NovelToon NovelToon

TEROR BAYI BAJANG

TBB 1

Ada beberapa orang di dunia ini yang rela melakukan hal nyeleneh demi bisa menjadi berbeda, karena mungkin berbeda adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi mereka, menjadi berbeda bisa memberikan kepuasan dan meningkatkan rasa percaya diri. Menjadi berbeda bisa mendapatkan banyak keuntungan untuk isi dompet, menjadi berbeda bisa menarik perhatian lawan jenis, menjadi berbeda hanya untuk kesenangan semata, dan banyak alasan lain untuk sebuah perbedaan.

Tapi, hal itu tak berlaku bagi Tazkia. Seorang gadis muda kelas sebelas yang harus rela pindah dari sekolah lama ke sebuah sekolah asrama. Tak perlu mengorek informasi tentang kepindahannya, ia gadis baik-baik. Hanya saja ia lelah. Lelah karena menjadi berbeda. 

***

“Nama kamu Tazkia ya? kenalkan aku Shella. Teman sekamar kamu,” ucap seorang gadis dengan jilbab panjang menutup dada. 

“Salam kenal juga Shel, panggil aja aku Kia.” Tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya yang tampak rapi. 

“Wah kamu cantik banget Ki, oh iya kamu kelas sebelas ya? Kalau gitu kita sepantaran, ngomong-ngomong kenapa kamu pindah kesini Kia? Padahal aku dengar kamu sekolah di SMA bergengsi lo di kota ini? kenapa malah pindah sekolah asrama yang bahkan tak begitu dikenal di kota kita.”

“Ehm, tak ada alasan khusus sih, hanya ayah ingin aku belajar agama disini.” 

“Kalau begitu, kenapa tidak sekalian ke pesantren saja?” 

“Entahlah. Ayahku yang memilih asrama ini.” Kia tersenyum ramah, ia tak bohong. Beberapa waktu yang lalu ia hanya mengeluh ingin pindah karena kesal selalu dirundung teman-teman sekelasnya. Hanya karena Kia bisa melihat yang tak kasat mata, alasan yang aneh bukan? Kia sendiri tak mengerti, ia hanya sering mendengar mereka mengatakan berdekatan dengan Kia hanya akan membawa bencana, jadilah ia selalu kesepian dan menjadi bulan-bulanan teman sekelasnya. 

Sebenarnya ayah ingin sekali mengajukan keluhan pada sekolah, tapi Kia mencegah. Ia tak ingin memperpanjang masalah, hanya ingin pergi diam-diam bagai gelembung diterpa angin. Terbang lantas meletus di udara, tak ada sisa. 

“Tapi aku setuju sih ayah kamu, tempat kita sekarang sudah lebih cukup untuk belajar agama disini.” Shella tampak antusias, mata bulatnya sesekali mengerjap lucu.

“Kenapa bisa begitu?”

“Jadi gini Ki, aku dulu pernah masuk pesantren. Sebelum kenal asrama ini, tapi aku nggak betah, disana sangat ketat. Hanya cocok untuk ukhti-ukhti yang kadar imannya setebal papan tulis, lah kalau aku mah masih setipis tisu dibagi dua. Jadilah aku kabur saat jadi santri selama dua hari.” Shella mengakhiri ceritanya dengan tawa berderai. Bahkan mulut Kia kini terbuka sempurna demi mendengar cerita gadis di depannya. 

“Kamu serius kabur Shel?” 

Shella mengangguk, ujung netranya basah sebab tawa yang tak kunjung usai. 

“Jangan ditiru, aku memang gila saat itu. Lagian coba bayangin, aku yang biasa main ponsel, nonton televisi dan keliling kota hanya untuk menikmati seblak, bakso aci, pempek, cilok, sempol dan lain sebagainya. Tiba-tiba harus mendekam di pesantren, no televisi, no gadget, no keluyuran cuci mata. Gimana nggak stress coba Ki? ya udah kabur aja.”

“Terus? bisa sampe lolos apa ketangkep pihak pesantren?” tanya Kia, merasa percakapan mereka mulai menarik kini. 

