TBB 15

Halaman SMA Harmoni Ilmu ramai oleh siswi yang baru saja keluar dari kelas masing-masing, mereka berjalan bersama hendak kembali ke asrama, ada juga yang ke kantin atau ke perpustakaan. Sepulang sekolah memang jam santai untuk murid SMAHI, mereka bebas melakukan apa saja, tidur siang, mandi, belajar semua terserah individu.

Hari ini adalah hari kedua Kia belajar mengaji di rumah Nia, dari pagi ia sudah berpamitan pada teman-temannya. Untungnya mereka hanya mengiyakan tanpa banyak tanya. Utamanya Shella, ia tak ingin Kia membahas tentang bayi dan rumor kejadian di kamar mandi, maka dari itu saat gadis itu bilang mulai saat ini akan mengaji sepulang sekolah, maka Shella hanya mengangguk setuju. 

“Aku berangkat dulu ya Shel,” pamit Kia. 

“Ya, berangkatlah. Nitip salam nanti buat Zaina ya, salam kenal,” jawabnya seraya berlalu, melambaikan tangan pada Kia bersama ketiga teman lainnya. Kia merasa heran, kenapa Shella menitip salam pada Zaina? tapi ia memilih abai. 

Sesuai saran Nia, ia kini berada di swalayan untuk membeli buku panduan mengaji. Kebetulan swalayan tengah ramai oleh pengunjung, Kia harus rela mengantri saat hendak membayar belanjaannya di kasir. 

“Hoy, kamu mau ke rumah kakakku lagi?” tanya seorang lelaki yang tiba-tiba telah berdiri di belakangnya. Kia menoleh dan mendapati Husin disana, lelaki tampan itu kini memakai kacamata. Kia sempat terpesona beberapa saat, hingga Husin membuyarkan fokusnya. 

“Kamu lihat apa?” 

“Ah, nggak kok. Itu loh kamu jelek banget kalau pake kacamata,” ucapnya salah tingkah. Husin tersenyum, ia tahu Kia berbohong. Terbukti dari wajahnya yang merona dan segera mengalihkan pandangan sembarang arah. 

“Awas minggir, aku terburu-buru.” Husin memotong antrian, hal itu membuat Kia kesal. 

“Eh, gimana sih. Kamu nyebelin ya! aku juga terburu-buru tau!” Kia sangat geram, suaranya lirih namun penuh penekanan. Husin tak memperdulikannya, ia tengah sibuk berbincang dengan kasir wanita, seorang ibu-ibu yang sibuk memuji betapa tampannya Husin adik pemilik yayasan. 

“Cih, gitu aja tampan. Dari Hongkong!” gumam Kia saat Husin baru saja selesai membayar belanjaannya. Kini giliran Kia yang maju ke depan kasir, tapi Husin sempat berbisik sebelum pergi meninggalkan tempatnya. 

“Jangan terlalu benci, awas jatuh cinta,” ucapnya tersenyum menggoda. Kia semakin kesal, tapi tak dapat dipungkiri wajahnya terasa panas mendengar ucapan lelaki itu. Husin melambaikan tangan dengan gerakan sok coolnya, berjalan meninggalkan swalayan jauh di belakang.

“Dik, mau bayar?” tanya ibu-ibu kasir itu, menyadari Kia masih cemberut menatap kepergian Husin. Kia sadar dan segera memberikan belanjaan di tangan pada wanita di depannya, lantas menyerahkan sejumlah uang sesuai total belanja. 

Kia menyempatkan diri makan ice cream sebelum berangkat menemui Nia, selain itu ia butuh sesuatu yang dingin untuk menormalkan suhu tubuh yang tiba-tiba terasa panas sejak mendengar ucapan Husin. Kia sadar memang Husin tampan, dan itulah yang membuatnya memilih menikmati ice cream di depan swalayan. 

Setelah ice cream habis, Kia melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang wanita, hijab wanita itu menutupi hampir keseluruhan wajahnya. Kia merasa aneh kenapa wanita itu memakai penutup kepala hingga seperti itu? apa yang coba disembunyikan dari wajahnya?

Wanita itu berjalan melewati Kia, lantas berhenti tepat di depan gerbang SMAHI. Kia mengabaikannya, ia berpikir mungkin wanita itu hanya anggota keluarga salah satu siswi SMAHI. Kia mengucapkan salam tatkala melihat Nia tengah melalar hafalan Al-Qurannya. 

“Assalamualaikum.” 

“Waalaikumsalam warahmah,” jawab Nia, menghentikan bacaan Alqurannya dan mempersilahkan Kia untuk duduk. 

“Wah, Kak Nia hafal semuanya? tiga puluh juz?” Tanpa basa basi Kia menanyakan apa yang ada dalam hati. Nia mengangguk dan tersenyum. 

“Nanti kamu juga bisa kok Kia,” jawabnya ramah. 

