TBB 13

Langit masih mendung saat Kia dalam perjalanan ke rumah Nia, sesuai kesepakatan tadi pagi ia tak akan membuang waktu dan segera menemui Nia untuk belajar mengaji. Sesampainya di gerbang sekolah, Kia berjalan pelan. Melihat sekitar memastikan tak ada yang melihatnya, ia tak ingin ada yang mengiranya kabur. 

Baru beberapa langkah meninggalkan gerbang, tiba-tiba ada yang menarik ujung jilbab bagian belakangnya. Kia berjalan mundur dengan kepala mendongak menatap langit. 

“Eh, eh siapa ini?” 

“Ngapain kamu disini? mau kabur ya?” tanya seorang lelaki berseragam sama dengan Kia. Kia menatapnya kesal saat lelaki itu melepaskan hijabnya. 

“Jangan asal tuduh ya!”

“Aku nggak asal tuduh, mau apa lagi coba kalau nggak kabur, siswa dan siswi disini kan nggak boleh keluar melewati gerbang, lah kamu? coba jelaskan mau kemana?” 

“Oh iya? kamu sendiri sekolah di SMAHI kan? lantas kenapa keluar gerbang,” tanya Kia, membalikkan pertanyaan. 

“Aku pengecualian, peraturan itu tak berlaku untukku.” 

“Owh, memangnya siapa kamu? pemilik SMAHI? adiknya kak Dewa? atau kak Nia?” Kia mulai kesal, lelaki di depannya sangat menyebalkan. Ia ingin cepat sampai di rumah Nia, tapi terganggu oleh lelaki asing di depannya ini.

“Bukan urusanmu aku siapa, ya sudah sana masuk lagi. Aku aduin lo kalau kamu mau kabur,” ucap lelaki itu lagi. Kesabaran Kia sudah sampai batasnya, lelaki ini sungguh menyita waktu. 

“Dasar pria ga jelas, coba aja aduin kalau berani! lagian apa urusanmu kalau misal aku mau kabur beneran? aneh deh, kenal juga nggak.” 

“Tentu jadi urusanku lah, karena aku tak suka anak melanggar peraturan,” jawabnya membuat Kia semakin meradang. 

“Cih, situ sendiri keluar gerbang. Lagian aku tuh mau ketemu kak Nia, kita sudah janjian tahu. Enak aja ngatain aku kabur, kita nggak kenal loh ya, tapi kamu nyebelin!” ungkap Kia yang segera berbalik badan meninggalkan lelaki itu sendiri. 

Kia memutar mata, menghembuskan napas kasar saat menyadari lelaki itu masih mengikutinya. Bahkan saat ia berhenti sejenak lelaki di belakangnya melakukan hal sama. 

“Kenapa mengikutiku?” 

“Hah, jangan terlalu percaya diri ya. Aku mau nemuin kakakku, jalan saja kamu. Emang arah kita sama, kenapa marah-marah nggak jelas,” gerutunya. Berjalan mendahului Kia. Kia menarik sudut bibir, menampilkan wajah sinis versi terbaiknya. 

Mau tak mau Kia yang kini mengikuti langkah lelaki itu, gerbang rumah Nia terbuka lebar saat Kia hendak masuk, Kia  sadar jika lelaki muda itu ikut berbelok, dan masuk bersama di halaman rumah Nia. Kia bisa melihat Nia duduk di gazebo.

“Assalamualaikum,” ucap mereka hampir bersamaan, Kia melirik lelaki itu dengan wajah cemberut. 

“Waalaikumsalam, loh kalian barengan? ayo sini Kia, duduklah. Dan kamu Husin, ada apa? uangnya kurang?” 

Kia mencoba mengingat nama Husin, sepertinya tak asing dan sering ia dengar. Tapi dimana? 

“Tidak Kak, tadi Husin dapat telepon dari Abi. Abi minta sampaikan ke kakak kalau kak Zain insha Allah mau melamar mbak Salma minggu depan, tapi Abi minta kita nggak usah pulang untuk acara ini. Karena memang acaranya kecil-kecilan aja, nanti di acara nikahnya aja kak Zain minta kita pulang.” 

“Alhamdulillah, turut senang dengarnya. Baiklah, kalau itu mau Abi, kamu sudah makan belum? kalau belum sana ke dapur dulu, ada mbak Lastri di dapur.” Nia memaksa sang adik untuk makan dulu sebelum kembali ke asrama. Lelaki bernama Husin pun akhirnya setuju. 

