Bingo!

Ferdian membuka tabir dimensi ruang, ia mengikuti Bu Atun terlebih dahulu karena dianggap lebih banyak menyita rasa ingin tahunya. Bu Atun berjalan cepat menembus malam melewati jalan setapak sepi. Tiba di sebuah rumah yang hanya diterangi satu bohlam kecil, ia berdiri dalam diam sesaat. 

Ferdian bisa melihat dengan jelas keraguan dan ketakutan yang menyelimuti Bu Atun. Tangan Bu Atun mengepal kuat di samping tubuhnya, sudut bibir turun dan sesekali ia menarik nafas dalam.

"Sesuatu dalam rumah itu membuatnya gelisah."

Ferdian menatap ke arah rumah, penasaran dengan apa yang ada di dalam sana. Ia kembali membuka lorong dimensi dan menembus masuk ke dalam rumah. 

Matanya terbelalak, "Apa ini?! Angin ribut dalam rumah?!"

Piring yang hancur berkeping-keping, sofa yang tercabik-cabik, kursi kayu yang mengitari meja makan tak karuan letaknya, begitu juga dengan pakaian yang tercecer dimana mana. Belum lagi makanan yang berhamburan di lantai, benar-benar kacau dan kotor.

"Siapa yang melakukannya?! Pantas saja Bu Atun enggan masuk."

Ferdian kembali berjalan dan menemukan seorang lelaki tengah tertidur pulas. Dari bau tubuhnya Ferdian yakin jika lelaki itu jarang mandi. Sementara tak jauh dari lelaki itu tidur, seorang anak kecil meringkuk ketakutan di sudut kamar. Matanya menatap nanar ke arah lelaki yang tengah mendengkur keras itu.

Suara pintu dibuka, Bu Atun jalan berjingkat menghindari pecahan beling dari piring. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya memunguti satu persatu pecahan piring yang membahayakan itu. Kegiatannya terhenti saat ia mengingat gadis kecilnya.

"Naira!"

Ia bergegas mencari gadis kecil kesayangannya, saat mata sayu Bu Atun menangkap sosok anak kecil di sudut kamar, ia segera memeluknya.

"Naira, maafin ibu ya sayang. Bersabarlah sebentar lagi nak. Kuatkan hatimu," ucapnya getir saat memeluk dan mengusap lembut rambut putrinya itu.

"Naira takut Bu, bapak Aji jahat! Naira takut!"

Tangis keduanya pecah namun tertahan karena tidak ingin membangunkan lelaki bernama Aji itu. Sungguh bukan hal seperti ini yang diharapkan Bu Atun saat menikah dengan Aji. Harapannya pupus seiring waktu yang menggerus cinta Aji pada Atun.

Ferdian menarik nafas dalam-dalam, ia tak kuasa menahan emosinya.

"Bukan dia pembunuh saya mas, saya yakin!"

"Kenapa pak Hadi bilang begitu? Oh ya, saya penasaran, kenapa bapak selalu memberinya uang untuk Bu Atun?"

Pak Hadi diam tak menjawab, ia menatap Bu Atun dengan sedih. "Karena dia, ibu dari Ilham."

"Apa?! Gimana bapak bisa tahu dia ibunya?"

"Saya mendapati Bu Atun selalu memperhatikan Ilham dari jauh. Ia juga sesekali membuntuti Ilham memastikan jika Ilham pergi ke sekolah. Awalnya saya tidak curiga tapi ia terlalu sering muncul di belakang Ilham dan kerap berbelanja di toko jika Ilham sedang berjaga."

"Saya membuntuti dan mengajaknya bicara, kemiripan wajah dan tingkah laku membuat saya yakin kalo Bu Atun adalah ibunya Ilham. Tadinya dia mengelak dan selalu menghindar hingga suatu hari dia datang dengan muka lebam dan meminta pekerjaan pada saya. Saat itulah saya mendapatkan jawaban, jika Bu Atun, ibu kandung Ilham. Ia datang dan menyesal telah membuang Ilham, tapi melihat Ilham telah bahagia bersama saya, ia urung untuk menyapa."

"Kisah yang cukup menyedihkan, lalu uang itu?"

Pak Hadi menoleh ke arah Ferdian, "Membayar hutang si brengsek tak berguna itu! Sejak di PHK dari pabrik sepatu si Aji dungu itu hanya mabuk mabukan dan berjudi saja kerjaannya. Menyiksa Bu Atun dan Naira. Saya nggak tega, bagaimana pun Ilham sudah saya anggap anak sendiri itu artinya Bu Atun patut saya lindungi."

Ferdian terkejut dengan pernyataan pak Hadi, lelaki paruh baya di sebelahnya itu sangat berbaik hati sungguh tak adil ia harus tewas mengenaskan.

"Baiklah jika menurut bapak itu bukan dia, kita ke rumah Badri!"

Lorong dimensi ruang dan waktu kembali terbuka, Ferdian melangkah masuk meninggalkan roh pak Hadi yang masih ingin berlama lama di rumah Bu Atun.

Badri tersenyum lebar melihat lembaran uang yang diselipkan Ilham tadi ditambah dengan hasil curiannya. Sambil menghisap rokoknya yang tinggal setengah Badri berceloteh.

"Dasar bocil, polos bener gue kadalin! Sama kayak bapaknya, cukup pasang wajah memelas dan sedih keluar dah duit! Timbang nganterin gas sama galon air doang gue dapet empat ratus ribu! Untung gede hari ini!"

