TBB 3

Angin malam itu entah kenapa terasa jauh lebih dingin dari hari-hari biasa, Kia berjalan seorang diri di depan kamar, sejauh mata memandang semuanya tampak gelap, lampu setiap kamar telah dipadamkan, hanya lampu taman yang masih menyala, lampu yang sinarnya tampak redup sebab kap lampu yang tak pernah dibersihkan. 

Kembali terdengar suara tangisan bayi dari arah kamar mandi, Kia mencoba abai meski rasa penasaran terus menggodanya untuk sekedar menyambangi bangunan panjang di sisi kiri kamarnya itu. Kia menimbang keputusannya, berdiri tepat di depan kamar dengan satu tangan memegang handle pintu, belum memutuskan untuk masuk. 

Keinginan menghindari mereka nyatanya tak semudah rencana, Kia berjalan pelan mendekati salah satu kamar mandi, dimana suara bayi bersumber dari sana. Ia terkejut, sempat berjalan mundur beberapa langkah saat melihat pemandangan tak biasa, sesosok bayi timbul tenggelam di dalam air seakan ada tangan tak kasat mata yang mencoba menekan tubuh mungilnya. 

Kia masih sadar, jika pemandangan di depannya terasa ganjil. Keinginan menolong bayi merah itu tak dilaksanakan, ia memilih lari sekuat tenaga untuk kembali ke kamar. Tapi sayang, kamarnya terkunci, Kia menggedor pintu, memanggil-manggil nama Shella.

Tapi nihil, gadis itu sepertinya tak ada di dalam kamar. Bahkan kamar-kamar lain, tak ada yang mau membuka pintu untuknya. Nafas Kia tersengal, ia masih terus berlari hingga kakinya terantuk sebuah benda keras di tengah jalan. 

BRUGH 

Kia terbangun dengan peluh bercucuran dan nafas putus-putus, rambutnya basah menutupi mata. Memandang sekeliling, ia berada di kamar, jarum jam pada dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kia melihat Shella tertidur nyenyak di atas ranjangnya, entah kapan gadis itu kembali, sepertinya ia masuk menggunakan kunci cadangan dan sama sekali tak membuat suara agar tak membangunkannya. 

Kia merinding, mimpinya terasa sangat nyata. Perlahan turun dari ranjang dan membuka pintu, suasana malam di depan kamar sama persis seperti dalam mimpi, semua lampu kamar tetangga telah padam, hanya lampu taman yang sinarnya tak begitu terang. Sejak kedatangannya tadi siang, Kia belum menyapa teman-teman barunya yang tinggal di kamar sebelah, ia sibuk berkeliling dengan Shella hingga lupa waktu. 

Kia hendak kembali, tapi ia merasa ingin buang air. Mau tak mau Kia berjalan sendiri menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Kamar mandi dengan desain lawas itu memang terlihat menyeramkan dikala malam, untuk anak penakut pasti akan memilih menahan kenc*ng atau ber*k hingga pagi menjelang. 

Kia sengaja melempar gayung ke dalam kamar mandi, sesaat setelah mencuci kaki di depan pintu. Gayung mendarat tepat di atas air, mengambang dan bergerak-gerak mengikuti riaknya. Kia berbalik badan hendak kembali ke kamar, saat tiba-tiba saja hembusan nafas kuat di telinga kanan membuatnya tercengang. 

“Ah, siapa yang meniup telingaku?” gumamnya lirih, mata awas menatap sekeliling, tanpa sengaja ekor mata menangkap bayangan sosok mungil merangkak menuju kamar mandi bagian belakang, tepatnya kamar mandi nomor tiga yang diimpikan Kia beberapa saat lalu.

Bayi itu masuk dan menghilang di dalam kamar mandi nomor tiga, Kia bahkan mencoba masuk dan melihat ke dalam air, nihil ia tak menemukan apapun, bahkan lantai bilik itu juga tampak kering dan sedikit kotor, Kia memutuskan kembali. 

Baru beberapa langkah hingga ia kembali mendengar bayi menangis, suaranya tepat di belakang punggung. Kia tak banyak berpikir, kakinya otomatis berlari kencang menuju kamar. Nafas Kia masih memburu, bahkan saat tangannya telah berhasil mengunci pintu. Shella terbangun menatapnya heran. 

“Ki, kamu kenapa?” 

“Ah, Shel. Maaf kalau membangunkanmu, aku, hanya baru kembali dari kamar mandi.” 