Kia menunduk, ia baru ingat sekarang siapa Husin. Kia merasa malu karena sikapnya yang mungkin menyebalkan tadi, 

“Kia, maaf ya. Itu tadi adikku, ayo duduk dulu.” Nia mengajak Kia duduk di gazebo, Kia tampak malu-malu selain itu ia juga tak nyaman melihat Husin yang berjalan ke belakang rumah sambil terus menatapnya. 

“Ehm, maaf loh kak Nia kalau kedatanganku ganggu waktu istirahat kakak.”

“Tidak, sama sekali tidak mengganggu, malah suka kalau ada yang mau belajar mengaji begini, semangat kamu itu nular Kia, oh iya kamu kelas berapa?” 

“Kelas sebelas kak.” 

“Oh kalau gitu sama dong kayak Husin, dia juga kelas sebelas, kalian sepantaran berarti ya.” 

Kia mengangguk malu, dalam hati menyesal kenapa harus bertemu Husin lelaki yang menjadi idola teman-temannya di saat seperti ini. Apalagi ternyata Husin itu nyebelin tak sesuai dengan yang digambarkan oleh Shella, Arin dan Nisha. 

Dua wanita beda usia itu terus berbincang berbagai hal, Nia aktif bertanya tentang Kia, keluarganya, tempat tinggalnya, hobi bahkan makanan favoritnya. Kia menjawab semua dengan senang hati, Nia ternyata wanita yang ramah dan hangat. Berbeda dengan kesan pertama berjumpa, Nia terlihat anggun dan membuat Kia segan, tapi nyatanya wanita itu sangat ceria.

Percakapan mereka berhenti sejenak saat Husin kembali, lelaki itu menanyakan tentang Kia pada kakaknya. Kia menunduk dalam, ia takut Husin akan mengadukannya pada sang kakak. 

“Dia Kia, kalian sepantaran, kelasnya sama. Kenapa memangnya? oh iya tadi kalian datang bersama kan? apa kalian sudah saling kenal?” tanya Nia memandang dua remaja di depannya bergantian. 

Husin hendak menjawab saat Kia tiba-tiba memotong ucapannya, “tidak kok kak, kita tidak kenal. Kenal dari mana coba, tadi cuma nggak sengaja ketemu di depan saat kami mau kesini,” jawab Kia buru-buru. 

“Oh.” Nia mengangguk mengerti. 

“Husin kembali dulu kak,” ucap Husin mengecup punggung tangan sang kakak, dan segera berlalu. Kia merasa sangat lega, sampai tak sadar bila Nia sempat melihat sikap anehnya. Tapi Nia hanya tersenyum melihat pemandangan itu, ia memang tahu adiknya digandrungi banyak siswi, sebab Husin memang tampan. 

Hari itu Nia hanya menyimak hafalan huruf hijaiyah Kia, sebab gadis itu belum memiliki buku yang sesuai dengan yang Nia inginkan. Nia menyarankan agar Kia membelinya di swalayan, dan mereka bisa mulai mengaji keesokan harinya. 

“Kak, sebelum pulang. Kia boleh nggak tanya sesuatu?” 

“Apa itu?” 

“Ehm, gini. Sebenarnya tadi pagi Kia lihat seorang wanita seusia kakak, kalau nggak salah namanya Cahya. Dia masuk ke rumah sini, kalau boleh tau itu siapa ya kak? adiknya kak Nia juga kah?” 

Nia tak langsung menjawab pertanyaan itu, ia tampak berpikir beberapa saat. Tersenyum dan mendekat pada Kia. 

“Siapa kamu bilang tadi, Cahya? darimana kamu tahu nama itu Kia?”

“Ehm, nggak sengaja dengar ibu penjaga swalayan menyebut namanya. Katanya kak Cahya dulu juga alumni SMAHI dan sekarang sudah menikah, cuma yang bikin Kia heran kok dia masuk rumah sini? ini kan rumah kakak sama kak Dewa.” 

“Kamu salah lihat mungkin Kia, nggak ada tuh yang namanya Cahya disini. Dan kamu benar, ini memang rumah kakak sama suami,” jawab Nia ramah. Kia heran, ia tak mungkin salah lihat. Jelas-jelas wanita bernama Cahya masuk ke dalam gerbang rumah Nia tadi pagi. Tapi, meski begitu Kia enggan untuk bertanya lebih lanjut, ia pun memutuskan untuk berpamitan kembali ke asrama. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!