Kecurigaan Ferdian

Ilham menatap penuh tanya pada Ferdian yang masih diam tak menjawab. Ia sungguh tak mengerti maksud Ferdian.

"Maaf pak bisa dijelaskan lagi maksud bapak gimana? Jadi bapak saya ini berhutang apa malah punya piutang?"

Ferdian tersenyum, remaja yang sedang duduk di depannya ini memang cerdas terlihat dari perilaku dan caranya berbicara.

"Begini, jadi,"

"Assalamualaikum, Ham! Ibu butuh beras nih sama minyak ada?" 

Kalimat Ferdian terputus dengan kehadiran pelanggan, ia pun berhenti dan memperhatikan Ilham yang dengan sigap melayani.

"Maaf pak, sebentar ya?" 

Ilham meminta pengertian Ferdian disela melayani pembeli, tidak hanya satu tapi beberapa. Ferdian mengulas senyum saat Beberapa ibu muda menatapnya dengan penuh gairah. Ia memang dalam posisi bisa terlihat manusia lain selain Ilham. Jadi wajar jika para pembeli Ilham bisa melihat ketampanan wajahnya dengan jelas.

"Ham, siapa itu? Kok saya baru liat!" tanya ibu muda yang masih terus memandang Ferdian.

Ilham menoleh ke arah yang dimaksud ibu muda tadi. "Oh, temannya bapak, Bu Ina. Baru datang tadi."

"Oh temen bapak kamu, cakep ya Ham? Udah punya istri belum?" Ibu yang lain ikut penasaran.

"Waduh saya nggak tahu Bu Rasti, wong pak Ferdian baru aja datang. Belum ngobrol banyak, mau ngobrol ibu-ibu datang." sahut Ilham kalem.

"Namanya Ferdian? Cakep yak kayak orangnya dah, bening!" Bu Ijah yang sedari tadi hanya ber-oh ria akhirnya ikut bicara.

Ferdian tersenyum, ia menggelengkan kepala. Sepertinya menjadi kurir memiliki anugerah tersendiri untuknya. Muda, tampan, memiliki segalanya. 

Aah, andai saja Ferdian bisa menggunakannya dengan bebas di dunia manusia bisa dipastikan dirinya akan memiliki banyak wanita. Uuups!

Ferdian menunggu Ilham selesai melayani para pembeli. Selain menyediakan gas dan air isi ulang, toko pak Hadi yang diwariskan pada Ilham juga menyediakan sembako dan kebutuhan harian lainnya. Tokonya terbilang cukup besar, dan untungnya Ilham kerap membantu sang ayah semasa hidup jadi Ilham paham segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan jual beli.

"Maaf pak, mau tambah lagi minumnya? Biar saya buatkan teh atau kopi."

"Kopi boleh deh."

Ilham mengangguk, ia masuk ke dalam rumah sebentar dan tak lama kemudian membawa secangkir kopi untuk Ferdian dan secangkir lagi untuknya.

"Kamu nggak capek pulang sekolah harus melayani dan berjaga di toko begini?" 

"Capek sih, tapi saya nggak boleh ngeluh. Kalau nggak begini saya sekolah pake uang apa pak? Sudah bersyukur bapak meninggalkan saya yang sebatang kara ini dengan toko yang lumayan besar." Mata Ilham membayang.

Ferdian tersenyum masam menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis. "Tadi siapa yang keluar bawa kendaraan?"

"Itu mas Badri, saya minta bantuan dia buat antar barang. Saya nggak punya SIM pak jadi minta bantuan dia untuk nganterin pelanggan jauh."

Ferdian mengangguk, ia kembali menyalakan rokoknya. "Kamu kangen bapakmu?"

Ilham seketika berhenti menulis, ia menghela nafas berat sebelum akhirnya menjawab dengan lirih. 

"Jangan ditanya kangennya saya sama bapak. Bapak Itu segalanya buat saya. Beliau itu merangkap banyak hal, ya bapak, ibu, sekaligus kakek buat saya. Saya kesepian tiap malam karena biasanya saya sama bapak suka bercerita dulu menghabiskan waktu sebelum kami tidur."

Sosok Pak Hadi muncul terpantik ikatan batin Ilham padanya, menangis haru. Ia berdiri tak jauh dari Ilham duduk. Mengusap puncak kepala bocah itu meski tangannya hanya dapat menyentuh ruang hampa. Pak Hadi tak bisa menyentuhnya, belum. Thomas belum mengijinkan pak Hadi untuk bersentuhan dengan Ilham.

Ferdian menatap haru adegan bapak dan anak di depannya itu, ia merindukan Agung. 

"Nggak perlu ditangisi takdir terkadang berjalan berbanding terbalik dengan keinginan manusia. Selalu ada makna dari sebuah musibah."

Ilham mengusap air mata yang menggenang di sudut mata. "Iya pak, saya sudah ikhlas. Biar bapak juga tenang disana. Masalahnya siapa pembunuh bapak belum juga ditemukan. Saya nggak habis pikir kenapa lama sekali polisi bekerja."

"Sudahlah, serahkan sama pihak kepolisian saja. Tapi saya penasaran apa ada yang kamu curigai?"

Ilham berpikir sejenak, remaja itu kemudian bercerita pada Ferdian tentang kemungkinan siapa pembunuh ayahnya. Ia juga bercerita pada Ferdian dimana dia berada saat kejadian berlangsung.

