TBB 7

Kia tahu Shella mengagumi Nia, tapi ia tak menyangka jika gadis itu akan sangat bersemangat saat menjelaskan semua hal tentang Nia, Shella bahkan menjawab semua pertanyaannya tanpa berpikir, seolah ia hafal semua hal tentang Nia di luar kepala. 

“Jadi, maksudmu. Meski mereka adalah couple goals terkenal di asrama, tapi nyatanya mereka belum punya anak selama enam tahun pernikahan?” tanya Kia, Shella mengangguk, wajahnya terlihat sedih. 

“Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya kenapa bisa begitu kan? oke aku akan jelaskan. Jadi gini, menurut rumor beredar kak Nia yang tak ingin punya anak, meski kak Dewa pernah membantah semuanya tapi para guru dan juga siswi paham jika memang kak Nia sepertinya yang tak ingin.” 

“Paham dari mana?” 

“Kak Dewa sangat menyukai anak-anak, bahkan semua anak kecil cenderung menyukainya. Tak jarang kita melihat kak Dewa bermain dengan anak para guru yang kebetulan ikut orang tuanya mengajar, sedangkan kak Nia ia terlihat kaku di depan anak kecil, ia bahkan tak pernah mendekati anak kecil lebih dulu, walaupun terpaksa pasti anak itu menangis.”

“Tapi kan itu tidak bisa dijadikan acuan bahwa kak Nia tak ingin punya bayi kan Shel?” 

“Nah bener kan? aku juga mikir gitu Ki. Heran aja sama mereka yang nggak suka sama kak Nia, dan menyebarkan rumor aneh seperti ini. Padahal kak Dewa sudah membantah rumor itu dan bilang bahwa memang belum dikaruniai rizki anak aja, tapi tetep rumor itu tak bisa hilang.” 

“Jadi, kak Nia juga punya haters?” 

“Udah kayak artis aja Ki, tapi memang iya sih. Kak Nia artisnya SMAHI, begitu banyak yang menyukainya, dan yang membencinya pun juga tak sedikit, hanya saja mereka munafik, tak berani terang-terangan.” 

Percakapan mereka terhenti saat satu persatu siswi memasuki kelas, tampak tiga gadis yang baru datang dan ikut berbincang bersama Kia dan Shella. Mereka semua sibuk membicarakan seorang pria dari asrama putra yang baru saja ditemui Danisha di swalayan. 

Kia sengaja tak turut serta dalam percakapan, ia beralasan ngantuk, kembali menempelkan kepala di atas meja sambil memejamkan mata, Kia masih terus memikirkan apa yang dilihatnya tentang Nia, jika memang rumor itu benar bahwa Nia adalah penganut childfree, maka kemungkinan Nia menggugurkan kandungan itu menjadi besar, dan apa yang dilihat Kia bisa lebih masuk akal. 

Tapi tunggu, bukankah yang kulihat kak Nia pake seragam sekolah? berarti belum nikah dong. 

Semakin kacau pikiran Kia, segala praduga dalam kepala seolah menari-nari dalam bentuk tulisan yang menumpuk dan saling berdesakan. Dua kemungkinan yang bisa diambil dari kalimat itu, kemungkinan Nia memang membunuh bayi, dan itu artinya sikap ramah dan baik hati hanya kedok belaka, ia mengenakan topeng tebal untuk menutupi boroknya. Kemungkinan kedua, ada kalimat lain yang tak diketahui Kia, yang bisa menjadi titik terang dari apa yang sebenarnya terjadi. 

Bel jam pelajaran pertama berbunyi, teman-temannya segera kembali ke tempat duduk masing-masing. Membaca doa bersama sebelum guru masuk kelas, Kia sendiri benar-benar tak bisa fokus, ia masih terus mencoba mengurai benang kusut dalam pikiran, tentang bagaimana cara mengetahui kelanjutan dari cuplikan masa lalu yang dilihatnya. 

***

Hampir seharian Nia hanya rebahan diatas ranjang, ia merasa demam. Tubuhnya lemah dan terasa sakit di bagian kaki, Nia bahkan belum menyentuh sarapan yang sengaja diantar mbok Lastri ke dalam kamarnya. 

Pintu diketuk dari luar, tak menunggu jawaban, Dewa muncul membawa segelas susu. Berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. 

“Makan dong Nia, jangan menyiksa diri seperti ini. Kamu membuat mas merasa bersalah, kamu marah tapi bilang tak masalah, kamu membuat mas terus kepikiran, bahkan Nur ikut merasa tak nyaman karena sakitmu.” 