“Lolos lah, tapi saat sampai rumah aku malah dihajar sama bokap. Dan jadilah sekarang aku disini, itulah sedikit cerita hidupku Ki,” tuturnya menutup cerita. Kia tersenyum lega, sepertinya keputusan ayahnya untuk belajar di sekolah Harmoni ilmu atau lebih dikenal dengan Sekolah asrama, SMAHI ini tidaklah begitu buruk. Hari pertama kedatangannya, ia disambut oleh teman sekamarnya yang begitu asyik.

“Kamar yang kita tempati hanya untuk dua orang saja, ada dua ranjang dan satu meja belajar dengan dua kursi. Ini ranjangku, ranjang kamu yang disebelah sana itu ya. Lemari pakaian yang sebelah atas masih kosong, kamu pakai saja. Aku sengaja pilih bawah karena aku mungil seperti yang terlihat, kamar mandi ada di luar, mari aku tunjukkan.” Shella mengajak Kia keluar kamar setelah memberi beberapa penjelasan tentang kamar mereka, kini keduanya berjalan beriringan menuju kamar mandi. 

“Lihat, bangunan sepanjang ini semuanya kamar siswi. Ada sekitar tiga lantai tapi isinya berbeda-beda, ada yang tiga, empat bahkan lima. Hanya beberapa yang isi dua termasuk kamar kita, aku suka sih. Kamu jangan salah Ki, meski aku cerewet sebenarnya aku cukup introvert loh orangnya,” kata Shella, diiringi gelak tawa dari dua gadis itu bersamaan. 

Kia baru sadar, kamar mereka ada dibagian ujung. Tepat di samping kamar mereka adalah deretan kamar mandi, setiap kamar mandi ada nomor di bagian pintunya, sesuai nomor kamar. 

“Kamu lihat nomor-nomor itu? kamu pasti sudah paham kan Ki?” Shella melirik gadis disebelahnya lantas kembali berkata, “ya, ini kamar mandi dengan nomor urut satu adalah kamar mandi kita.” 

Tak seperti kamar tidur yang letaknya berurutan, nomor kamar mandi terlihat acak, bahkan setelah angka dua langsung lima belas, entah dimana angka tiganya. Kia tak begitu peduli akan hal itu. Kini Shella mengajaknya menuju kantin, tempat dimana mereka akan membelanjakan uang mereka untuk sekedar bertahan hidup. Shella bilang makanan di kantin tak kalah dari yang diluar sana, semuanya ada. 

Shella juga membawanya ke auditorium. Tempat yang apabila malam tiba akan dialih fungsikan sebagai sarana siswi menonton. Ada layar proyektor siap pakai yang akan mereka gunakan untuk menonton drama atau apa saja setiap malam Minggu, yah hanya malam Minggu mereka bebas menonton. Shella juga membawanya ke gedung sekolah yang terletak tak jauh dari asrama mereka, masjid, perpustakaan, lapangan olahraga dan toko besar mirip swalayan yang kata Shella dikelola oleh SMAHI, Kia bisa dapatkan apa saja yang jadi kebutuhannya selama tinggal di tempat itu. 

Shella juga berkata bahwa mereka boleh keluar di hari minggu, tapi dengan alasan yang jelas. Karena semua kebutuhan siswi hampir semuanya terpenuhi di dalam asrama, jadi hampir mustahil untuk meminta izin keluar. Bahkan atm bersama juga ada, jadi siswi yang kebetulan rumahnya jauh dan harus ambil uang tak perlu lagi bingung keluar asrama. 

“Tapi kamu tenang saja, di sekolah kita sering adakan kegiatan bersama anak SMAHI putra, jadi masih seringlah kita-kita untuk cuci mata. Selain itu perpustakaan dan swalayan juga umum untuk putra dan putri, gimana? nggak seketat pesantren kan? tapi jangan salah, disini kita juga belajar mengaji loh, sama kak Nia.” 

“Siapa itu?” tanya Kia, gadis itu memilih duduk di bangku panjang depan asrama, menghadap taman bunga yang menebarkan aroma melati, tak jauh dari tempat mereka melati memang tumbuh subur dengan bunga putihnya yang tampak menawan. 

