Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: SENYUM YANG BUKAN UNTUKKU**
# **
Setelah kejadian malam itu, Nathan tidak berbicara pada Alara selama seminggu penuh.
Bukan hanya tidak berbicara—ia menghindarinya sepenuhnya. Berangkat sebelum Alara bangun, pulang setelah Alara tidur. Bahkan saat mereka tidak sengaja berpapasan di koridor, Nathan hanya melewatinya seolah Alara adalah udara. Tidak terlihat. Tidak ada.
Dan Alara... Alara mulai terbiasa dengan ketiadaan itu.
Ia berhenti menunggu Nathan pulang. Berhenti berharap akan ada percakapan. Berhenti mengharapkan apa pun.
Karena mengharapkan hanya akan membuat sakit semakin dalam.
---
**SABTU PAGI, MINGGU KEENAM**
Alara bangun lebih pagi dari biasanya—jam 6 pagi. Ia tidak bisa tidur nyenyak lagi sejak kejadian ruang kerja itu. Setiap kali menutup mata, ia melihat wajah marah Nathan, mendengar teriakan itu, merasakan cara Nathan menyeretnya keluar seolah ia tidak layak berada di sana.
Ia turun ke dapur dengan piyama kusut dan rambut acak-acakan. Bi Sari belum datang—hari Sabtu, ia baru masuk jam 8. Jadi Alara sendirian di mansion besar itu.
Ia membuat kopi sederhana—hitam, tanpa gula—mencoba meniru cara Nathan minum kopi. Entah kenapa ia melakukan itu. Mungkin mencoba merasa lebih dekat, walau hanya lewat secangkir kopi yang sama.
Alara membawa cangkirnya ke ruang tamu, duduk di sofa panjang sambil menatap taman yang masih basah embun pagi. Kabut tipis menutupi kolam renang, menciptakan pemandangan yang seharusnya indah—tapi bagi Alara, hanya terasa... kosong.
Seperti hidupnya.
Ia mendengar suara langkah kaki dari tangga. Jantungnya berdegup—refleks yang tidak bisa ia kontrol.
Nathan turun dengan kaus santai abu-abu dan celana training hitam. Rambutnya sedikit berantakan—tidak seperti biasanya yang selalu rapi. Ia terlihat... lebih manusiawi. Lebih seperti pria berusia 30 tahun, bukan CEO dingin yang selalu bersembunyi di balik jas mahal.
Mata mereka bertemu sekilas.
Alara menunduk cepat, fokus pada cangkir kopinya.
Nathan berhenti sejenak di ujung tangga—seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya ia hanya melanjutkan langkah menuju dapur.
Alara mendengar suara lemari es terbuka, botol air diambil. Lalu hening.
Ia pikir Nathan sudah pergi. Tapi suara langkah kaki mendekat—menuju ruang tamu.
Nathan berdiri di ambang pintu, memegang botol air di tangan. Ia menatap Alara dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Pagi," katanya—suara pertama yang ia tujukan pada Alara setelah seminggu.
Alara mengangkat wajah, terkejut. "Pagi," balasnya pelan.
Hening canggung menggantung di antara mereka. Nathan seperti ingin mengatakan sesuatu—bibir bawahnya bergerak sedikit, rahangnya tegang. Tapi akhirnya ia hanya mengangguk kecil dan berbalik pergi.
Alara menatap punggungnya yang menjauh. Dadanya sesak dengan perasaan yang tidak bisa ia namai—campuran kelegaan karena Nathan berbicara padanya, dan kesedihan karena hanya sebatas itu.
Hanya "pagi".
Tidak ada "maaf". Tidak ada "bagaimana kabarmu". Hanya... formalitas kosong.
---
**SEPULUH MENIT KEMUDIAN**
Alara masih duduk di ruang tamu, cangkir kopinya sudah dingin dan tidak tersentuh. Ia menatap kosong ke arah jendela, pikirannya melayang entah ke mana.
Tiba-tiba, ponsel Nathan berdering dari ruang kerjanya—pintu yang sedikit terbuka. Suaranya bergema hingga ke ruang tamu.
