Misi Pertama

Ferdian menarik nafas panjang, ia tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Louise, wanita cantik bergaun kuning itu mengatakan jika ini adalah hari terakhirnya diingat sebagai manusia. Ia frustasi, tapi perjanjian telah dibuat dan Ferdian tak bisa mengingkarinya.

Louise mengingatkan padanya jika sedikit saja Ferdian berulah maka nyawa istri dan anaknya akan menjadi taruhan. Perjanjian darah tidak bisa diubah ataupun dibatalkan. Sekali terikat maka pelakunya harus menjalankan hingga akhir kontrak.

"Manfaatkan harimu dengan baik tuan Ferdian, kami akan menjemputmu untuk menjalankan tugas pada pertengahan malam. Ingatlah kami akan menemukanmu meski kau ingin pergi."

Perkataan Louise kembali terngiang, Ferdian tak bisa berbuat banyak. Ditatapnya lekat-lekat wajah istri dan putranya yang sedang bercanda dari balik kaca pintu. Ia tersenyum saat Mia tertawa dengan lepas. Agung putranya, mewarisi ketampanan wajah Ferdian. Putra semata wayang yang sangat ia sayangi. Bisa melihat senyum Agung adalah kebahagiaan terbesar Ferdian.

"Aku akan sangat merindukan kalian."

Ferdian pun memasuki kamar, diletakkannya amplop coklat pemberian Louise di pangkuan Mia.

"Apa ini mas? Mana wanita tadi?"

"Udah pergi." Ferdian meraih tangan Mia, "Kita sudah bisa pulang sekarang, tapi _,"

Ferdian ragu melanjutkannya, dan Mia semakin dibuat bertanya tanya.

"Tapi apa?"

"Kita pindah rumah, pergi dari sana dan memulai hidup yang baru."

Mia mengernyit, "Tapi kita nggak punya uang untuk sewa rumah mas, uang kita, tabungan, semuanya habis untuk bayar hutang."

Agung, putranya mengusap lembut punggung Mia. "Maafin Agung ya mah, pah." sesalnya dalam.

Andai kecelakaan tidak terjadi, andai Agung menuruti nasehat ibundanya, andai … ah, terlalu banyak pengandaian di kepala remaja berusia 13 tahun itu. Nasi telah menjadi bubur dan suratan takdir telah ditentukan sang pencipta.

Ferdian mengusap lembut kepala Agung. "Bukan salah kamu, Gung. Semua ini takdir. Kamu beresin baju mamah, kita pulang sekarang. Utusan Tuan Thomas sudah nungguin dibawah."

"Siapa sih Thomas mas, ada apa sebenarnya? Tolong jelasin sama aku?"

Ferdian tersenyum masam tak mungkin ia menceritakan segalanya. Pekerjaan baru yang akan dijalankan adalah rahasia yang harus dijaga. Tak ada yang boleh tahu siapa dirinya dan apa pekerjaannya sekarang. Dengan begitu nyawa kedua orang yang sangat ia cintai aman, begitu pesan Louise.

"Udah kamu jangan khawatir, tuan Thomas orang yang sangat baik. Takdir mempertemukan aku dan Thomas, dan dia juga yang menolong kita. Hanya itu yang perlu mamah tahu."

Mia ingin bertanya lagi tapi Ferdian memberi isyarat untuk berhenti, percuma mendebat Ferdian. Mia hanya ingin pulang dan tenang saat ini. Mia penasaran, ia membuka amplop yang tadi diletakkan Ferdian, matanya seketika terbelalak.

"Mas, ini _,"

Ferdian menoleh ke arah Mia, ia hanya tersenyum dan tak ingin banyak bicara.

"Simpan baik-baik, itu hadiah dari tuan Thomas."

"Sebanyak ini?" Mia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Iya, itu belum seberapa." Ferdian menghampiri Mia, membantunya turun dari ranjang. "Ayo kita pulang."

Mia sesekali menatap Ferdian tapi suaminya bungkam seribu bahasa. Tak ada yang bisa dilakukan Mia untuk memaksa Ferdian bicara. Suaminya bukan tipikal pria yang mudah berubah keputusan. Tapi sebagai istri Mia bisa merasakan ada yang disembunyikan Ferdian.

