TBB 4

Senyum yang tersaji di depan mata Nia, semakin membuat hatinya perih. Seolah ada ribuan jarum menghujam disana, luka tak berdarah namun membekas dan tak ada yang tau kapan bekasnya bisa sirna. Wanita di depannya tiba-tiba berdiri menghampiri, sinar matanya menyiratkan sejuta rahasia. 

“Hai mbak Nia, salam kenal ya mbak, aku Nur. Istri barunya mas Dewa, sekarang kita akan berbagi suami mbak, tak hanya itu kita akan berbagi suka dan duka. Melayani dan menghormati satu pria, mencintai dan dicintai oleh pria yang sama. Nur harap kita bisa akur ya mbak.” Nur tersenyum lantas memeluk tubuh Nia yang masih diam terpaku, berdiri memandangnya dengan tatapan kosong. 

“Alhamdulillah, betapa manis ucapanmu nduk, semoga Allah merestui niat baik kalian semua.” Ayah Dewa mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga putranya. 

Sebenarnya bukan tanpa alasan keluarga Dewa menerima menantu baru, mahligai rumah tangga yang dibangun putranya sudah berusia sekitar enam tahun, selama itu pula Nia belum juga bisa hamil dan menghadirkan cucu untuk mereka. 

Sempat ada keinginan menjodohkan Dewa dengan wanita lain, tapi tak berani mereka lakukan mengingat betapa Dewa sangat mencintai istrinya, tapi sekitar satu bulan yang lalu tiba-tiba saja Dewa berkata ingin menikah lagi, dengan wanita pilihannya sendiri. 

Nur melepas pelukannya, menatap wajah Nia sebentar sebelum akhirnya kembali duduk di samping Dewa. Nia seakan baru tersadar, ia menghela nafas sejenak dan kembali duduk. Menyaksikan betapa bahagianya Dewa dan keluarganya, seakan mereka tak peduli akan keadaan hatinya kini.

.

Sementara itu, hari pertama bersekolah sebagai siswi pindahan terasa menyenangkan bagi Kia. Ia mendapat banyak teman, tak hanya Shella. Mereka semua sangat ramah, tapi sayangnya kebanyakan dari mereka tinggal di lantai dua, lumayan jauh dari kamar Kia yang terletak diujung lantai dasar. 

“Kia, kamu kok bisa cantik banget sih? ayah kamu bule ya? lihat kulit kamu putih banget,” tanya Arin gadis berkacamata dengan lesung pipinya. 

“Nggak kok, aku orang lokal asli. Kamu juga manis kok Rin, lihat tuh aku dari dulu pengen lo punya lesung pipi.” Kia mencoba mengimbangi pujian teman barunya, meski itu bukan wataknya bersikap lebay dan saling memuji. Kia hanya ingin memiliki banyak teman kini, rupanya trauma di masa lalu membuatnya benar-benar harus berhati-hati dalam setiap langkah. 

“Ki, kamu kalau senggang main-main aja ke kamar kami, di lantai dua. Kita biasanya nongkrong sambil makan-makan gitu di depan kamar.” 

“Ya sekali-kali kalian lah yang main-main ke kamar kami, sebelum ada Kia kan aku yang selalu main ke atas,” protes Shella pada tiga gadis di depannya. 

“Kamu nggak tau aja rahasianya Shel,” ungkap Danisha, gadis dengan mata sipit yang apabila tertawa maka hilang sudah dua matanya. 

“Emang apaan?” Shella bertanya dengan gaya sok cueknya. 

“Bagi tau Dit.” 

“Apa memangnya mbak Nish?” Dita mendorong ujung kacamatanya dengan satu tangan, hidung sedikit terangkat bersamaan dengan matanya yang menyipit. 

“Ah, ngapain kamu tanya Dita Nish, ya nggak bakal lah dia tahu,” ucap Arin yang kini lebih mendekatkan diri di samping Shella dan Kia, “dengarkan baik-baik, dari kamar kami bisa terlihat jelas asrama putra. Jadi makan-makan di depan kamar itu view terbaik yang kita miliki. Kalau Dita mah, udah pasti nggak akan tau, lihat tuh kacamatanya aja udah setebel apa.” 

