Rumah Panti Anyelir

Pagi menyapa, hujan semalam menyisakan dingin menggigit dan kabut tipis yang seolah enggan pergi meski matahari telah tinggi. Ferdian kini berdiri di depan sebuah rumah dengan gaya arsitektur kuno era Belanda.

Rumah Panti Anyelir

Papan nama usang yang telah lapuk dimakan usia. Tiang penyangganya bahkan dipenuhi karat dan siap tumbang kapan saja. Sebuah motor butut melintas didepan Ferdian. Seorang lelaki berjaket hitam membawa tumpukan koran di bagian depan dan di bagian belakang ada kantong khusus tambahan untuk mengangkut barang lain.

Ferdian memperhatikan dari balik dimensi gaib. Ia membandingkan foto orang tua Tami dengan lelaki yang baru saja melewatinya.

"Lelaki ini mirip dengan foto hanya sedikit lebih tua." gumam Ferdian.

"Na, bisa bantu bawakan barang ke dalam?" teriak lelaki itu sambil melepas ikatan di motornya.

Sebuah bungkusan besar kardus yang terikat di belakang jok motor tampak sedikit menyusahkan. Tak lama dari dalam rumah seorang wanita berdaster, setengah berlari menyongsong lelaki itu.

"Kita dapat kiriman lagi, Mas?"

"Iya, Alhamdulillah. Donatur baru dari kota selalu kirim bahan makanan dan juga sedikit pakaian buat anak-anak panti." sahut lelaki berjaket itu dengan ekspresi bahagia

"Alhamdulillah, semoga rejeki orang baik selalu dilipat gandakan."

"Aamiiin, yuuk bawa ke dalam! Anak-anak pasti suka."

Keduanya bersama sama mengangkat dus besar yang kelihatannya cukup berat. Ferdian mengikuti mereka hingga masuk ke dalam rumah.

"Anak-anak panti kemana Na?"

"Ada di belakang, sedang olahraga bareng si Joni."

Ferdian membandingkan foto lawas keduanya dengan wajah mereka. "Hhm, mirip. Apa mereka benar orang tua Tami?"

Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. "Erna, Rangga, itu kiriman dari pak Samsul sekalian dimasukkan dalam lemari. Segera dibongkar aja bahan makanannya, takut ada yang rusak!"

Ibu tua itu duduk di sofa tak jauh dari kardus besar itu diletakkan. 

"Erna, Rangga. Yup, mereka orang tua Tami. Tapi kenapa mereka malah merelakan Tami diadopsi, sementara disini mereka justru mengurus anak lain?" Ferdian sedikit heran.

Tak lama berselang, derap langkah kaki terdengar bersahutan. Beberapa anak berusia sekitar delapan sampai sepuluh tahun bersaing untuk duduk di dekat wanita paruh baya itu.

"Lho udah selesai senam nya?"

"Sudah Bu Sae! Capek kita, pengen minum sama makan!" sahut anak bertubuh gempal.

"Kamu ini, pikirannya makan melulu." kata Erna dengan senyuman lebar tak lupa tangannya mencubit pipi anak gempal itu.

Obrolan mereka mengalir begitu saja, Ferdian bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan meski Rumah Panti Anyelir itu sederhana dan tak ada perabotan mewah. Keakraban yang terjalin jelas memperlihatkan hubungan anak-anak panti dan si pemilik sebagai satu keluarga utuh. 

Ferdian berkeliling mencari informasi lebih jauh. Memperhatikan setiap foto yang tergantung rapi di dinding. Ia tertarik dengan satu foto yang terdiri dari empat orang. 

"Ini kan … foto Asih? Yang disebelah ini siapa ya? Kalau yang dua jelas Erna dan Rangga."

Ferdian berpikir sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Kelihatannya aku tahu yang terjadi disini."

*

*

Bel rumah berbunyi tepat saat anak-anak panti makan pagi bersama. Erna bergegas ke depan membukakan pintu.

"Selamat pagi,"

"Pagi, bisa saya bantu pak?" Erna bertanya dengan sopan pada Ferdian.

Ferdian pun tersenyum, "Saya mencari ibu Erna dan pak Rangga. Apa betul mereka ada di sini?" 

"Iya betul, saya Erna mari silahkan duduk."

Setelah sedikit berbasa basi dan Rangga pun datang, Ferdian membuka suara tentang maksud kedatangannya.

"Saya membawa pesan dari keluarga Asih."

Keduanya pucat pasi dah saling menatap. "A-asih?"

"Asih saat ini dirawat di sebuah rumah sakit jiwa karena depresi." 

"Depresi, anaknya bagaimana?" tanya cepat Erna yang membuat Ferdian tersenyum dalam hati.

Erna sang ibu jelas mengkhawatirkan putrinya. 

"Tolong beritahu saya, dimana putrinya?" yanya Erna lagi dengan mata membayang.

"Seingat saya, tadi tidak mengatakan kalau anak Asih itu seorang putri?" Ferdian mengernyit berpura pura untuk memancing lebih jauh.

Rangga menggenggam tangan Erna, "Maaf tapi boleh saya tahu, apa hubungan bapak dengan Asih. Kami sudah lama tidak ada kontak dengan Asih maupun Erwin." Rangga menyela untuk memberikan Erna sedikit ruang menenangkan diri.

"Saya hanya seorang pengirim pesan. Sebenarnya saya kesini mewakili putrinya Tami dan membawa pesan darinya."

"Maksudnya bagaimana anda mewakili Asih dan putrinya begitu?"

Ferdian tersenyum, "Saya tahu anda berdua adalah orang tua asli dari Tami, putri Asih satu satunya." 

Lagi-lagi keduanya tersentak kaget, dan Ferdian kembali melanjutkan. "Dengan sangat menyesal saya harus mengabarkan ini. Putri anda, Tami telah meninggal lima belas tahun lalu. Tami tewas dalam kecelakaan kereta api di Trowek."

"Apa? Nggak bapak pasti salah! Putri kami baik-baik saja! Asih bilang dia menjaganya dengan baik, dia bahagia bersama Tami!" Erna mulai histeris dan memancing Bu Saedah pemilik panti untuk mendekat.

"Ada apa ini Erna, Rangga?"

Terpopuler

Comments

Mahesa

Mahesa

apa Erna dan Rangga ga pernah sekalipun mengunjungi Tami ?

kalau Erwin sudah meninggal dan Asih masuk rumah sakit jiwa, secara otomatis mereka lost kontak. tidak curigakah Erna dan Rangga tentang tidak adanya kabar selama lima belas tahun ?

2024-04-29

0

Kiki Rizkia Apriliani

Kiki Rizkia Apriliani

masa bgtu saja lost kontak sama anak sndiri, sm anak org aja baik bgtu

2024-05-01

0

Ali B.U

Ali B.U

.next

2023-08-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!