NovelToon NovelToon
Balas Dendam Si Pecundang

Balas Dendam Si Pecundang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Identitas Tersembunyi / Dendam Kesumat / Persaingan Mafia / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nurliana

kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perasaan

Pagi hari yang tenang, di ruang tamu rumah keluarga Zelena.

"…Ayah belum pulang dari rumah sakit. Sepertinya harus dirawat beberapa hari lagi. Tolong siapkan tiket untuk saya," ucap Kenzo pelan, berbicara di telepon dengan nada khawatir.

Dari arah tangga, suara langkah kaki terdengar ringan. Zelena, dengan seragam sekolahnya yang rapi, turun perlahan. Wajahnya cerah, namun matanya memperhatikan gerak-gerik kakaknya dengan penuh perhatian.

"Kakak mau pergi? Urusan pekerjaan… atau ada hal lain?" tanyanya, suaranya lembut namun menyiratkan rasa cemas.

Kenzo tersenyum kecil. Ia mengusap kepala adiknya dengan sayang, lalu menatap tangan Zelena—sebuah cincin sudah melingkar di jari manisnya. Mata Kenzo sedikit berkaca-kaca.

"Mulai sekarang, belajar yang rajin ya, biar jadi orang sukses nanti."

Zelena hanya mengangguk pelan. Ia tahu, bukan hanya ayahnya yang sedang tertekan karena urusan bisnis, tapi juga Kenzo. Dan ia, sebagai adik, tak ingin menjadi beban lagi.

"Aku berangkat dulu, Kak…" ucapnya lembut.

Kenzo tak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah adiknya dalam-dalam, seolah ingin mengabadikan momen itu. Lalu, dengan suara nyaris bergetar, ia berkata:

"Iya… Kakak yakin, semuanya akan berjalan lancar."

Zelena mengangguk dan melangkah pergi. Air mata Kenzo jatuh perlahan, namun segera ia hapus, menyembunyikannya dengan senyuman tipis.

Di luar rumah, Leon sudah menunggu di samping mobil. Wajahnya datar seperti biasa, namun matanya memerhatikan setiap gerak Zelena dengan seksama.

"Kenapa menatapku seperti itu? Bedakku berantakan ya?" Zelena meraba pipinya gugup.

Leon tersenyum tipis. "Tidak… kau sudah cantik. Hanya saja, di kepalamu… pasti ada banyak hal yang sedang kau pikirkan." Ia membuka pintu mobil untuknya dengan sopan.

Zelena menatap Leon sejenak. "Setelah pulang sekolah… bisakah kita bicara? Ayah bilang, kita harus mulai mencari rumah baru. Tapi…"

Leon mengangguk pelan. "Tenang saja. Aku akan tetap di sini sampai kamu lulus. Setelah itu, kita bisa pindah, bersama."

Zelena menatap jari manis Leon. "Kau nyaman memakai cincin itu?"

Leon tersenyum, kali ini lebih lebar, lebih tulus. "Aku nyaman… bukan karena cincinnya, tapi karena orang yang memberikannya."

Deg...

Jantung Zelena berdebar. Ia segera masuk ke mobil tanpa berkata-kata lagi. Ini bukan dirinya. Ia tak seharusnya merasa seperti ini. Bukan pada Leon. Tapi… mengapa?

*

*

*

Di halaman sekolah, matahari pagi menyinari pagar besi dan pepohonan yang mulai berbunga.

Leon kembali membuka pintu untuknya. "Selamat belajar, tuan putri," ucapnya dengan nada menggoda dan senyuman andalan yang mampu membuat siapa pun gugup.

Zelena memandang sekeliling, lalu berbisik tergesa, "Jangan bersikap seperti ini. Kita hanya teman. Ingat itu."

Leon menunduk, lalu mendekat sedikit. "Teman… tidak saling mencium, kan?" bisiknya.

Zelena tersedak, "Ehem!" Batuknya dibuat-buat, ia menoleh kiri-kanan dengan panik, lalu buru-buru berjalan masuk ke sekolah.

Di koridor sekolah yang ramai, dua sahabatnya, Amira dan Tama, menghampirinya.

"Zelena cantik, selamat pagi!" seru Amira dengan suara ceria dan aroma parfumnya yang khas.