“Kak Nia itu menantu dari pemilik SMAHI, dia dulu juga murid disini loh, tapi nasibnya begitu baik karena dipersunting oleh kak Dewa suaminya, putra Pak Hadi Kusuma. Wajar sih, menurut rumor beredar kak Nia memang putri kyai, keluarganya punya pesantren, bukan yang besar sih, cuma pesantren desa yang santrinya juga udah mulai bubar karena orang tua kak Nia yang nggak mengikuti perkembangan zaman.” 

“Maksudnya?”

“Kamu taulah Ki, zaman sekarang mana ada sih yang mau seratus persen nyantri, kalau bisa dapat dua-duanya, ilmu dunia ilmu akhirat kenapa harus satu. Hal itulah yang membuat pesantren orang tua kak Nia perlahan kehilangan peminat, begitulah rumor yang kami dengar. Tapi, terlepas dari semua itu, kak Nia itu mengagumkan, dia baik, cantik, shalihah, ramah, pintar mengaji udah gitu jodohnya kak Dewa lagi. Kita semua siswi SMAHI mengidolakan beliau, kita bermimpi bisa jadi seperti kak Nia, seenggaknya nasib baiknya lah ya. Hehehe.” Shella terkekeh pelan. 

Kia tersenyum tipis menanggapi cerita gadis di sebelahnya yang sangat berapi-api, ia sendiri tak peduli dengan semuanya. Baginya bisa belajar dengan tenang adalah yang utama. Bisa lulus SMA dan melanjutkan ke kampus impian tanpa membuat ayahnya khawatir lagi adalah tujuan hidupnya kini. 

Kia berharap banyak pada tempat barunya, semoga hanya ada kebaikan di tempat ini untukku.

BRAK

“Suara apa itu Shel?” tanya Kia, terkejut lantaran suara yang terdengar dari arah kamar mandi sangatlah keras. 

“Ah, bukan apa-apa Ki, udah biasa yang kayak gitu mah disini. Ya udah yuk masuk ke kamar aja.” Shella sedikit menarik tangan Kia, sebab gadis itu masih terus menatap ke arah kamar mandi. 

Hai, aku kembali lagi setelah beberapa saat memilih istirahat. Ini cerita baru aku terinspirasi dari kejadian nyata loh, tapi tentunya udah aku bumbuin dengan banyak rempah-rempah, biar makin sedap untuk disuguhkan. Semoga bisa menemani kegiatan teman-teman selama bulan puasa ini.

Untuk para pembaca lama ataupun pembaca baru di novel-novelku, jangan lupa tinggalkan jejak ya. Keberadaan kalian sangat berarti buatku, kalau kata lirik lagu sih, aku tanpamu butiran debu, ehem ehem.

Intinya tolong bantu author terus berkembang ya, syukur-syukur kekejar retensi. Hehe

Selamat membaca, love you all 💃😘

TBB 2

Cukup lelah bagi Kia untuk menjelajah seluruh bangunan SMAHI dan asrama tempatnya tinggal, meski tak jauh tapi karena tempatnya besar dan luas membuat kakinya terasa pegal. Tak terasa adzan maghrib mulai terdengar dari arah masjid, kebetulan Kia sedang tidak sholat, terpaksa ia harus tinggal sendiri di dalam kamar. 

“Yakin kamu nggak mau ikut aja Ki? ba’da maghrib biasanya ada kajian loh, kajiannya kak Dewa suaminya kak Kia yang aku ceritakan tadi. Kamu nggak mau ikutan?” 

Sebenarnya Kia sangat ingin ikut, tapi kakinya benar-benar tak bisa diajak bekerja sama, terpaksa ia pun menggeleng, dan Shella mengerti hal itu. 

“Baiklah, memang nggak wajib ikut sih kalau untuk siswi yang lagi halangan. Tapi aku kira kamu bakal kesepian loh Ki, karena kita akan lanjut jamaah isya’, tapi ya udahlah. Kamu mungkin capek, istirahat aja,” pungkas Shella dengan senyum manisnya. 