Dita tertawa mendengar ucapan temannya, gadis mungil itu sama sekali tak tersinggung. Bahkan mereka kini tertawa bersama hingga tak menyadari bahwa Kia tak lagi fokus mendengar percakapan mereka. 

Gadis itu masih memikirkan kejadian semalam, mulai dari mimpi hingga apa yang dilihatnya di kamar mandi nomor tiga. Ingin rasanya bertanya pada kepada keempat temannya, tapi ia tak berani, khawatir hal itu bisa mempengaruhi pertemanan mereka. 

Pelajaran pertama berjalan lancar, meski Kia harus mengejar beberapa materi pelajaran yang tertinggal. Ia memang sempat istirahat di rumah sebelum akhirnya pindah ke SMAHI, ayahnya mengaku masih mencari pertimbangan sekolah yang bagus untuknya saat itu, padahal Kia bilang dimanapun nggak masalah, asalkan tempat baru, tempat dimana tak ada yang mengenalinya sama sekali. 

“Ki, kamu kenapa? diam saja,” tanya Shella yang kebetulan duduk satu bangku bersamanya. Kia hanya menggeleng, tapi bukan Shella namanya kalau menyerah begitu saja, ia tahu teman sekamarnya sedang memikirkan sesuatu. 

“Cerita nggak, nggak bakal aku mau temenin kamu ke kantor guru nanti,” ancamnya, Kia yang memang memintanya menemani ke kantor guru untuk mengambil seragam olahraga akhirnya cemberut, ia memang telah keliling bangunan sekolah tapi belum ke kantor guru. 

“Ayolah Ki, cerita aja jangan disimpan sendiri. Aku janji tak akan membaginya sembarangan tanpa seizin mu. Kamu nggak kasihan aku kalau kepo nanti nggak bisa tidur, nggak enak makan, bisa-bisa kurus aku Ki,” selorohnya yang sukses membuat Kia tertawa. 

“Baiklah, janji ya jangan tersebar.” Kia mencondongkan tubuhnya mendekati sebelah telinga Shella, “sebenarnya aku mau tanya Shel, selama kamu ada disini pernah nggak sih dengar suara bayi menangis di kamar mandi?” 

“Haha, kamu ini kukira apa loh Ki, palingan itu juga adik salah satu siswi, yang kebetulan keluarganya datang bawa bayi gitu. Emang kenapa?” 

“Nggak apa-apa sih,” jawab Kia merasa respon Shella sedikit aneh, seakan gadis itu menutupi sesuatu darinya. Bahkan kini Shella memainkan ujung pensil pada hidung, mengendusnya tak jelas seakan benda kecil itu mengeluarkan aroma nikmat yang membuatnya ketagihan. 

“Ki, kamu khawatir itu setan ya? kalau memang iya kamu bacain doa aja, bacain ayat-ayat Al-Quran, mereka tuh takut sama ayat-ayat Allah.” 

“Tapi aku belum bisa mengaji Shel.” 

“Oh iya? nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir. Justru disini tempat yang pas untukmu, nanti setelah Isya’ kita akan belajar bersama kak Nia, ada jadwal mengaji bersama, kalau kamu masih halangan, tetap bisa ikut kok meski cuma nyimak aja.” Shella menepuk pundak gadis di depannya, memberikan senyuman yang saat itu juga mampu membuat segala keraguan dalam hati Kia runtuh. 

Dugaan tentang Shella yang seolah menyembunyikan sesuatu musnah sudah, sepertinya memang hantu bayi itu hanya mengganggunya. Semoga saja gangguan itu cukup hanya sekali pada malam pertama kedatangannya, makhluk itu hanya ingin memberi sambutan untuknya.

Terpopuler

Comments

Valent Theashef

Valent Theashef

ksian nia ya,dimadu apa lagi suaminy mmilih wanita lain lagi,bner2 gk setia dewa y,omonganny za cinta tp mendua,apa lgi klo dewa ma nur puny ank gk bisa byangin gmn rsany jd nia,skrg z dy mrsa dialihkan ,sbar nia klo dh gk sbar km kluar za dr zona spert tu,

2024-03-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!