Louise dan Kesepakatan

Ferdian terbangun saat suara sirine kereta berbunyi sangat keras. Ia terkejut dan berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Mengedarkan mata ke sekeliling dan mendapati dirinya berbaring di kursi panjang dalam ruangan tunggu khusus masinis.

"Kopi mas?" Dimas mengulurkan segelas kopi dalam cup kecil padanya.

"Mas tidur disini semalam? Nggak pulang?" Dimas bertanya lagi sambil meniup kopi yang masih mengepulkan asap tipis.

"Nggak, lagipula aku nggak ada tempat pulang. Mia sama Agung masih dirumah sakit." jawab lirih Ferdian dengan tatapan kosong.

Dimas mengulurkan bungkus rokok pada Ferdian. "Thanks,"

"Udah hubungin keluarga?"

"Belum, biarlah. Mereka juga nggak ada yang peduli sama keadaan istriku."

Ferdian menyalakan rokok dan menghisapnya dalam. Gurat kesedihan jelas terlihat di wajah lelahnya.

"Sabar mas, sarapan yuk. Kebetulan saya belum makan nih?"

"Saya nggak laper, Di. Kamu aja dulu."

"Mas, jagain Mbak Mia di rumah sakit juga butuh tenaga lho. Makan dulu biar nggak sakit."

Ferdian menatap Dimas sejenak, akhirnya ia mengikuti Dimas pergi ke sebuah warung makan tak jauh dari stasiun. Dimas berusaha mengalihkan pikiran Ferdian dengan membicarakan hal lain selain keluarga dan masalah pribadi. Ferdian sedikit terhibur dan senyum terlihat mengembang beberapa kali di wajahnya.

"Oh ya mas, pernah denger ada kereta hantu nggak? Kabarnya sih sering keliatan di jalur Jakarta Manggarai."

Ferdian menghentikan makannya, "Kereta hantu?" tanyanya dengan hati-hati.

"Iya, kabarnya juga beberapa malam ini terlihat di jalur kita. Kata beberapa pengawas, sinyal perlintasan berbunyi di malam hari, pintu perlintasan juga turun tapi nggak ada kereta sama sekali yang lewat."

Dimas menceritakan lagi keanehan lain yang baru terjadi semalam. Ada yang mendengar suara kereta api dengan lampu sorot tajam hendak melintas, warga sekitar dan pengguna jalan segera berhenti karena pintu perlintasan juga tertutup, tapi ditunggu hingga lima belas menit tak ada satupun kereta melintas.

Warga sekitar yang kebingungan sampai harus memastikan sendiri dengan memeriksa jalur rel. Tak ada tanda-tanda kereta melintas. Hingga akhirnya mereka beramai ramai menaikkan pintu palang perlintasan.

Ferdian terhenyak, semalam ia masih mengingat jelas pertemuannya dengan lelaki keturunan Eropa bernama Thomas. Mereka melakukan perjanjian dengan memakai darahnya, dan Ferdian telah resmi menjadi Kurir Kematian. Masinis muda itu menatap ibu jarinya, masih terasa nyeri saat ia sedikit menekan.

"Ini bukan mimpi," gumamnya lirih tak mengalihkan perhatian dari tangannya.

"Apanya mas?"

"Eh, bukan apa-apa? Ehm, Di … aku pulang dulu ya, mau liat Mia sama Agung." Ferdian merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar makanannya.

"Nggak usah mas, biar saya yang bayar. Kebetulan hari ini ulang tahun saya." Cegah Dimas cepat.

"Lho kamu ulang tahun? Wah kok nggak bilang sih." Ferdian kembali memasukkan lembaran biru itu ke dalam dompetnya.

"Iya mas, udah mas Ferdi ke rumah sakit aja. Kasian mbak Mia." Sahutnya dengan senyum.

"Thanks Di, aku pergi dulu."

Ferdian menepuk bahu Dimas, asistennya itu menatap punggung Ferdian hingga menghilang. "Semoga Allah kasih kamu jalan keluar dari kesulitan mu mas, aku cuma bisa bantu doa."