Nathan menjawab. "Halo?"
Alara tidak bermaksud menguping. Tapi suara Nathan terdengar jelas—dan ada sesuatu di nada bicaranya yang... berbeda.
"Kau bangun pagi sekali," kata Nathan. Nadanya... lebih lembut. Tidak dingin seperti biasanya.
Alara menajamkan telinga tanpa sadar.
"Ya, aku di rumah. Hari Sabtu kan... Kenapa? Ada yang perlu dibahas soal proyek?" Nathan berhenti, lalu... tertawa kecil.
Alara membeku.
Tertawa.
Nathan... tertawa?
"Kau masih suka bercanda seperti dulu," kata Nathan, dan—demi Tuhan—ada senyum di suaranya. Alara bisa mendengar itu. Bisa merasakan itu.
Jantungnya berdegup tidak karuan. Tangannya mencengkeram cangkir kopi hingga buku-buku jarinya memutih.
"Baik, baik. Kirim saja dokumennya ke email. Aku akan review nanti siang... Hm? Oh, tenang saja. Aku tidak sibuk hari ini."
Hening sebentar. Lalu Nathan tertawa lagi—lebih panjang kali ini. Suara tawa yang... hangat. Tulus.
Alara berdiri tanpa sadar. Kakinya melangkah pelan mendekati ruang kerja—bukan untuk masuk, hanya... untuk melihat.
Pintu terbuka sedikit. Cukup untuk Alara melihat Nathan duduk di kursinya, ponsel di telinga, dan—
Ia tersenyum.
Senyum yang lebar. Mata yang berbinar. Wajah yang... hidup.
Alara belum pernah melihat Nathan tersenyum seperti itu. Tidak pernah. Bahkan di hari pernikahan mereka, Nathan tidak pernah tersenyum. Di rumah ini, wajah Nathan selalu datar, dingin, kosong.
Tapi sekarang—sekarang ia tersenyum seperti dunia tidak seberat biasanya.
Dan itu bukan untuk Alara.
"Tentu, kita bisa ketemu kalau kau mau. Kapan? Minggu depan? Atau... kau mau hari ini?" Nathan mengangguk, meski orang di seberang tidak bisa melihat. "Baik. Jam 2 siang di café lama kita? Oke. Sampai nanti."
Nathan menutup telepon, masih dengan senyum di wajahnya. Ia menatap layar ponselnya sebentar—tatapan yang... lembut.
Lalu ia menoleh—dan melihat Alara berdiri di ambang pintu.
Senyumnya hilang seketika. Wajahnya kembali datar.
"Ada apa?" tanyanya datar—suara yang sangat kontras dengan suara yang baru saja Alara dengar di telepon.
Alara berdiri membeku. Dadanya sesak. Tenggorokannya tercekat.
"Aku... aku cuma..." Kata-kata tidak keluar. Apa yang harus ia katakan? *"Aku dengar kamu tertawa. Kamu tersenyum. Kenapa kamu tidak pernah tersenyum padaku?"*
Tapi kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
"Tidak ada," bisik Alara akhirnya. Ia berbalik cepat, hampir berlari kembali ke tangga.
"Alara—"
Tapi Alara tidak berhenti. Ia naik ke kamarnya, menutup pintu, dan bersandar di sana.
Napasnya memburu. Jantungnya berdetak keras—bukan karena senang, tapi karena sakit.
Sakit yang menusuk.
Karena ia baru saja melihat—benar-benar melihat—bahwa Nathan bisa tersenyum. Nathan bisa tertawa. Nathan bisa hangat.
Hanya saja... tidak untuk Alara.
Air matanya jatuh tanpa permisi. Ia merosot ke lantai, memeluk lututnya, dan menangis dalam diam.
*Siapa yang menelepon? Siapa yang bisa membuat Nathan tersenyum seperti itu?*
Dan kenapa—kenapa—hatinya terasa seperti diremas ketika melihat Nathan bahagia... tapi bukan karena Alara?