“Maaf ya Shel, aku sebenarnya pengen banget ikut. Tapi kakiku sakit banget rasanya, mungkin esok deh aku ikut ya.” 

“Oke, kamu istirahat aja. Kunci aja pintunya Ki, tapi jangan lupa dicopot. Aku punya kunci cadangan kok.” 

“Oke, makasih ya Shella.” 

Shella mengangguk lantas berjalan keluar meninggalkan Kia sendiri. Kia malas sekali untuk bangun dari ranjang sekedar mengunci pintu. Ia biarkan saja pintu sedikit terbuka, angin dari luar cukup membuat kamar terasa sejuk, pikirnya. Mulai membuka koper dan memindahkan isinya ke dalam lemari, Kia memang belum sempat berbenah, seharian ia hanya muter-muter mengikuti Shella yang menunjukkan keindahan tempat barunya ini. 

Baru meletakkan dua setelan baju muslim di dalam lemari, Kia mendengar suara tangisan bayi dari arah kamar mandi. Awalnya ia berpikir mungkin hanya salah dengar saja, tapi lama-kelamaan tangisan semakin nyata. Kia menghentikan aktivitasnya, mulai merinding. Sudah jadi kebiasaan, jika makhluk astral datang, maka bulu-bulu halus di sekitar tengkuk akan berdiri, dan itu terjadi kini. 

“Apa mungkin ada keluarga salah satu siswi yang sedang berkunjung ya? mungkin mereka bawa bayi dan ibunya sedang ke kamar mandi, bisa aja kan?” gumamnya lirih, Kia meyakinkan dirinya sendiri. Ia tak ingin lagi terlibat dengan hal-hal mistis kali ini, ia ingin hidup damai bersama kawan barunya. Meskipun memang itu makhluk astral, Kia tak mau peduli. 

Gadis cantik dengan jilbab miringnya itu masih terus fokus dengan apa yang dilakukannya, tangannya lincah menyusun pakaian, membagi-bagi antara gamis, atasan dan bawahan. Lantas menata buku-buku sekolahnya pada lemari buku yang telah ditunjukkan oleh Shella tadi. 

Tangisan yang tak kunjung usai itu rupanya mampu merobohkan benteng pertahanan Kia, ia menjadi kesal dan memilih keluar kamar. Sejauh mata memandang, keadaan depan kamar para siswi terlihat sepi, sesuai cerita Shella anak-anak perempuan yang berhalangan rajin mengikuti kajian di masjid. Hampir tak ada yang tinggal di kamar pada jam segini kecuali mereka yang sakit. 

Perlahan tangisan itu seolah menuntun langkah kaki Kia mendekati sebuah bangunan kamar mandi bertuliskan angka tiga. Angka yang sempat ada dipikirannya tadi siang saat kali pertama datang bersama Shella. Kini terjawab sudah, rupanya letak kamar mandi nomor tiga tersembunyi di belakang deretan bangunan kamar mandi utama. Dan tangisan itu berasal dari sana. 

Kia berjalan mendekat, tak ada yang aneh dengan kamar mandi itu, bentuknya yang tak terlalu besar dengan lantai keramik berwarna merah bata itu terlihat bersih, airnya juga jernih dan tenang. Namun, tercium anyir dari dalamnya. Kia tak tahan dengan baunya, ia hanya berpikir mungkin penghuni kamar nomor tiga membuang sampah pembalut sembarangan di dalam kamar mandi mereka, hingga bau anyir tercium sangat kuat. 

Kia memutuskan kembali, sebab tangisan itu telah berhenti sejak saat ia mendekati kamar mandi itu. Kia semakin yakin itu ulah seta* yang ingin menggodanya, atau hanya ingin menyambut kedatangannya. Kia berjalan santai kembali ke kamar, meski sedikit merinding ia berlagak berani, Kia cukup berpengalaman, mereka bangsa jin dan sejenisnya menyukai manusia yang penakut. 