Sebuah mobil mewah menghampiri mereka di pintu masuk. Sang sopir turun dan membukakan pintu, "Silahkan tuan,"

Mia dan Ferdian saling menatap, "Ayo kita pulang."

Tanpa banyak bertanya lagi Mia menuruti suaminya, mereka duduk di kursi belakang sementara Agung duduk di depan. Ferdian terdiam sepanjang jalan, membayangkan apa yang akan menjadi tugas pertamanya malam nanti. Sementara Mia gelisah, ia memperhatikan jalanan yang jelas bukan menuju ke rumah mereka.

"Mas, kita kemana?"

"Tempat yang baru." jawab Ferdian singkat.

"Sekolah Agung gimana pah?"

"Kamu masih bisa sekolah dari sini, jaraknya juga nggak terlalu jauh." sahut Ferdian tak yakin, jujur saja ia sebenarnya tak tahu akan dibawa kemana mereka.

Mobil mewah itu memasuki halaman sebuah rumah sederhana nan asri. Ferdian dan Mia sontak terperangah. Mereka saling memandang. Rumah itu persis seperti apa yang mereka impikan.

"Silahkan tuan, ini rumah baru anda. Tuan Thomas berharap anda dan keluarga bisa menerimanya. Saya akan datang lagi nanti malam. Selamat beristirahat." Pria berkemeja putih itu pamit undur diri.

"Ehm tunggu, motorku tertinggal di rumah sakit, bisakah _,"

"Tentu tuan, kami sudah mengurusnya untuk anda." Lelaki yang kira-kira berusia 35 tahun itu akhirnya pergi.

Mia menatap suaminya meminta penjelasan. "Ada apa ini mas?"

"Kita masuk ke dalam."

"Nggak, kamu harus jelaskan sesuatu dulu! Siapa Thomas? Terus kenapa dia kasih kita hadiah segini banyak?"

Ferdian menarik tangan istrinya, ia tak ingin berdebat di depan rumah. Meski Mia protes keras Ferdian bergeming.

"Mia, dengar aku baik-baik. Aku mendapatkan semua ini karena aku bekerja pada tuan Thomas sekarang."

"Mas berhenti kerja?"

"Hhm, tidak sepenuhnya berhenti. Aku cuma, ehm … pindah bagian." sahutnya berbohong.

"Pindah bagian dapet segini banyak?" Mia meragukan ucapan suaminya.

"Iya begitulah. Udah nggak usah banyak tanya. Mau makan apa sekarang?"

Ferdian berusaha mengalihkan pertanyaan Mia. Mereka berkumpul diruang tengah berbagi cerita tentang kejadian pilu yang baru dialami keluarga kecil itu selama beberapa hari terakhir. Hati Ferdian teriris sembilu saat mengetahui tak ada sanak saudara yang datang membantu istrinya.

Ia marah, geram, kecewa dan juga sedih. Tapi tak ada yang bisa dilakukan, Ferdian bertekad memberikan hidup yang layak setelah ini. Waktu cepat berlalu, kebersamaan Ferdian dan keluarganya mulai menipis.

'Rasanya berat berpisah, tapi aku sudah menyanggupinya dan demi mereka, aku siap melakukan apa saja.'

Ferdian menatap kedua orang yang disayanginya yang telah tertidur lelap. Ia bersiap mengenakan dasi hitam, merapikan pakaian masinisnya. Jam berdentang dua belas kali. Hawa aneh beraura mistis mulai menekan lingkungan sekitar rumah Ferdian.

Masinis muda itu menunduk dan memejamkan mata, duduk dalam gelap di ruang tamu. Ia memantapkan hati untuk melakukan perjanjian darah bersama Thomas. Atmosfer aneh yang terasa menekan semakin pekat terasa.

"Waktunya tiba,"

Ferdian berdiri, menatap kamar tempat istri dan anaknya beristirahat. "Aku pergi, jaga diri kalian baik-baik."

