TBB 17

Sepulang sekolah, Kia masih terus memikirkan tentang rumor istri kedua Dewa. Bahkan Shella menangis tak henti-henti, seolah ia yang telah dikhianati. Ketiga temannya pun ikut geram pada wanita bernama Nur, meski mereka belum pernah bertemu. 

“Lihat aja, kalau sampai aku bertemu Nur di kantin, kujambak itu rambutnya.” 

“Memangnya mbak Shella tau ibu Nur itu yang mana?” 

“Aku tanya dulu dong Dit,” jawab Shella ketus, Dita, Nisha dan Arin hanya bisa saling pandang. 

Kia sendiri merasa sangat kasihan pada Nia jika kabar ini benar, ingin sekali rasanya bertanya langsung pada Nia, tapi apakah itu sopan? 

“Mau ngaji lagi kamu Ki?” tanya Shella tatkala Kia membawa tas dan hendak keluar kelas, Kia mengangguk dan Shella pun diam, membiarkannya pergi. 

“Pergi dulu ya teman-teman, nitip Shella tolong bawa dia pulang. Lagi patah hati banget dia kayaknya,” goda Kia. Ketiga teman lainnya tertawa lirih dan mengiyakan permintaan Kia. Shella sendiri hanya cemberut dan sesekali mengusap air mata di wajah. 

Kia ingin segera bertemu Nia, setidaknya ia akan tahu dari ekspresi wanita itu jika memang telah di duakan oleh Dewa atau tidak. Kia yakin tak ada wanita di dunia ini yang rela jika suaminya mendua. Kia berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah, tampak sepi. 

Tak butuh waktu lama ia telah sampai di depan rumah Nia, berbeda dari hari biasa Kia tak menemukan Nia disana. Hanya seorang wanita paruh baya yang mengatakan jika Kia bisa menunggu lebih dulu, karena Nia masih mandi. Kia mengucapkan terima kasih dan memilih duduk bersantai menatap ikan. 

Teringat kertas yang diberikan Zaina padanya tadi, Kia memang belum sempat membuka kertas itu karena seharian sibuk dengan tugas dan berita tentang Nia. Gadis itu segera membuka tasnya, mengambil kertas yang disimpan dalam kotak pensil. Kia penasaran siapa yang mengirimkan kertas itu padanya. 

“Apa ini surat cinta?” gumam Nia tertawa lirih. 

Sebuah tulisan dengan tinta berwarna merah yang membuat Kia terkejut, sebuah permintaan tolong dari seseorang berinisial the D. 

“Kia, sudah lama tunggu?” 

Kedatangan Nia membuatnya kaget, ia segera memasukkan kembali kertas itu ke dalam tasnya. Berdiri menyambut Nia dengan senyuman. 

“Tidak kak,” jawab Kia sopan. 

“Alhamdulillah kalau begitu, ayo duduk.” Nia mengajak Kia untuk duduk di gazebo. Di tangannya membawa keripik kentang dan pisang, Nia meletakkan hidangan itu di samping tempat duduk mereka. Kia semakin sungkan karena selalu di jamu layaknya tamu. 

“Maaf ya, tadi baru pulang dari belanja. Karena gerah akhirnya mandi dulu padahal sudah waktunya kamu datang,” ucap Nia lagi, wajahnya tampak berseri-seri. Kia mengaku tidak keberatan, ia juga terus mengamati wajah Nia yang tampak sangat bahagia. 

Mungkinkah wanita yang diduakan bisa tampak sebahagia ini? apa aku tanya aja ya, tapi kayaknya nggak sopan deh karena itu masalah keluarga. 

Kia pun memutuskan diam, mereka memulai pelajaran dan Kia banyak praktek membaca Al-quran hari ini, Nia menyimak bacaannya dengan sangat teliti, hingga Kia merasa hampir putus asa karena bacaannya yang masih banyak salah. 

“Nggak apa-apa Kia, nanti lama kelamaan kamu juga akan lancar. Yang penting kalau di kamar, sering-sering mengaji aja ya,” perintah Nia yang langsung mendapat anggukan setuju gadis di depannya. 

“Perkembangan mengaji kamu sebenarnya sudah lumayan bagus Kia, hanya perlu dilancarkan aja dengan banyak berlatih. Oh iya, ini sambil di makan. Aku tadi beli keripik pisang sama keripik kentang, katanya sih ini enak. Ayo cobain.” Nia menyodorkan dua toples berisi dua keripik berbeda di depan Kia, gadis itu malu-malu meraih keripik dan mulai menikmatinya. 

“Kamu kenapa banyak diam hari ini Kia? lagi nggak enak badan atau ada masalah, kalau memang butuh cerita nggak apa kok cerita samaku,” ucap Nia. 