Ferdian menatap geram, ia duduk dihadapan Badri. Ingin rasanya memberi pelajaran pada manusia licik seperti Badri tapi ia menahan diri. Ia harus menggali informasi tentang kemungkinan pembunuh pak Hadi. Waktunya tidak banyak, hanya tiga hari dan besok adalah hari terakhir. Pak Hadi harus menaiki kereta menuju terowongan kematian jika tak ingin rohnya hancur dan tak bisa melanjutkan putaran kehidupan.

"Mas, ini kopinya!" Istri Badri meletakkan cangkir kopi di depan suaminya yang masih menikmati rokoknya.

"Cck, kamu uang darimana sebanyak ini? Nyolong lagi mas?!" Istri Badri tampak sangat kesal.

"Denger ya mas, aku nggak ikhlas kamu kasih aku makan dari duit nyolong gini! Tobat mas, nggak baik diteruskan!"

"Apaan sih, udah diem aja! Yang penting kan kamu sama anakmu bisa makan! Urusan dosa biar tanggungan gue!"

"Heh, enak men tanggungan kamu! Ya tanggungan kita semua! Aku sama anakmu ikut kena getahnya makan duit nyolong begini, haram mas! Bisa penyakitan aku kalo gini terus!"

"Berisik! Lu diem aja kenapa jadi bini, kebanyakan permintaan sih bikin gue puyeng aja?!" balas Badri tak kalah kerasnya.

Ferdian berdecak, jika saja tidak ada istri Badri sudah dipastikan dirinya bakal muncul tiba-tiba di depan lelaki beraura gelap itu.

"Permintaan apaan mas, dasarnya aja kamu yang kurang kasih duit ke aku! Dahlah malas aku ngomong sama kamu, mending aku kerja aja cari duit halal! Nggak sudi aku terima duit kamu!"

Istri Badri beranjak pergi kedalam meninggalkan suaminya yang bergumam kesal sendiri. "Dasar, punya bini ngomel aja kerjaannya untung aja gue demen coba kalo kagak udah cari tuh si Maryam janda bahenol sebelah!"

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan Badri masih asik memasang judi bola melalui ponselnya. Suara teriakan dan umpatan meluncur deras dari bibirnya yang kehitaman. Ferdian tak tinggal diam, ia membuka tabir yang menutupi dirinya dan muncul begitu saja di depan Badri.

"Apa masih belum cukup melakukan dosa hari ini?!"

Kemunculan Ferdian secara tiba-tiba itu membuat Badri terkejut, ia ketakutan karena jelas-jelas pintu rumah sudah terkunci dan anak istrinya telah tertidur lelap.

"Si-siapa lu?! Se-setan!"

Ferdian mendekat dengan cepat, mencengkram kaos yang dikenakan Badri.

"Harusnya kau malu dengan perbuatanmu! Ilham dan pak Hadi sudah berbuat banyak untukmu tapi kau malah menipunya! Menjijikkan sekali!"

"A-ampun tolong lepasin gue!"

"Apa kamu juga membunuh pak Hadi? Katakan padaku!" Ferdian menghardik dan menatapnya tajam hingga Badri ketakutan setengah mati.

"Ampun bang, ampun gue salah bang please jangan bikin mati gue bang. Gue mau tobat!" sahutnya gemetaran.

"Jawab! Kamu bunuh pak Hadi demi uangnya?!"

"Nggak bang, sumpah! Saya emang tukang nyolongin duit dia tapi buat ngebunuh saya nggak berani bang. Demi Allah bang, bunuh semut aja kagak tega saya!" ujarnya memelas pada Ferdian.

"Kau bahkan tak pantas menyebut nama-Nya! Kamu curangi bocah yang sedang berjuang untuk hidupnya bahkan kamu tega ambil hak dia yang bukan milikmu!"

"Ampun bang, ampun! Saya janji besok nggak akan ngulangin lagi bang! Tapi beneran bang jangan laporin saya ke polisi, sumpah bang saya nggak ngebunuh pak Hadi. Saya malam itu cuma liat ada lelaki masuk ke dalam rumah pak Hadi, pas saya mau nyuri uang di laci."

"Saya pikir itu saudara pak Hadi, eh nggak tahunya besoknya pak Hadi ditemuin sudah mati."

"Kamu kenal orang itu?!"

"Saya nggak kenal bang tapi badannya bau miras dan … ohya, Bu Atun! Bu Atun abis itu datang ke rumah terus keluar lagi!"

"Kamu yakin, kamu nggak bohong?"

"Nggak bang sumpah bang, orang saya sembunyi ngejogrok di depan pager, dibalik taneman!"

Ferdian menatap ke dalam mata Badri dia berkata jujur. Ia pun melepaskan cengkeramannya. Badri langsung melangkah mundur dengan takut.

"Kalau seandainya kamu ketemu lagi sama orang itu apa kamu bisa mengenalinya?"

"Bisa bang, bisa!" sahutnya cepat.

"Bagus, sekarang bawa aku ke orang itu!"

Kekuatan Ferdian meluap, ia meraih tangan Badri dan seketika mereka pun berpindah tempat. Ferdian berdecak kesal tapi juga tak heran saat mereka kembali ke rumah Bu Atun.

"Bingo!"

 

Terpopuler

Comments

Mahesa

Mahesa

pembunuhnya adalah suami Bu Atun.

2024-04-26

0

Mahesa

Mahesa

berarti konsep ceritanya adalah kepercayaan tentang adanya reinkarnasi .

2024-04-26

0

Ali B.U

Ali B.U

next.

2023-07-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!