Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 03
Zahira masih duduk di teras, menatap ke arah jalan yang sepi.
"Si Adit itu ngapain sih masih di situ? Lagi cari orderan atau malah ngintai aku?" gumamnya pelan.
Pandangan Zahira tertuju pada motor Nmax yang terparkir tak jauh, dan seorang pria yang asyik menatap layar ponsel.
Tak ingin menimbulkan fitnah, Zahira memutuskan masuk ke rumah. Suaminya punya kunci cadangan, jadi tak ada gunanya ia terus menunggu di luar.
Zahira merapikan tempat tidur dengan rapi, lalu mengenakan gaun tipis yang sedikit menggoda. Ia menyemprotkan parfum lembut favorit Hendro, berharap malam ini suaminya pulang membawa kejutan manis. Harapan itu seolah masih ada dalam benak zahira.
“Mas, kamu galak, tapi baik banget… Kalung ini mahal sekali, pasti kamu sudah berusaha keras mengumpulkan uangnya,” gumam Zahira pelan, senyumnya mengembang dibalik harapan yang belum padam.
Zahira tertidur dengan pikiran yang masih dipenuhi harapan. “Siapa sih Ratna? Dia cuma mantan pacar Mas Hendro. Secantik dan semodis apa pun, tetap aku yang jadi istrinya,” gumamnya dalam hati, seolah menyugesti diri bahwa semuanya baik-baik saja, meski hatinya sebenarnya rapuh dan tak tenang.
Akhirnya Zahira terbaring lelah, menatap jam dinding di kamarnya.
“Sudah jam dua malam, tapi Mas Hendro tak juga pulang,” gumamnya dalam hati.
Ia menghela napas panjang. Matanya berat, namun hatinya gelisah. Rasa kecewa membuatnya sulit terpejam.
Dia membuka buku hariannya. Yang Hendro tidak pernah tahu, Zahira pernah menjadi penulis aktif di beberapa majalah terkenal pada masanya, antara tahun 1997 hingga 2004.
Majalah seperti Anida dan Gadis pernah memuat karyanya. Ia menulis dengan tangan, dan karena tulisannya menarik, redaksi tak pernah menolaknya. Nama pena yang ia gunakan: Hati Rembulan.
Kemudian Zahira mulai menuliskan kegelisahannya dalam untaian kata yang puitis. Setiap huruf seolah mewakili luka yang selama ini ia pendam. Setelah mencurahkan seluruh isi hatinya ke atas kertas, ia menghela napas panjang—ada rasa lega, seolah beban di dadanya perlahan terangkat.
Pagi tiba, rumah terasa sunyi. Zahira membersihkan rumah dan mencuci pakaian seperti biasa. Sesekali ia mencoba menelepon Hendro, namun nomornya tak aktif. Ia juga menghubungi Angga dan Anggi, hasilnya sama—semua nomor tidak bisa dihubungi. Hatinya mulai diliputi gelisah.
"Kalau masak, nanti nggak ada yang makan. Tapi kalau nggak masak, pasti semua malah marah," gumam Zahira, merasa serba salah dan tak tahu harus berbuat apa.
Akhirnya Zahira memutuskan untuk tidak memasak. Masa iya pergi ke pesta tapi tetap makan di rumah? Ia tak mau kejadian kemarin terulang—sudah capek-capek masak, malah dimarahi dan makanan tak disentuh sama sekali..
Zahira menyapu halaman dengan pelan. Saat matanya menatap ke tepi jalan, ia menghela napas panjang—Adit sudah tak ada. Sudut bibirnya terangkat tersenyum tipis, mengingat momen lucu ketika Adit dulu menyatakan cinta padanya di balai desa, dengan gaya sok percaya diri..
Adit naik ke atas meja dan berteriak, “Zahira, jangan panggil aku Adit kalau aku tidak bisa menikahimu!” suaranya lantang, membuat semua orang menoleh.
“Astagfirullah,” gumam Zahira sambil menggeleng pelan. Ia merasa bersalah, kenapa bisa mengingat lelaki lain, sementara statusnya masih istri Hendro. Walau hatinya pagi ini sakit zahira memlih setia walau itu hanya sebatas pikiran.
“Mbak Zahira,” sapa seseorang. Zahira menoleh, ternyata Bu Sumi sudah berdiri di belakangnya.
“Ada apa, Mbak?” tanya Zahira heran.
“Maaf ya, Mbak... saya mau kasih kabar buruk,” ucap Bu Sumi pelan.
“Kabar apa, Mbak? Nggak bagus lho pagi-pagi udah bergosip,” sahut Zahira dengan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana.
Bu Sumi menarik napas panjang, wajahnya tampak ragu.