Reflek Nia menoleh, memandang wajah suaminya yang semakin menyebalkan. Bahkan orang sakit pun dianggap menjadi penyebab rasa tak nyaman yang hinggap dalam hati orang lain. Nia enggan berkomentar, penyakit yang dideritanya sudah cukup menguras energi, kenapa harus ditambah memikirkan perasaan orang lain. 

“Ini mas bawakan susu, setidaknya minum susunya dulu. Semoga lekas sehat, kamu ada jadwal mengaji di masjid kan nanti malam? biar mas minta guru badal, kamu istirahat saja di kamar. Kalau butuh apa-apa, telepon saja mas, mas ada di luar.” 

Nia mengangguk, membiarkan suaminya pergi meninggalkannya sendiri.

.

Di dalam sebuah kamar, seorang gadis sibuk mencari-cari peniti. Ia berjalan mondar mandir dengan satu tangan memegang hijab tepat di bawah dagu. Temannya yang berdiri di samping pintu merasa kesal dan menegurnya. 

“Kamu ngapain sih Ki? nanti kita telat ngajinya, katanya pengen bisa salim sama kak Nia lagi.” 

“Peniti aku ilang Shel,” jawab gadis itu, masih fokus menatap lantai. 

“Ya udah pakai jarum pentul ya, aku punya banyak kalau jarum pentul.” 

“Ogah ah, aku nggak bisa pakenya Shel, lagian apa nggak ketusuk itu leher dipakein jarum gitu?” Alis kia turun, ia memang heran selama ini kenapa para hijabers yang sering dilihatnya dalam tutorial-tutorial berhijab selalu menggunakan jarum. 

“Ah, kamu aja yang belum terbiasa. Pake jarum pentul itu enak tau, sat set dan bikin kain hijab nggak mudah rusak. Karena memang setajam itu jarumnya, jadi nggak membekas di kain, kecuali kalau kamu belinya pentul murahan, yang ada benang kain hijabmu bisa amburadul ketarik sana sini.” 

“Ngawur aja kamu Shel, peniti pun nggak kalah runcing kok ujungnya.” 

“Tapi kalau peniti itu rawan bikin hijab nyangkut di cantelannya itu. Jadilah hijab cepat rusak, ya udah sini biar aku bantu pakein. Nanti kita malah terlambat lagi karena peniti kamu itu, lagian punya peniti cuma satu, ya gitu deh.” 

Kia berjalan mendekat, pasrah saat Shella bahkan mengajarinya cara mengenakan hijab dengan baik, agar tak mudah miring seperti yang ia alami selama ini. Kini keduanya telah siap, berjalan berdua menuju masjid. Kia mendapat tempat di barisan kedua, masih beruntung daripada harus di tempat kemarin. Saat seluruh tubuhnya tak bisa duduk sempurna. 

“Hai, kita bertemu lagi,” sapa gadis kemarin malam yang sempat berbincang dengannya. Gadis itu duduk tepat di depannya. 

“Oh kamu, hai juga.” 

“Kita kenalan yuk, masa udah dua kali ketemu belum tau nama juga, aku Zaina. Kamu siapa?” Gadis berkulit sawo matang itu tersenyum ramah, mengulurkan satu tangan mengajaknya berjabatan. 

“Aku Tazkia isyfi. Tapi kamu cukup panggil aku Kia aja.” 

“Oke Kia.” 

“Ehm, Zaina nanti kalau kak Nia datang boleh nggak aku maju di sampingmu? aku ingin salim lagi dengan beliau,” pinta Kia malu-malu. 

“Kamu belum tau Kia? kak Nia nggak bisa hadir malam ini. Kata Bu Lastri, beliau sedang sakit.” 

Mendadak Kia jadi loyo, dia yang awalnya semangat empat lima tiba-tiba saja cemberut. Hal itu memancing reaksi Zaina yang menyadari perubahan wajahnya. 

“Kamu doakan saja supaya kak Nia cepat sehat Ki, agar bisa kembali mengajari kita mengaji.” 

“Amiiin, lantas kita tunggu siapa kalau kak Nia tak datang?” 

Zaina melihat beberapa wanita seusia Nia masuk ke dalam masjid, mereka mulai membaca al fatihah bersama dan juz tiga puluh. Kia mengikuti arah pandangan matanya, ia pun paham tanpa harus dijelaskan. 

Acara mengaji berlanjut seperti biasa, lagi-lagi Kia tak fokus, ia sudah membayangkan bisa menyentuh tangan Nia lagi, dan mengecek apakah memang ia bisa melihat gambaran masa lalu orang lain dengan bersentuhan seperti itu, siapa tau bisa mencari tau kelanjutan dari cuplikan yang ia lihat kemarin malam. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!