“Hehe, nggak ada apa-apa kok kak, oh iya kak kata teman-teman dulu kakak juga alumni sekolah Harmoni Ilmu ya?” Kia mulai mengorek informasi, walau seminim mungkin ia harus mencoba. Begitulah pikirnya. 

Nia tersenyum sambil menyesap teh dari cangkir ia menjawab, “ya, aku memang sekolah disini dulu. Sampai akhirnya keluarga mas Dewa memintaku untuk menjadi menantu mereka,” jawab Nia mengenang masa lalu. Kia merasa mendapat kesempatan saat Nia mulai menceritakan tentang Dewa. 

“Ceritain dong kak kok bisa menikah dengan pak Dewa.” 

Nia kembali tersenyum, ia menatap ikan-ikan di dalam kolam dan mulai menceritakan kisah hidupnya. “Dulu, mas Dewa sering menggantikan ayahnya mengisi kajian, dulu asrama belum sebesar ini. Hanya ada lima kamar saja dengan masing-masing kamar berisi dua orang. Murid sekolah Harmoni Ilmu masih campur lelaki dan perempuan, hanya saja kami pakai satir pemisah saat di kelas, dan muridnya juga banyak yang sekolah dari rumah. Hanya sepuluh orang saja yang tinggal di asrama, termasuk aku.” 

"Benarkah? jadi dulu belum sebesar ini ya? dan sekolahnya masih campur.” 

Nia kembali mengangguk, dan melanjutkan ceritanya lagi, “saat itu, aku yang pertama menyukai mas Dewa. Tapi aku terlalu malu, dan akhirnya abai pada perasaanku sendiri. Aku fokus pada sekolah dan hafalan Al-quran, hingga tiba suatu masa, mas Dewa dan keluarganya memintaku pada Abi dan umi. Tentu saja aku sangat bahagia kala itu, dan kami pun menikah.” Kenang Nia. 

“Wah apa itu berarti pak Dewa sangat mencintai kak Nia?”

Nia mengangguk, tampak malu-malu.

“Pasti cinta pak Dewa tak lekang oleh waktu, nyatanya kak Nia masih tersipu hingga saat ini. Ya kan kak?” 

Kia berhasil mendapatkan bukti, saat tiba-tiba wajah Nia mendadak sendu meski untuk sejenak saat ia mengatakan kalimat terakhirnya. Tak lama memang, karena Nia sangat pandai menyembunyikan kesedihan itu lagi. 

“Doakan saja, semoga kami tetap menjadi pasangan yang harmonis dan romantis, menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah,” tutur Nia kemudian. Kia mengaminkan doa itu. 

Tepat pukul setengah tiga sore, Kia meminta undur diri. Ia mengaku sangat bahagia bisa belajar mengaji dengan Nia, tak lupa mengucapkan banyak terima kasih juga. 

“Tidak masalah Kia, aku bahagia bisa bisa punya teman ngobrol. Biasanya juga cuma sama mbok Lastri, kamu tahu wanita paruh baya yang tadi memintamu menunggu?” 

Kia mengangguk, lantas berpamitan. Saat bersalaman ia kembali kecewa karena lagi-lagi Nia mengenakan manset di tangannya.

Kenapa kak Nia hobi sekali pakai manset? 

.

Dalam perjalanan pulang, Kia ingin membeli ice cream. Ia memutuskan untuk mampir ke swalayan, dan di sana ia malah bertemu dengan Husin. Pria muda itu tersenyum saat melihatnya, Kia memutar bola mata, malas rasanya berjumpa dengan lelaki itu. 

Adik Nia yang kelakuannya tak ada mirip-miripnya dengan sang kakak, karena menurutnya Husin itu menyebalkan. Dan benar saja, Husin mendekatinya yang tengah memilih ice cream. 

“Kulihat kamu doyan sekali makan ice cream, pantes dingin.” 

Kia menatap heran, tak mengerti dengan maksud ucapan pria itu. Ia pun memilih abai hendak menuju kasir. Namun, Husin menghalanginya. 

“Nama kamu Kia kan? hari minggu besok ada acara nggak? gimana kalau ke perpustakaan, ada yang ingin kuberikan padamu disana. Kalau kamu mau, datang ya. Kalau tidak datang maka kamu menyesal,” ucapnya sambil berlalu. Kia semakin heran dengan tingkah ajaib pria itu. 

Dia ngajak ketemuan? yang bener aja itu anak. Mentang-mentang kakaknya pemilik yayasan. 

Husin tersenyum dan kembali melambaikan tangan, berjalan menuju asrama putra. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!