“Maaf sekali, Mbak. Bukan maksud saya memanaskan rumah tangga Mbak Zahira. Tapi saya rasa ini penting, dan Mbak harus tahu,” ucapnya serius, menatap Zahira dengan sorot mata penuh empati.
Zahira menunjukkan raut wajah sedikit kesal.
“Mbak, kalau mau menyampaikan sesuatu, sampaikan saja langsung. Jangan bertele-tele, jangan bikin orang penasaran,” ucap Zahira dengan nada sedikit kesal.
“Maaf ya, bukan maksudku untuk mengompori,” ucap Bu Sumi pelan, lalu menyerahkan ponselnya kepada Zahira dengan ragu.
Zahira mengernyitkan dahi.
“Kenapa Mbak ngasih ponsel ke saya?” tanyanya bingung.
“Aduh, Mbak... masa iya nggak punya ponsel Android?” sahut Bu Sumi heran.
Zahira hanya menggeleng pelan, menunduk sejenak. “Mas Hendro nggak pernah ngizinin saya punya,” ucapnya lirih.
“Aneh juga ya, suaminya pejabat tapi istrinya nggak punya ponsel Android,” ucap Bu Sumi dengan nada heran.
Zahira menghela napas panjang.
“Mbak... sebenarnya, kabar apa yang mau Mbak sampaikan?” tanyanya pelan.
Sumi membuka ponsel Android-nya, membuka status WhatsApp milik Anggi—anak Zahira.
“Lihat ini, Mbak,” ucapnya pelan sambil menyodorkan ponsel.
Zahira menatap layar. Foto pertama menampilkan seorang wanita berdiri menghadap kamera, tersenyum anggun.
“Itu Ratna,” gumam Zahira. “Oh… rupanya dia menikah. Syukurlah.”
“Syukur, Mbak?” tanya Sumi heran.
“Ya… artinya dia sudah menemukan pasangan, walaupun agak telat,” jawab Zahira datar, berusaha tetap tenang.
Sumi menggeleng pelan. “Lihat foto selanjutnya, Mbak…”
Ia menggeser layar. Zahira, yang tak akrab dengan ponsel Android, hanya bisa terpaku saat melihat foto berikutnya—Hendro, suaminya, sedang mengucapkan ijab kabul di samping Ratna.
Seketika dunia Zahira runtuh. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya limbung. Hampir saja ia jatuh jika tak segera ditopang oleh Sumi.
“Mbak Zahira… astaga,” ucap Sumi panik, lalu membantu Zahira masuk ke rumah dan merebahkannya di sofa.
Zahira memandang langit-langit rumah dengan tatapan kosong, seolah seluruh dunia telah mengkhianatinya.
“Mbak Sumi... pergi saja. Saya ingin sendiri,” ucapnya pelan namun tegas.
“Tapi, Mbak... saya khawatir—”
“Sudah, Mbak… saya cuma butuh sendiri,” potong Zahira dengan suara lirih, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Sumi berdiri ragu, tapi ia tahu—Zahira adalah tipe wanita yang pantang menangis di depan orang lain, apalagi menunjukkan luka hatinya.
Dengan berat hati, Sumi pun melangkah keluar. Zahira tetap diam di sofa, menatap kosong, memeluk kehancurannya sendiri dalam sunyi.
Zahira menatap langit-langit rumahnya dengan pandangan kosong. Dua puluh tahun ia bertahan dalam pernikahan bersama Hendro—berjuang sendirian menjaga bahtera rumah tangga yang perlahan karam. Dan hari ini, tepat tanggal 17 Juli, Hendro menikahi Ratna.
“Kurang apa aku, Mas…” gumam Zahira lirih, nyaris tak terdengar. “Aku bertahan demi kamu, demi anak-anak, meski aku tak pernah dihargai. Aku tahan semua luka, aku telan semua penghinaan... hanya demi keutuhan rumah ini.”
Air matanya mulai jatuh.
“Tapi ternyata cintamu bukan untukku. Aku cuma persinggahan, ya? Ratna yang kamu pilih... sejak awal memang dia yang kamu mau. Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega selama ini?”
Zahira bangkit pelan, melangkah ke kamar. Ia menutup pintu, menggigit handuk untuk meredam isak tangisnya, namun tubuhnya bergetar hebat.
Kesedihan itu terlalu dalam.
Terlalu sepi.
Terlalu menyakitkan.
Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan shower. Air dingin mengguyur tubuhnya, namun tak mampu meredakan panas di dadanya.
Dengan tangan gemetar, Zahira memutar musik shalawatan dari speaker kecil—keras, menggema ke seluruh kamar.
Ia berharap suara itu bisa menyamarkan tangisnya.
Dan air shower bisa menyembunyikan air matanya yang tak kunjung berhenti.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.