Ferdian dengan tergesa berjalan menuju parkiran khusus karyawan dan mengambil sepeda motor miliknya yang sudah menginap disana dua malam. Ia melajukan motornya dengan hati tak karuan, Ferdian harus memastikan kondisi Mia, sebelum Thomas akan menjemputnya.

"Kalau sampai laki-laki itu bohong, aku nggak akan segan buat perhitungan! Nggak peduli dia setan, hantu, atau jin sekalipun!" gumamnya menarik gas motornya dalam-dalam.

Setibanya di rumah sakit, Ferdian bergegas menuju ruangan tempat Mia dirawat. Tapi apa yang terjadi sungguh mengejutkan, Mia dan Agung yang semalam ia lihat masih ada disana menghilang tanpa tahu di mana mereka berada kini. Ferdian yang kebingungan langsung menuju ke ruang perawat dan menanyakan di mana istri dan anaknya berada.

"Suster di mana pasien atas nama Mia Amalia? Bukannya dia dirawat di ruangan ini, tapi kenapa tidak ada? Apa sudah dipindahkan?"

"Bapak siapanya ibu Mia, kalau boleh saya tahu?" Tanya suster cantik itu sambil memeriksa daftar nama pasien yang ada.

"Saya suaminya, Ferdian!"

Suster itu segera memeriksa daftar nama pasien dan mencocokkannya dengan data mutasi pasien ke ruangan lain, ternyata Mia telah dipindahkan ke bagian VVIP.

"Ibu Mia sudah dipindahkan ke ruangan Melati Pak, ada di lantai empat."

"Ruang melati?"

Suster itu mengangguk,"Iya, seseorang memindahkan bu Mia tadi malam dan membayar lunas semua tagihan rumah sakit. Jika diizinkan oleh dokter yang merawat, mungkin bu Mia boleh pulang nanti sore." Terangnya lagi.

"Lu-lunas?" Ferdian bertanya lagi tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Iya lunas, bahkan ada kelebihan pembayaran. Nanti mungkin pak Ferdian bisa mengurusnya di bagian administrasi."

Ferdian bergegas naik ke lantai empat dan menemukan kamar perawatan Mia. Dengan hati tak karuan, ia masuk ke dalam.

"Mia,"

"Mas!" Mata Mia berkaca kaca melihat Ferdian.

Agung menghambur dan memeluk Ferdian erat, mereka saling berpelukan seolah begitu lama terpisah. Apa yang telah mereka lalui selama beberapa jam terakhir sungguh membuat trauma. Ferdian yang tak bisa berbuat banyak, Mia yang harus disiksa oleh para debt collector, dan Agung yang harus mengalami kekerasan mental dengan melihat sendiri bagaimana ibundanya disiksa.

Puas memeluk putranya, Ferdian beralih memeluk Mia. "Maafin papah, mah. Seharusnya papah ada disana melindungi kamu."

Bulir bening menetes di kedua mata pasangan suami istri itu. Ferdian mengusap lembut punggung istrinya dan tak henti mengecup puncak kepala. "Masih sakit?" tanyanya begitu mengurai pelukan.

Mia menggeleng, "Nggak, luka fisik nggak ada bandingannya dengan luka batin."

Ferdian merapikan anak rambut istrinya, lalu mencium kening Mia. "Tenanglah, mulai hari ini kita tidak akan lagi kekurangan dan aku bakal pastikan itu terjadi sama kamu juga anak kita."

Dari luar ruangan terdengar suara sepatu yang beradu dengan lantai, begitu nyaring menghiasi lorong rumah sakit yang sepi. Ferdian dan Mia saling memandang.

"Itu pasti dokternya, mereka bilang mamah bisa keluar hari ini."

"Syukurlah kalau begitu, mah. Lebih baik beristirahat di rumah daripada disini." ucap Ferdian diikuti anggukan Mia.

