 

“Lolos lah, tapi saat sampai rumah aku malah dihajar sama bokap. Dan jadilah sekarang aku disini, itulah sedikit cerita hidupku Ki,” tuturnya menutup cerita. Kia tersenyum lega, sepertinya keputusan ayahnya untuk belajar di sekolah Harmoni ilmu atau lebih dikenal dengan Sekolah asrama, SMAHI ini tidaklah begitu buruk. Hari pertama kedatangannya, ia disambut oleh teman sekamarnya yang begitu asyik.

“Kamar yang kita tempati hanya untuk dua orang saja, ada dua ranjang dan satu meja belajar dengan dua kursi. Ini ranjangku, ranjang kamu yang disebelah sana itu ya. Lemari pakaian yang sebelah atas masih kosong, kamu pakai saja. Aku sengaja pilih bawah karena aku mungil seperti yang terlihat, kamar mandi ada di luar, mari aku tunjukkan.” Shella mengajak Kia keluar kamar setelah memberi beberapa penjelasan tentang kamar mereka, kini keduanya berjalan beriringan menuju kamar mandi. 

“Lihat, bangunan sepanjang ini semuanya kamar siswi. Ada sekitar tiga lantai tapi isinya berbeda-beda, ada yang tiga, empat bahkan lima. Hanya beberapa yang isi dua termasuk kamar kita, aku suka sih. Kamu jangan salah Ki, meski aku cerewet sebenarnya aku cukup introvert loh orangnya,” kata Shella, diiringi gelak tawa dari dua gadis itu bersamaan. 

Kia baru sadar, kamar mereka ada dibagian ujung. Tepat di samping kamar mereka adalah deretan kamar mandi, setiap kamar mandi ada nomor di bagian pintunya, sesuai nomor kamar. 

“Kamu lihat nomor-nomor itu? kamu pasti sudah paham kan Ki?” Shella melirik gadis disebelahnya lantas kembali berkata, “ya, ini kamar mandi dengan nomor urut satu adalah kamar mandi kita.” 

Tak seperti kamar tidur yang letaknya berurutan, nomor kamar mandi terlihat acak, bahkan setelah angka dua langsung lima belas, entah dimana angka tiganya. Kia tak begitu peduli akan hal itu. Kini Shella mengajaknya menuju kantin, tempat dimana mereka akan membelanjakan uang mereka untuk sekedar bertahan hidup. Shella bilang makanan di kantin tak kalah dari yang diluar sana, semuanya ada. 

Shella juga membawanya ke auditorium. Tempat yang apabila malam tiba akan dialih fungsikan sebagai sarana siswi menonton. Ada layar proyektor siap pakai yang akan mereka gunakan untuk menonton drama atau apa saja setiap malam Minggu, yah hanya malam Minggu mereka bebas menonton. Shella juga membawanya ke gedung sekolah yang terletak tak jauh dari asrama mereka, masjid, perpustakaan, lapangan olahraga dan toko besar mirip swalayan yang kata Shella dikelola oleh SMAHI, Kia bisa dapatkan apa saja yang jadi kebutuhannya selama tinggal di tempat itu. 

Shella juga berkata bahwa mereka boleh keluar di hari minggu, tapi dengan alasan yang jelas. Karena semua kebutuhan siswi hampir semuanya terpenuhi di dalam asrama, jadi hampir mustahil untuk meminta izin keluar. Bahkan atm bersama juga ada, jadi siswi yang kebetulan rumahnya jauh dan harus ambil uang tak perlu lagi bingung keluar asrama. 

“Tapi kamu tenang saja, di sekolah kita sering adakan kegiatan bersama anak SMAHI putra, jadi masih seringlah kita-kita untuk cuci mata. Selain itu perpustakaan dan swalayan juga umum untuk putra dan putri, gimana? nggak seketat pesantren kan? tapi jangan salah, disini kita juga belajar mengaji loh, sama kak Nia.” 

“Siapa itu?” tanya Kia, gadis itu memilih duduk di bangku panjang depan asrama, menghadap taman bunga yang menebarkan aroma melati, tak jauh dari tempat mereka melati memang tumbuh subur dengan bunga putihnya yang tampak menawan. 

“Kak Nia itu menantu dari pemilik SMAHI, dia dulu juga murid disini loh, tapi nasibnya begitu baik karena dipersunting oleh kak Dewa suaminya, putra Pak Hadi Kusuma. Wajar sih, menurut rumor beredar kak Nia memang putri kyai, keluarganya punya pesantren, bukan yang besar sih, cuma pesantren desa yang santrinya juga udah mulai bubar karena orang tua kak Nia yang nggak mengikuti perkembangan zaman.” 

“Maksudnya?”

“Kamu taulah Ki, zaman sekarang mana ada sih yang mau seratus persen nyantri, kalau bisa dapat dua-duanya, ilmu dunia ilmu akhirat kenapa harus satu. Hal itulah yang membuat pesantren orang tua kak Nia perlahan kehilangan peminat, begitulah rumor yang kami dengar. Tapi, terlepas dari semua itu, kak Nia itu mengagumkan, dia baik, cantik, shalihah, ramah, pintar mengaji udah gitu jodohnya kak Dewa lagi. Kita semua siswi SMAHI mengidolakan beliau, kita bermimpi bisa jadi seperti kak Nia, seenggaknya nasib baiknya lah ya. Hehehe.” Shella terkekeh pelan. 

Kia tersenyum tipis menanggapi cerita gadis di sebelahnya yang sangat berapi-api, ia sendiri tak peduli dengan semuanya. Baginya bisa belajar dengan tenang adalah yang utama. Bisa lulus SMA dan melanjutkan ke kampus impian tanpa membuat ayahnya khawatir lagi adalah tujuan hidupnya kini. 

Kia berharap banyak pada tempat barunya, semoga hanya ada kebaikan di tempat ini untukku.

BRAK

“Suara apa itu Shel?” tanya Kia, terkejut lantaran suara yang terdengar dari arah kamar mandi sangatlah keras. 

“Ah, bukan apa-apa Ki, udah biasa yang kayak gitu mah disini. Ya udah yuk masuk ke kamar aja.” Shella sedikit menarik tangan Kia, sebab gadis itu masih terus menatap ke arah kamar mandi. 

Hai, aku kembali lagi setelah beberapa saat memilih istirahat. Ini cerita baru aku terinspirasi dari kejadian nyata loh, tapi tentunya udah aku bumbuin dengan banyak rempah-rempah, biar makin sedap untuk disuguhkan. Semoga bisa menemani kegiatan teman-teman selama bulan puasa ini.

Untuk para pembaca lama ataupun pembaca baru di novel-novelku, jangan lupa tinggalkan jejak ya. Keberadaan kalian sangat berarti buatku, kalau kata lirik lagu sih, aku tanpamu butiran debu, ehem ehem.

Intinya tolong bantu author terus berkembang ya, syukur-syukur kekejar retensi. Hehe

Selamat membaca, love you all 💃😘

Terpopuler

Comments

kang'3ncum 🥰

kang'3ncum 🥰

ikut mampir lagi ka

2024-05-03

0

FiaNasa

FiaNasa

numpang mampir thor

2024-04-21

0

Andini Andana

Andini Andana

mampir kak othor..

2024-03-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!