 Satu panggilan dari konsumen membuatnya harus mengantarkan beberapa galon air isi ulang dan gas. Tapi yang mengherankan saat Ilham pergi ke alamat tersebut, yang ada hanya rumah kosong tak terawat yang hampir roboh. Ilham yang kebingungan menghubungi nomor pemesan tapi yang didapat hanya suara operator.

"Dimana rumah itu?" 

"Sekitar tiga blok dari sini pak, rumahnya sebelahan sama rumah gedong pak Nawawi, camat setempat."

Ferdian menganggukkan kepala tanda mengerti. Ilham kembali bercerita tentang kecurigaannya pada dia orang yang juga bekerja di rumah, Badri dan Bu Arum.

"Bapak pernah cerita mas Badri kepergok kaya maling tempo hari dan Bu Atun juga pernah pinjam uang ke bapak tapi nggak dikasih. Pas bapak meninggal Bu Atun sudah izin dua hari."

Tak lama setelah Ilham berbicara, datanglah seorang wanita berusia tiga puluh tahunan. Wajahnya cukup cantik hanya saja kecantikannya itu tertutup dengan wajah kusam dan lelah.

"Maaf mas Ilham saya telat, ngurusin si kecil dulu."

"Ya Bu, minta tolong rumah diberesin sama masak buat makan malam." Senyum tak lepas dari bibir Ilham.

Ferdian menangkap pergerakan tak biasa dari wanita bernama Atun itu. Aura gelap juga terlihat mengikuti Bu Atun.

"Sudah lama dia kerja disini?" tanya Ferdian setelah Bu Atun masuk.

"Sekitar tiga tahunan, dulu orangnya ramah tapi setelah menikah lagi dia jadi pendiam. Bapak kadang liat Bu Atun nangis sendiri pas kerja."

'Sepertinya aku harus memperhatikan keduanya dari sisi lain. Keduanya sama-sama memiliki motif kuat untuk membunuh.'

Setelah berbicara panjang lebar, Ferdian pamit undur diri. Ia berjanji akan datang esok hari. Mengurus semua hal yang berkaitan dengan utang piutangnya.

Malam mulai menjelang, Badri datang dengan tabung dan galon kosong di bak belakang. Ilham menyambutnya dan membantu menurunkan muatan ke dalam toko.

"Ini uangnya Ham, maaf kemalaman tadi aku pulang dulu karena anakku rewel."

"Oh ya mas makasih, rewel kenapa mas demam lagi?" tanya Ilham sambil menghitung uang yang diberikan padanya.

"Iya, aku juga heran udah seminggu kok demamnya naik turun terus." 

Badri mendekati lemari pendingin dan mengambil satu botol minuman dingin yang ditenggaknya cepat. Ia memperhatikan Ilham sejenak lalu dengan cepat tangannya mengambil beberapa lembar uang dari laci meja. Begitu cepat hingga Ilham tak curiga sama sekali. 

Ferdian tersenyum mengejek, ia ada dibalik tabir dimensi memilih tak terlihat untuk memantau Badri dan Bu Atun.

"Huh, berlagak malaikat berhati busuk!"

"Udah pas uangnya? Kalo udah aku pamit dulu Ham, besok selepas shift siang aku kesini lagi."

"Uangnya pas kok, makasih mas udah bantuin saya. Ini upah hari ini, sekalian ini ada ada sedikit buat bantu berobat dek Ami."

Ilham menyelipkan sejumlah uang lebih pada Badri, lelaki itu awalnya menolak tapi kemudian ia menerimanya karena Ilham memaksa.

Ferdian berdecak kesal, melihat tingkah Badri yang memuakkan baginya. "Dasar licik! Ada manusia model begini, dibantu malah tak tahu diuntung!"

"Mas Ilham, saya pulang dulu ya. Itu ungkepan ayam sudah saya simpan di box putih dalam kulkas, kering kentang sama teri kacang sudah di toples mas." Bu Atun keluar dari rumah sambil membawa pakaian Ilham yang akan disetrika.

"Ya Bu makasih, udah bawa lauk buat dirumah Bu?" tanya Ilham tanpa melihat pada Bu Atun.

"Udah mas, makasih. Saya pulang dulu mas."

"Eh Bu tunggu, ini untuk ibu."

Ilham mengulurkan amplop putih pada Bu Atun. Wajah Bu Atun seketika berubah, ia menatap remaja pria itu. Matanya membayang tapi dengan cepat bu Atun menyahut. 

"Makasih mas," Bu Atun melangkah cepat dan menghilang dalam gelap malam.

Ilham memandang wanita muda yang kini menghilang ia menghela nafas sambil menggelengkan kepala.

"Bu Atun aneh bener, kenapa bapak selalu memberinya uang setiap tanggal tertentu."

Ferdian ikut dibuat heran dengan hal itu, ia menatap buku besar yang masih terbuka lebar di meja Ilham. Ia terkejut dengan keterangan jumlah yang diberikan.

"Satu juta? Itu cukup banyak, mencurigakan. Ada apa sebenarnya antara Bu Atun dan pak Hadi." 

 

Terpopuler

Comments

Ardianovich

Ardianovich

dasar lengan panjang

2024-04-28

1

Mahesa

Mahesa

Bu Atun atau Bu Arum ?

2024-04-26

0

Mahesa

Mahesa

menatap dengan penuh gairah ?? hmmm .. ingat pada suamimu wahai para ibu.

2024-04-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!