---
**SIANG ITU**
Alara tidak turun untuk makan siang. Ia bilang pada Bi Sari lewat pesan bahwa ia tidak lapar. Padahal sebenarnya ia tidak sanggup bertemu Nathan lagi hari ini.
Ia mendengar suara mobil Nathan keluar dari garasi sekitar jam 1 siang. Pergi. Untuk bertemu seseorang.
*Café lama kita*, kata Nathan di telepon tadi.
Alara menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya tidak bisa berhenti berputar.
Tanpa sadar, tangannya meraih ponsel. Ia membuka chat dengan Kiara—satu-satunya orang yang mau mendengarkan.
**Alara:** *Kiara, aku boleh tanya sesuatu?*
Balasan datang cepat.
**Kiara:** *Tentu sayang. Ada apa? Kamu baik-baik saja?*
Alara menatap layar lama. Jemarinya gemetar mengetik.
**Alara:** *Nathan... dia punya café favorit? Tempat yang dulu sering dia kunjungi?*
Hening. Tidak ada balasan selama beberapa menit. Alara hampir menyesal bertanya.
Lalu ponselnya bergetar.
**Kiara:** *Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?*
**Alara:** *Aku... aku dengar dia bilang "café lama kita" di telepon tadi. Dia mau ketemu seseorang di sana. Aku cuma... penasaran.*
Lagi-lagi hening panjang.
**Kiara:** *Alara... mungkin lebih baik kamu tidak terlalu memikirkannya.*
Jawaban yang mengelak. Tapi justru itu yang membuat Alara semakin curiga.
**Alara:** *Tolong jujur padaku, Kiara. Kamu tahu tempat itu, kan?*
Beberapa menit berlalu. Lalu balasan datang—panjang kali ini.
**Kiara:** *Ada café di daerah Kemang. Namanya "Nostalgia Café". Tempat itu... tempat Nathan sering pergi dulu. Sebelum... sebelum dia berubah. Aku tidak tahu dia masih ke sana atau tidak.*
Jantung Alara berdegup keras.
**Alara:** *Dengan siapa dia dulu ke sana?*
**Kiara:** *Alara, tolong jangan menyiksa dirimu sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan ini...*
**Alara:** *Kumohon.*
Hening panjang. Lalu:
**Kiara:** *Dengan wanita yang ia cintai. Wanita di foto itu.*
Dunia Alara berhenti berputar.
Wanita di foto.
Nathan pergi ke café tempat ia dulu bersama wanita itu.
Dan ia tersenyum—tersenyum seperti orang yang bahagia—saat membuat janji itu.
Alara menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Tangannya mati rasa.
Pesan lain masuk dari Kiara:
**Kiara:** *Alara, kamu masih di sana? Aku khawatir... Tolong jangan lakukan sesuatu yang akan kamu sesali. Nathan itu... complicated. Mungkin ini cuma urusan bisnis. Jangan langsung berpikir yang buruk, okay?*
Tapi Alara tidak membalas.
Ia meletakkan ponselnya, menatap langit-langit dengan mata kosong.
Di kepalanya, terus berputar—wajah Nathan yang tersenyum. Suara Nathan yang tertawa. Nathan yang hangat dan hidup.
Nathan yang bukan Nathan yang ia kenal.
Dan sesuatu di dadanya retak. Pelan. Tapi pasti.
Bukan cemburu—karena bagaimana kau bisa cemburu pada seseorang yang tidak pernah jadi milikmu?
Tapi sakit.
Sakit menyadari bahwa kau hidup dengan seseorang, tidur di bawah atap yang sama, memakai cincin yang sama—tapi hatinya tidak pernah, dan tidak akan pernah, ada bersamamu.
Air matanya mengalir lagi. Kali ini tidak isak. Hanya air mata yang jatuh diam-diam—seperti hujan yang turun tanpa suara.
Dan Alara berbaring di tempat tidurnya yang dingin, sendirian, sambil membayangkan Nathan tersenyum untuk orang lain.
Tersenyum dengan cara yang tidak akan pernah ia tersenyum untuk Alara.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 11]**