Jadi, meski Kia takut ia tak boleh memperlihatkan rasa takutnya. Sebab ketika bangsa mereka tahu manusia itu takut, maka mereka akan semakin suka menggoda. Itulah yang Kia pelajari selama ini.  Kia telah sampai di kamar, tak lagi membiarkan angin masuk lewat pintu yang sengaja dibuka, kini Kia menutup pintu dan menguncinya. Jujur, jantungnya masih tak aman meski sudah seringkali melihat penampakan. 

Bukan takut alasannya, hanya terkejut dan terkadang jijik. Sebab tak jarang mereka muncul dihadapan Kia dengan wajah mengerikan, penuh darah dan juga nan*h. Kia melanjutkan aktivitasnya, berusaha tak peduli meskipun suara itu muncul lagi, ia akan menjadi tuli mulai saat ini, buta juga kalau perlu. Hanya untuk mereka, makhluk yang hidup berdampingan dengan kita. 

.

Di tempat berbeda, seorang wanita dewasa tengah duduk di sebuah ruang tamu bersama keluarga besarnya. Wanita itu diam dengan kepala menunduk, sedangkan tangannya sesekali mengusap pipinya yang basah. 

“Sabar Nia, coba kamu lihat ibu. Pernah kamu melihat kami bertengkar? ayah Dewa sangat adil diantara kami, kami bahkan membesarkan Dewa berdua, apa kamu tak percaya bahwa suamimu juga bisa seperti ayahnya?” Ibu Endang menasehati menantunya. 

“Benar yang dikatakan ibu mertuamu nduk, kamu menantu pertama kami, meskipun nanti akan ada menantu lain, kamu tak perlu risau, kami semua akan berlaku adil diantara kalian. Toh, niat Dewa juga baik, keluarga kita keluarga mampu, insya Allah untuk urusan materi istri dua bukan masalah.” 

Itu ucapan ayah mertuanya, Nia sangat memahami semua itu, ia juga tahu niat suaminya sangat mulia. Tapi, entah kenapa rasanya sangat berat, ia berharap mertua akan mendukungnya, tapi ia salah. Tentu mereka lebih mendukung putra satu-satunya yang mereka miliki. 

“Sudahlah sayang, mas minta maaf ya kalau ini berat untukmu. Tapi percayalah, mas akan selalu ada disisimu, mas hanya ingin menyelamatkan wanita itu, dia butuh bimbingan,” ucap Dewa. 

“Nia, lihatlah ibu. Ibu juga istri kedua, tapi ibu tak pernah membuat mbak Endang sedih karena kehadiranku, kita sudah seperti saudara, itu karena mbak Endang sangat menerimaku, ketulusan hatinya menyentuhku. Ibu yakin, kamu pun pasti bisa seperti mbak Endang, sayang. Kamu orangnya baik, hatimu tulus. Bismillah ya nak, ibu juga yakin Dewa pasti bisa seperti ayahnya.” Ibu Falha berjalan mendekat, menyentuh pundak Nia yang kini menangis tergugu. 

Ayah Dewa meminta putranya untuk membawa sang istri kembali ke kamar, keduanya butuh waktu sendiri. Dewa pun menuntun istrinya memasuki kamar mereka, disana mereka duduk berdampingan di sisi ranjang, dengan sabar Dewa mengusap puncak kepala sang istri yang masih tertutup hijab, lantas mengecupnya perlahan dan membawa tubuh ringkih itu larut dalam pelukan. 

“Kamu yang sabar ya, mas janji akan adil di antara kalian berdua.” 

Bahu Nia semakin berguncang, ia tahu semuanya nyata dan tak bisa lagi diubah. 

TBB 3

Angin malam itu entah kenapa terasa jauh lebih dingin dari hari-hari biasa, Kia berjalan seorang diri di depan kamar, sejauh mata memandang semuanya tampak gelap, lampu setiap kamar telah dipadamkan, hanya lampu taman yang masih menyala, lampu yang sinarnya tampak redup sebab kap lampu yang tak pernah dibersihkan. 