"Pagi, Mir. Kalian bareng?"

"Iya, tadi kami mau ke rumah kamu juga. Tapi kata Kak Kenzo, kamu udah berangkat duluan," ujar Tama santai.

Amira memperhatikan tangan Zelena lalu terbelalak. "Zel! Itu cincin baru ya?"

Zelena gugup, lalu memindahkan cincin dari jari manis tangan kanan ke tangan kirinya. "Salah pakai, harusnya di kiri, ya?" katanya sambil tersenyum canggung.

"Iya Zel, astaga… aku lupa PR! Aku ke kelas duluan ya! Tama, nanti pulang bareng!" Amira langsung berlari.

Zelena melambaikan tangan.

Namun…

"Zel, kita harus bicara. Sekarang," ujar Tama dengan wajah serius. Ia berjalan cepat ke arah taman belakang sekolah, dan Zelena mengikuti, mengira itu hanya percakapan biasa.

Taman belakang sekolah, angin sejuk menyapu rambut panjang Zelena.

Tama berdiri tegak di bawah pohon besar, menatap Zelena dengan wajah yang sulit dibaca.

"Zel, jawab jujur. Itu cincin dari siapa?" suaranya tenang, tapi nadanya penuh tekanan.

Zelena tertawa kecil, mencoba bersikap biasa. "Apa sih, Tam. Ini cincin aku. Salah pakai aja tadi."

Tama menatap tajam. "Aku tahu semua koleksi cincin kamu, Zel. Kamu gak pernah beli tanpa aku. Sekarang, jujur."

Zelena menarik napas panjang. "Tama, ini cuma cincin biasa. Gak semua barang aku harus bareng kamu, kan?"

Tama terlihat semakin terluka, tapi matanya masih menatap lurus ke arah Zelena. "Kita sahabat dari kecil, Zelena. Justru karena itu aku tahu kamu sedang berbohong."

Zelena mulai merasa kesal. "Justru karena kita sahabat dari kecil, kamu harusnya percaya sama aku."

Tiba-tiba, Tama melangkah mendekat.

"Jadi pacar aku.", ungkapan perasaan ini, sudah cukup lama Tama tahan, namun sekarang, sudah waktu nya bagi Zelena tahu perasaan nya,

Zelena membeku di tempatnya. Matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka, " Tama, kita sahabat, dan itu udah cukup lama kan? Jadi jangan hanya karena cincin biasa ini, kamu mikir yang aneh-aneh, sahabat lebih baik kan? " mencoba untuk membuat Tama mengerti,

"Kalau cincin itu memang gak berarti apa-apa, ayo… jadi pacar aku, Zel." Tama memaksa Zelena, karena memang tidak ada jawaban pasti dari nya

" Salah kalau aku pakai cincin ini? Aku kamu dan Amira, itu sahabat sejah dulu, gak mungkin kita pacaran kan? "

" Apa yang buat gak mungkin? Aku suka sama kamu, kamu tinggal jawab aja Zelena, kalau kamu nolak aku juga gakpapa kan? "

Zelena tidak bisa menolak ataupun menerima nya, karena dia adalah orang yang tidak bisa melihat orang lain tersakiti karena dirinya,

" Iya Tama, tapi persahabatan kita gak akan sama kayak dulu, kalau misalnya kita pacaran, semua nya beda Tama, gimana sama Amira? " Zelena masih belum bisa mengelak, Tama terus saja meminta mereka pacaran

" Kenapa kita harus mikir orang lain zel? ini antara aku dan kamu, kita pacaran juga cuman kita yang tahu kan? Orang lain gak akan tahu, kalau kita sama-sama mau, iya kan zel?

Zelena membeku, mendengar jawaban Tama,

Hening.

Burung-burung di pepohonan pun seakan ikut diam. Angin pun melambat, membiarkan waktu menahan napas.

"Zelena!" Tama berseru lagi.

Zelena akhirnya menjawab, pelan dan singkat, dengan mata yang masih menatap kosong ke arah Tama.

"Besok… aku kasih jawabannya."

Lalu ia berbalik, meninggalkan Tama sendirian di taman yang tiba-tiba terasa sunyi.

Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,

salam hangat author, Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!