Pintu kamar terbuka, seorang wanita mengenakan pakaian kuning lembut dengan heels senada. Ia begitu cantik dengan rambut bergelombang yang membingkai paras berkulit putih bersih. Kedatangan wanita itu mengejutkan Ferdian dan juga Mia, mereka bingung dan saling memandang.

"Selamat siang tuan Ferdian," sapanya begitu formal.

Sapaan itu membuat Ferdian teringat sesuatu. Thomas juga berkata formal semalam, dahinya mengernyit berpikir tentang hubungan wanita cantik di depannya dengan Thomas.

"Anda siapa?"

"Saya Louise Anastasya, utusan tuan Thomas."

DEG!

Seketika jantung Ferdian berhenti berdetak. Matanya terbelalak mendengar nama Thomas disebut, "Dia nyata,"

Mia menoleh dan memandang Ferdian penuh tanya, "Siapa Thomas pah? Teman kerja baru?"

"Ehm, itu _," Ferdian bingung harus menjawab apa.

"Ya, tuan Ferdian adalah salah satu karyawan tuan Thomas. Saya disini mengurus semua keperluan dan kebutuhan tuan Ferdian." tukas Louise dengan cepat.

"Maksud dia apa pah?" Mia bertanya kebingungan, Ferdian gugup.

"Anda jangan khawatir nyonya Mia, semua baik-baik saja. Kami sudah mengatur semuanya untuk kebaikan anda dan juga Agung." Louise kembali menjawab

"Mari kita bicara diluar tuan Ferdian!"

"Kenapa tidak disini saja, biar aku juga ikut dengar apa yang kalian bicarakan." pinta Mia yang curiga dengan kelakuan suaminya hingga menatap wanita cantik itu tajam.

"Saya mengerti jika anda curiga, tapi sungguh tuan Ferdian dan saya harus bicara berdua." Louise menegaskan.

"Papah keluar dulu mah, ini penting. Kamu percaya ya sama papah, semua ini demi kebaikan kita."

Mia tak berdaya, ia pun pasrah dan membiarkan suaminya keluar bersama wanita cantik yang misterius itu.

"Ada apa?" Ferdian tak sabar bertanya pada Louise yang masih berjalan di depannya.

Louise berbalik, mereka saling berhadapan dan Louise menyerahkan amplop coklat besar tanpa banyak bicara. Ferdian membuka amplop, mendapati kunci dan juga sejumlah uang dalam pecahan kecil.

"Ini _,"

"Itu kunci rumah untuk tempat tinggal sementara tuan selama bekerja sebagai kurir, dan uang itu bisa digunakan tuan."

Ferdian menghitung jumlahnya, ia terkejut "Lima ratus juta?"

"Iya, apa masih kurang? Biaya rumah sakit dan semua hutang sudah terselesaikan. Anda tidak perlu lagi khawatir tuan. Begitu juga dengan tunggakan sekolah Agung."

"Semua? Saya nggak percaya?"

Louise menunjukkan tangkapan layar ponselnya yang memperlihatkan pelunasan hutang. Ia juga memberitahukan tentang penghapusan data akun Ferdian. Kini nama Ferdian bisa dipastikan tidak ada dalam database mereka.

"Katakan apa yang harus saya lakukan sebagai balasan? Tidak mungkin semua ini hanya dibalas dengan menjadi kurir Kematian bukan?"

Louise tertawa kecil, "Anda cukup cerdas tuan. Tentu, perkiraan anda tepat. Ini adalah hari terakhir anda diingat sebagai manusia."

Terpopuler

Comments

YuniSetyowati 1999

YuniSetyowati 1999

Ya Allah.Banyak Ferdian2 yg lain yg juga jd korban pinjol hingga tak jarang yg memilih maut.
Astaghfirullah

2024-04-30

0

FiaNasa

FiaNasa

artinya bentar lagi Ferdian meninggal.dong

2024-04-27

0

Kustri

Kustri

ya Allah ya Rob...
ditebus dgn nyawa

2024-04-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!