Kembali terdengar suara tangisan bayi dari arah kamar mandi, Kia mencoba abai meski rasa penasaran terus menggodanya untuk sekedar menyambangi bangunan panjang di sisi kiri kamarnya itu. Kia menimbang keputusannya, berdiri tepat di depan kamar dengan satu tangan memegang handle pintu, belum memutuskan untuk masuk. 

Keinginan menghindari mereka nyatanya tak semudah rencana, Kia berjalan pelan mendekati salah satu kamar mandi, dimana suara bayi bersumber dari sana. Ia terkejut, sempat berjalan mundur beberapa langkah saat melihat pemandangan tak biasa, sesosok bayi timbul tenggelam di dalam air seakan ada tangan tak kasat mata yang mencoba menekan tubuh mungilnya. 

Kia masih sadar, jika pemandangan di depannya terasa ganjil. Keinginan menolong bayi merah itu tak dilaksanakan, ia memilih lari sekuat tenaga untuk kembali ke kamar. Tapi sayang, kamarnya terkunci, Kia menggedor pintu, memanggil-manggil nama Shella.

Tapi nihil, gadis itu sepertinya tak ada di dalam kamar. Bahkan kamar-kamar lain, tak ada yang mau membuka pintu untuknya. Nafas Kia tersengal, ia masih terus berlari hingga kakinya terantuk sebuah benda keras di tengah jalan. 

BRUGH 

Kia terbangun dengan peluh bercucuran dan nafas putus-putus, rambutnya basah menutupi mata. Memandang sekeliling, ia berada di kamar, jarum jam pada dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kia melihat Shella tertidur nyenyak di atas ranjangnya, entah kapan gadis itu kembali, sepertinya ia masuk menggunakan kunci cadangan dan sama sekali tak membuat suara agar tak membangunkannya. 

Kia merinding, mimpinya terasa sangat nyata. Perlahan turun dari ranjang dan membuka pintu, suasana malam di depan kamar sama persis seperti dalam mimpi, semua lampu kamar tetangga telah padam, hanya lampu taman yang sinarnya tak begitu terang. Sejak kedatangannya tadi siang, Kia belum menyapa teman-teman barunya yang tinggal di kamar sebelah, ia sibuk berkeliling dengan Shella hingga lupa waktu. 

Kia hendak kembali, tapi ia merasa ingin buang air. Mau tak mau Kia berjalan sendiri menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Kamar mandi dengan desain lawas itu memang terlihat menyeramkan dikala malam, untuk anak penakut pasti akan memilih menahan kenc*ng atau ber*k hingga pagi menjelang. 

Kia sengaja melempar gayung ke dalam kamar mandi, sesaat setelah mencuci kaki di depan pintu. Gayung mendarat tepat di atas air, mengambang dan bergerak-gerak mengikuti riaknya. Kia berbalik badan hendak kembali ke kamar, saat tiba-tiba saja hembusan nafas kuat di telinga kanan membuatnya tercengang. 

“Ah, siapa yang meniup telingaku?” gumamnya lirih, mata awas menatap sekeliling, tanpa sengaja ekor mata menangkap bayangan sosok mungil merangkak menuju kamar mandi bagian belakang, tepatnya kamar mandi nomor tiga yang diimpikan Kia beberapa saat lalu.

Bayi itu masuk dan menghilang di dalam kamar mandi nomor tiga, Kia bahkan mencoba masuk dan melihat ke dalam air, nihil ia tak menemukan apapun, bahkan lantai bilik itu juga tampak kering dan sedikit kotor, Kia memutuskan kembali. 

Baru beberapa langkah hingga ia kembali mendengar bayi menangis, suaranya tepat di belakang punggung. Kia tak banyak berpikir, kakinya otomatis berlari kencang menuju kamar. Nafas Kia masih memburu, bahkan saat tangannya telah berhasil mengunci pintu. Shella terbangun menatapnya heran. 

“Ki, kamu kenapa?” 

“Ah, Shel. Maaf kalau membangunkanmu, aku, hanya baru kembali dari kamar mandi.” 

Shella melirik jam dinding, pukul setengah dua belas malam. Matanya mendadak cerah, menatap Kia dan berkata, “kamu sendirian?” 