Shella melirik jam dinding, pukul setengah dua belas malam. Matanya mendadak cerah, menatap Kia dan berkata, “kamu sendirian?” 

Kia mengangguk. 

“Kamu berani banget Ki, tapi nggak ada sesuatu yang terjadi kan selama kamu disana sendirian?” 

Pertanyaan Shella seolah memberikan informasi jika kamar mandi memang seseram ini di kala malam. Kia mengaku salah, ia telah berjanji tak akan lagi kepo urusan makhluk tak kasat mata itu, ia ingin menghindar dan hidup normal, tapi ia malah berbuat kesalahan. Kia menggeleng, menutupi segalanya dari Shella, ia bertekad akan melupakan semua yang terjadi, dan mulai sekarang ia akan menjaga diri. 

“Syukurlah, ya udah Ki tidur lagi aja, masih lama subuh. Jangan lupa kunci pintu ya, aku tidur duluan.” Shella kembali merebahkan tubuhnya yang sedikit berisi diatas ranjang, gadis itu menarik selimut dan menutup hampir seluruh tubuhnya dengan selimut bulu-bulu. 

Malam ini memang terasa dingin, entah karena Kia terbiasa hidup di kota dengan cuaca panas, dan kini harus hidup di desa yang jauh dari keramaian atau memang cuaca sedang dingin sebab musim penghujan. Kia bisa mendengar suara petir menggelegar dari luar jendela, ia lantas memutuskan naik ke atas ranjang dan ikut menarik selimut sebagaimana yang dilakukan Shella beberapa waktu lalu. 

***

Akan kuceritakan masalahku pada sungai, agar ia mengajariku bagaimana caranya mengalir tanpa harus mengeluh. 

...~Ayra Narnia~...

Andai dapat memutar waktu, dari sisi manakah yang harus dibenahi? agar cerita lain dapat mengganti acara hari ini. Begitulah isi hati Nia, pagi ini ia telah siap dengan gamis baru yang dibelikan suaminya, bukan menyambut sukacita, melainkan duka cita. 

Duka untuk hatinya sendiri, lebih tepatnya memang seperti itu, mengingat seluruh keluarga menyetujui pernikahan suaminya dengan wanita lain. Nia sengaja tak membagi kisah ini dengan orang tuanya. Ayah yang sudah semakin tua sering sakit, ibu pun demikian. Kakak satu-satunya yang tak kunjung mendapat jodoh juga pastinya telah lelah merawat orang tua mereka, Nia tak ingin menambah beban.

“Assalamualaikum.” Ucapan salam Dewa membuyarkan lamunannya tentang keluarga, Nia memandang ke arah pintu, wajah suaminya tampak berseri, bahagia datang bersama istri baru. 

Nia belum melihat wajah adik madunya, kedua ibu mertuanya segera menyambut menantu baru sesaat setelah menjawab salam, mereka membawanya duduk di kursi ruang keluarga. Wanita itu melewati Nia tanpa mengangkat kepala, membuat Nia sama sekali tak bisa melihat wajahnya, yang Nia tahu wanita itu bernama Nur, Nur Putri Aisyah.  

“Nia, duduklah nak,” perintah Ibu Endang, ibu kandung Dewa. Nia berusaha tersenyum dan mengikuti perintahnya, duduk di depan sepasang pengantin yang mempelai pria adalah suaminya sendiri. Bisa kalian bayangkan betapa sesak hati Nia kala ini? 

“Nduk, ayo angkat wajahmu. Itu Nia, istri pertama Dewa, mulai sekarang dia kakakmu, kamu harus menghormatinya.” Ibu Falha dengan bijak menasehati Nur. 

“Begitupun kamu Nia, anggap Nur sebagai adik kandungmu. Ajari dia bagaimana menjadi istri untuk Dewa, kalian sudah enam tahun bersama.” Giliran ibu Endang menasehati menantu pertamanya, Nia mengangguk, perlahan menatap wajah adik madunya yang kini tersenyum padanya. 

“K-kamu?” 

Hayo lo, siapa nih istri kedua Dewa?

Nantikan kelanjutannya, insya Allah author akan rajin up sehari minimal 2x. Doain aja ya, biar author sehat-sehat selalu.

Btw semangat terus ya puasanya. 💃❤️

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

Adam..? bukannya Dewa? apa nama lengkapnya Adam Sadewa? 😳

2024-03-20

2

Yurnita Yurnita

Yurnita Yurnita

Ternyata ada toh perempuan yg mau di madu

2024-05-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!