“Wah, kakak hebat. Kok bisa sih segitu banyaknya dihafal? aku aja baca satu kalimat masih sangat kesulitan. Emang bisa kak nanti seperti kakak?” 

“Tentu saja bisa, asal kamu mau terus berusaha,” jawab Nia lagi. 

“Insya Allah kak,” jawab Kia penuh semangat, Kia sadar semakin lama berada di sekolah asrama Harmoni Ilmu ini, membuat Kia semakin haus ilmu agama. Dulu ia yang malas jika disuruh berangkat mengaji oleh ibunya, kini ingin menjadi pandai mengaji seperti Nia, alasannya simpel. Kia ingin bisa mengirim doa untuk sang ibu yang telah tiada. Kia ingin ibu bangga di syurga menyaksikannya menjadi wanita shalihah. 

“Kamu sudah beli yang kakak minta kemarin Ki?” 

“Sudah kak, ini baru saja beli waktu perjalanan kesini.” 

“Baiklah, kita langsung mulai ya. Sebelumnya kita baca Al-fatihah dulu, agar Allah senantiasa memudahkan niat belajar kita, dan menghitungnya sebagai pahala.” 

Kia mengangguk antusias, ia menengadahkan dua tangan, menyimak bacaan tawassul yang dipimpin oleh Nia, lantas mulai membaca surat al-fatihah saat Nia memberikan aba-aba. 

“Baik Kia, silahkan kamu buka bukunya ya. Jadi gini, sebenarnya Kia kamu itu anak yang pandai, mengingat cerita kamu belum pernah mengaji tapi hanya belajar sekali kamu bilang dengan kakak-kakak senior dan teman kamu, kamu sudah mulai bisa membaca. Hanya saja belum lancar dan panjang pendek kalimatnya belum benar. Jadi, hari ini kakak akan mengenalkanmu dengan pelajaran tajwid.” 

Kia menyimak dengan seksama. Ia memang sering mendengar tajwid, tapi sampai sebesar ini ia tak tahu ilmu apa itu. 

“Jadi Kia, tajwid itu ilmu untuk mempelajari tatacara membaca Al-Quran dengan benar, di dalam tajwid sendiri ada banyak yang harus kita pelajari, dari macam-macam mad, hukum bacaan, dan lain sebagainya. Kita akan pelajari semuanya secara bertahap, kamu siap Kia?” 

“Siap kak.” 

Nia pun mulai memberikan materi pertama, tentang hukum bacaan nun sukun bertemu huruf hijaiyah yang ada lima. Kia menyimak dengan seksama, Nia juga mencontohkan bagaimana cara membaca idzhar, ikhfa’, idghom bighunnah dan lain sebagainya. Itu ilmu baru bagi Kia, ia merasa takjub bahwa membaca Al-quran ternyata memiliki tata caranya sendiri yang sedetail ini. 

Tak terasa satu jam berlalu mereka belajar bersama, Nia mengakhiri sesi belajar mereka dengan doa. Lantas meminta Kia untuk makan camilan kue kering yang terletak di toples tak jauh dari meja belajar Kia. Kia merasa sangat beruntung, pertanyaan Nia kemarin tentang makanan ringan apa yang disukainya itu bukanlah basa basi semata, dan lihatlah toples itu berisi kue sus kering isi coklat kegemarannya. 

“Makanlah dulu sebelum pulang,” perintah Nia. 

“Ya Allah kak, besok-besok jangan repot-repot. Kia kan jadi malu kalau gini, masa Kia yang minta belajar, kakak udah mau ajarin gratis eh masih dikasih jajanan juga,” ungkap Kia. 

“Santai saja Kia, kebetulan jajan kesukaan kamu ini, aku juga suka. Jadi setelah kamu cerita kemarin pengen, ya udah deh beli aja.” Nia tersenyum senang saat bercerita, Kia kini semakin sadar kenapa Shella begitu mengidolakan wanita ini. Dan jika memang Nia sebaik ini, sepertinya tak mungkin jika Nia membunuh bayi. 

Setelah puas berbincang sambil menikmati sus kering isi coklat, Kia memutuskan untuk pamit. Arloji di tangan menunjukkan pukul dua siang, Kia harus istirahat meski sebentar, agar kajian malam ia tak ngantuk. 

“Boleh salim ya kak?” ucap Kia, sedari awal kedatangannya Kia menunggu momen bersalaman dengan Nia, sebab ia tahu hari ini Nia tak menggunakan manset tangan. Kesempatan besar di depan mata. 

“Boleh,” jawab Nia masih dengan senyum manisnya. Kia segera menjabat tangan Nia, mencium punggung tangan dan mencoba melihat dengan jelas apa yang bisa dilihatnya. 

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

aaah.. nunggu lagi, apa yang dilihat Kia? 😳🫣😱

2024-03-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!