Kia mengangguk. 

“Kamu berani banget Ki, tapi nggak ada sesuatu yang terjadi kan selama kamu disana sendirian?” 

Pertanyaan Shella seolah memberikan informasi jika kamar mandi memang seseram ini di kala malam. Kia mengaku salah, ia telah berjanji tak akan lagi kepo urusan makhluk tak kasat mata itu, ia ingin menghindar dan hidup normal, tapi ia malah berbuat kesalahan. Kia menggeleng, menutupi segalanya dari Shella, ia bertekad akan melupakan semua yang terjadi, dan mulai sekarang ia akan menjaga diri. 

“Syukurlah, ya udah Ki tidur lagi aja, masih lama subuh. Jangan lupa kunci pintu ya, aku tidur duluan.” Shella kembali merebahkan tubuhnya yang sedikit berisi diatas ranjang, gadis itu menarik selimut dan menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut bulu-bulu. 

Malam ini memang terasa dingin, entah karena Kia terbiasa hidup di kota dengan cuaca panas, dan kini harus hidup di desa yang jauh dari keramaian atau memang cuaca sedang dingin sebab musim penghujan. Kia bisa mendengar suara petir menggelegar dari luar jendela, ia lantas memutuskan naik ke atas ranjang dan ikut menarik selimut sebagaimana yang dilakukan Shella beberapa waktu lalu. 

***

Akan kuceritakan masalahku pada sungai, agar ia mengajariku bagaimana caranya mengalir tanpa harus mengeluh. 

...~Ayra Narnia~...

Andai dapat memutar waktu, dari sisi manakah yang harus dibenahi? agar cerita lain dapat mengganti acara hari ini. Begitulah isi hati Nia, pagi ini ia telah siap dengan gamis baru yang dibelikan suaminya, bukan menyambut sukacita, melainkan duka cita. 

Duka untuk hatinya sendiri, lebih tepatnya memang seperti itu, mengingat seluruh keluarga menyetujui pernikahan suaminya dengan wanita lain. Nia sengaja tak membagi kisah ini dengan orang tuanya. Ayah yang sudah semakin tua sering sakit, ibu pun demikian. Kakak satu-satunya yang tak kunjung mendapat jodoh juga pastinya telah lelah merawat orang tua mereka, Nia tak ingin menambah beban.

“Assalamualaikum.” Ucapan salam Dewa membuyarkan lamunannya tentang keluarga, Nia memandang ke arah pintu, wajah suaminya tampak berseri, bahagia datang bersama istri baru. 

Nia belum melihat wajah adik madunya, kedua ibu mertuanya segera menyambut menantu baru sesaat setelah menjawab salam, mereka membawanya duduk di kursi ruang keluarga. Wanita itu melewati Nia tanpa mengangkat kepala, membuat Nia sama sekali tak bisa melihat wajahnya, yang Nia tahu wanita itu bernama Nur, Nur Putri Aisyah.  

“Nia, duduklah nak,” perintah Ibu Endang, ibu kandung Dewa. Nia berusaha tersenyum dan mengikuti perintahnya, duduk di depan sepasang pengantin yang mempelai pria adalah suaminya sendiri. Bisa kalian bayangkan betapa sesak hati Nia kala ini? 

“Nduk, ayo angkat wajahmu. Itu Nia, istri pertama Dewa, mulai sekarang dia kakakmu, kamu harus menghormatinya.” Ibu Falha dengan bijak menasehati Nur. 

“Begitupun kamu Nia, anggap Nur sebagai adik kandungmu. Ajari dia bagaimana menjadi istri untuk Dewa, kalian sudah enam tahun bersama.” Giliran ibu Endang menasehati menantu pertamanya, Nia mengangguk, perlahan menatap wajah adik madunya yang kini tersenyum padanya. 

“K-kamu?” 

Hayo lo, siapa nih istri kedua Dewa?

Nantikan kelanjutannya, insya Allah author akan rajin up sehari minimal 2x. Doain aja ya, biar author sehat-sehat selalu.

Btw semangat terus ya puasanya. 💃❤️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!