TBB 6

Pengalaman pertama bagi Nia mendengar suara tanpa rupa seperti ini, selama tinggal di rumah suaminya tak pernah ada hal aneh terjadi. Suara percikan air masih terus terdengar, seolah seseorang tengah memainkan air di dalam sana.

Nia memilih diam di atas ranjang, tubuh terasa kaku. Namun, bibirnya terus membaca ayat kursi dan segala surah pendek dalam Al-Quran. Nia bersyukur suara itu perlahan menghilang, berganti senyap seperti biasa. Ada keinginan menemui suaminya, tapi ia tahu itu tak mungkin, tak ingin dianggap menjadi pengganggu saat Dewa tengah melakukan malam pertama bersama istri barunya. 

Nia mengira gangguan itu telah selesai, tapi ternyata dugaannya salah. Selang beberapa saat kemudian, Nia kembali mendengar suara aneh, kali ini tangisan bayi lirih terdengar di telinganya.

Nia mulai bingung, dimana ada bayi di sekitar rumah? bahkan ia sendiri belum bisa memiliki anak. Bukan takut, Nia malah sedih, sebab ketidakmampuannya menghadirkan bayi untuk Dewa membuat lelaki itu memutuskan poligami. Dan kini, ia bahkan berhalusinasi mendengar suara bayi. 

Malam ini, ia memutuskan banyak-banyak beristighfar, memohon ampun atas segala dosa. Nia memilih tetap duduk bersandar pada sisi ranjang, meski bila kantuk menyerang, maka kepalanya akan terjatuh ke depan beberapa kali. Tapi Nia segera sadar dan kembali berdzikir hingga pagi menjelang. 

.

Suara adzan subuh berkumandang dari arah masjid, Nia segera beranjak dari ranjangnya, ia berjalan pelan menuju kamar mandi. Sedikit ragu-ragu saat membuka pintu, kejadian semalam masih segar dalam ingatannya. 

Lantai kamar mandi masih kering, air juga tampak tenang, tak ada satupun benda yang kemungkinan terjatuh disana. Meski heran, Nia akhirnya memilih abai. Ia segera mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah dengan suaminya. 

Berjalan tergopoh menuju kamar Nur, Nia berharap bisa shalat berjamaah bertiga. Saat mengetuk pintu, Nur keluar dengan mukena yang menempel di tubuhnya. 

“Ada apa mbak?” tanya wanita itu. 

“Apa kalian sudah shalat?” tanya Nia manakala melihat dua sajadah dibentang di dalam kamar, dan Dewa duduk bersila sebagai imam. 

“Kebetulan sudah mbak, baru saja.” 

Nia mengangguk, lantas pergi begitu saja tanpa berpamitan lagi. Ia seolah tuli meskipun Dewa memanggil namanya berulang kali, ia mengira pembagian malam hanya berlaku untuk teman tidur saja, bukan urusan ibadah. Bukankah berjamaah dengan dua makmum juga bisa, lantas kenapa mereka berdua tak mengingatnya sama sekali. 

Nia terpaksa shalat subuh sendiri, ia menunduk dalam diam selepas melaksanakan ibadah dua rakaat itu. Bahunya bergetar pelan, semakin lama semakin kencang. Nia tak kuasa menahan luka, hatinya terus mengadu tanpa suara, berusaha yakin masih ada Allah yang selalu bersamanya. 

Setelah puas berasyik masyuk dengan tuhannya, Nia menanggalkan mukena. Meraih hijab yang ia letakkan sembarang di atas ranjang, mengenakan kembali kain tipis berwarna biru muda itu. Setelah dirasa cukup, Nia berjalan keluar kamar menuju dapur. Namun, lagi-lagi ia kalah cepat. Nur tengah memasak dengan Dewa disampingnya. 

“Sayang, kemarilah. Pagi ini Nur memasak untuk kita, mas tak menyangka ternyata dia pandai memasak.” Dewa tersenyum riang, sepertinya ia sangat bangga pada istri keduanya itu. Nia teringat masa lalu, enam tahun yang lalu kali pertama ia datang ke rumah ini. Nia sama sekali tak bisa memasak, ia bahkan membiarkan pembantu yang memasak untuk mereka. 

“Mbok Lastri kemana mas?” 

“Ada kok, tadi mas sengaja suruh dia istirahat saja. Karena Nur meminta memasak pagi ini.” 

Nia semakin insecure, ia yang selama ini memasak masih selalu dibantu mbok Lastri dan tiba-tiba datang Nur yang serba mandiri. Wanita itu bahkan nyambi mencuci baju di mesin cuci, dan disela-sela pekerjaannya ia masih mampu mencuci piring dan bahkan menyapu. Nia heran kenapa bisa Nur bisa sehebat ini, tangannya sangat terampil dan cekatan, berbanding terbalik dengan dirinya yang memang sedari kecil terbiasa dilayani. 