Mobil mewah sudah menanti Ferdian di depan rumah, ia mengenakan topi masinis hitam miliknya, menoleh sekali lagi ke arah rumah dan menghela nafas berat.

"Aku akan sangat merindukan kalian." ucapnya sekali lagi sesaat setelah ia duduk di dalam mobil.

"Kita pergi tuan, tuan Thomas sudah menunggu."

Mobil melaju cepat menuju ke stasiun, terlalu cepat hingga Ferdian sama sekali tak merasakan laju kendaraan. Mereka tiba tepat disaat suara mesin uap berbunyi. Kabut tipis menyelimuti stasiun, temaram lampu peron semakin menambah aura tak biasa yang menekan siapa pun disana. Waktu membeku di sekitar mereka, Ferdian berjalan memasuki dimensi ruang dan waktu yang lain.

"Selamat datang tuan Ferdian! Ini adalah malam pertamamu sebagai Kurir Kematian. Apakah kau siap?"

"Tak ada pilihan lain bukan?"

Thomas tersenyum penuh arti, "Pertukaran yang adil, aku memberimu segalanya dan kau melakukan tugasmu?"

"Apa aku tidak akan bisa bertemu mereka lagi? Kau tidak menyebutkannya dalam perjanjian."

"Benarkah? Harusnya kau baca keseluruhan perjanjian sebelum membubuhkan tanda tangan mu tuan. Sejak menyetujui perjanjian kau tidak akan bisa masuk ke dunia manusia kecuali hanya untuk menyelesaikan pekerjaanmu. Mulai hari ini namamu bahkan tidak akan diingat. Tapi jangan khawatir, anak dan juga istrimu tetap akan mengingatmu. Mereka akan mengingatmu sebagai ayah terbaik."

"Tunggu, maksud mu _,"

"Ya tuan, bagi mereka … kau sudah mati."

Ferdian bagai disambar petir, kakinya lemas dan matanya terasa panas. "Aku mati?" tanyanya tak percaya.

"Secara kasat mata iya, kau hilang dan dianggap sebagai orang yang telah mati. Tapi kau masih hidup dan kau hidup di alam kami."

Louise muncul menyerahkan sesuatu pada Thomas. Lelaki yang terlihat sebaya dengan Ferdian itu pun menghampirinya.

"Selamat datang di gerbong kematian, tuan Ferdian."

Thomas menyematkan pin emas berlambang unik di dada Ferdian. Rasa hangat menjalar di tubuh Ferdian sesaat setelah tangan Thomas menyentuhnya.

"Ini adalah kereta milikmu, dan mereka adalah para penumpang."

Ketiga belas gerbong seketika menjadi terang dan tiap gerbong berisi puluhan sosok yang duduk terdiam dalam berbagai rupa. Ferdian terkejut, jika kemarin ia hanya melihat gerbong kosong kini seluruh gerbong terisi penuh dengan sosok-sosok ajaib yang membuat jantungnya berdebar kencang.

Thomas membuka tangannya lebar, ia tersenyum dan berkata sambil menyongsong sosok lelaki tua dengan darah yang membanjir di kepala. Sosok itu berjalan terseok ke arah mereka dengan tatapan kosong.

"Misi pertamamu adalah membantu lelaki tua ini untuk menemukan pembunuhnya!"

Terpopuler

Comments

YuniSetyowati 1999

YuniSetyowati 1999

Nahkan.Karena sudah berburuk sangka pada Gusti Allah maka yg datang adalah iblis.
Seperti Jhonny Blaze yg demi membuat ayah ya sehat dia membuat perjanjian dg Iblis.Dan akhirnya ayahnya juga tak dpt diselamatkan sedangkan Jhonny menjadi Ghost rider.Untung si Jhonny masih punya hati manusianya walaupun dia sudah menjadi seorang Ghost rider.

2024-04-30

1

Mahesa

Mahesa

panggilan ke suaminya berubah ubah. terkadang memanggil Mas, terkadang memanggil Pah.

2024-04-25

2

FiaNasa

FiaNasa

sudah kepalang basah,,,Ferdian tak bisa mengelak lagi

2024-04-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!