“Duduklah mbak, sebentar lagi sudah selesai dan kita sarapan bersama,” ucap Nur ramah, senyum mengembang dari bibirnya yang merah. Wanita itu bahkan bersolek sepagi ini, lagi-lagi Nia kalah satu langkah. Ia yang terbiasa polosan, wajah natural tanpa make up mendadak menjadi tak percaya diri. 

“Butuh bantuan sayang?” tanya Dewa. Hati Nia mencelos, panggilan sayang dari mulut sang suami yang ditujukan pada wanita lain tepat di depan matanya membuatnya sakit, sangat sakit. Nia menyembunyikan tangan yang bergetar di bawah meja, bibir terus berdzikir, berusaha fokus pada rasa syukur yang lebih besar daripada sakit itu sendiri. 

Dan tiba-tiba saja Dewa telah duduk di sampingnya.

“Nia, kamu kenapa? sakit kah?” 

Nia menggeleng, melempar senyum dan mencoba tetap terlihat normal di depan suaminya. 

“Tidak, kamu sangat pucat sayang.” Dewa menyentuh kening Nia, alis berkerut saat merasakan suhu tubuh istri pertamanya terasa berbeda, lebih tinggi daripada keadaan normal.

“Aku nggak apa-apa mas,” jawab Nia mendorong pelan tangan sang suami.

“Nia, kamu yang sabar ya. Mas tau tak mudah menjadi dirimu, mas minta maaf atas semua yang terjadi di antara kita, dengan tulus mas berdoa agar lambat laun hatimu bisa menerima takdir hidup kita yang seperti ini.” 

“Apa sih mas, Nia terima kok semua yang terjadi, kalau tidak sudah pasti Nur tak akan pernah masak di dapur rumah kita,” kata Nia seraya memandang tajam pada mata Dewa, lantas berdiri seraya berkata, “kalian sarapan lebih dulu aja, sepertinya aku kurang enak badan pagi ini.” 

Langkah kaki Nia lebar meninggalkan ruang makan, berjalan kembali menuju kamar. Semalaman penuh ia tak bisa tidur, dan pagi ini dihadapkan dengan pemandangan menyakitkan hati. Nia tak mampu bertahan lebih lama, ia memutuskan untuk tidur, mengganti malamnya yang tersita. 

Sementara di tempat berbeda, Kia menempelkan kepala di atas bangku. Ia sengaja datang lebih awal, bahkan rela melewatkan sarapan. Kia masih memikirkan kejadian tadi malam, saat ia bersalaman dengan Nia. 

Sesuatu yang baru terjadi begitu saja, ia melihat sebuah gambaran aneh saat tangannya bersentuhan dengan tangan wanita cantik itu. Kia sadar, ia memang memiliki kemampuan melihat dan mendengar makhluk tak kasat mata, tapi ia belum pernah melihat masa lalu orang lain.

Tapi yang dilihatnya kemarin adalah, Nia versi muda dengan seragam yang sama dengan yang ia kenakan saat ini. Berbincang berdua dengan gadis sebayanya di depan kamar mandi. Sebenarnya bukan hal itu yang aneh, melainkan percakapan mereka. 

“Bayinya sudah dibunuh,” gumamnya lirih. Kia berpindah posisi menyangga kepala dengan dua tangan, “kenapa kak Nia bicara seperti itu? dan sebenarnya apa yang kulihat ini?” Nia mengacak hijabnya, merasa frustasi dengan segala macam dugaan dalam pikiran. 

“Woy, kenapa pagi-pagi gini kayak orang mikirin utang negara?” ucap Shella yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya, Kia mengusap dada beberapa kali, melirik Shella dengan bibir cemberut. 

“Kaget ya? maaf,” kata gadis itu lagi, “habisnya kamu melamun, dan ngomong sendiri dari tadi, mikirin apa sih Ki? sampe nggak sarapan. Awas lo sakit perut, ogah aku ngerawat kalau kamu nggak jaga kesehatan kayak gini,” omelnya panjang lebar, Kia merasa bersyukur atas perhatian Shella, entah kapan terakhir kali ada yang mengingatkannya untuk menjaga kesehatan seperti ini. 

Ibunya telah meninggal dua tahun yang lalu, saat itu Kia sedang ujian kelulusan SMP. Sejak saat itu ia hanya tinggal berdua dengan ayah yang selalu sibuk bekerja, Kia sering kesepian, menjadi anak tunggal ternyata sangat membosankan. Dan kini, Shella menjadi yang pertama memberi perhatian padanya di tempat baru ini. 

“Shel, aku boleh tanya sesuatu nggak?” 

“Tentang apa?” 

“Kak Nia,” jawabnya yakin. 

Shella bergegas duduk, meletakkan tas di dalam laci bangku, lantas menyilangkan tangan di atas meja. “Dengan senang hati, tanya sepuasnya tentang kak Nia padaku Ki, kamu datang pada orang yang tepat,” jawabnya penuh semangat. 

Terpopuler

Comments

Valent Theashef

Valent Theashef

pa masa lalu nia buruk ya?

2024-03-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!