Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: BAYANGAN GELAP DI BALIK PINTU
Pesawat mendarat di Soekarno-Hatta jam 9 malam. Alara dan Nathan turun dengan wajah yang masih sedikit lelah tapi bahagia—dua hari di Bali walau singkat, cukup untuk membuat mereka merasa... lebih dekat.
Di bagasi claim, sementara menunggu koper keluar, Nathan menggenggam tangan Alara—tidak peduli orang-orang di sekitar melirik. Ia sudah tidak peduli lagi dengan pandangan orang.
"Besok aku harus ke kantor pagi-pagi," kata Nathan sambil menatap Alara. "Tapi malem aku usahain pulang cepet. Kita makan malam bareng?"
"Boleh." Alara tersenyum. "Aku yang masak?"
"Jangan. Nanti kamu capek. Kita order aja atau makan di luar."
"Nathan, aku bisa masak tau—"
"Aku tahu. Tapi aku nggak mau kamu capek." Nathan mencium dahi Alara—gesture yang sudah jadi kebiasaan.
Koper keluar. Mereka ambil dan berjalan menuju pintu keluar—menuju parkiran di mana sopir Nathan sudah menunggu.
Tapi begitu keluar pintu arrival, langkah Alara terhenti.
Di sana—berdiri dengan anggun dengan dress hitam yang elegant, heels tinggi, rambut tergerai sempurna—Kiara.
Ia tersenyum—senyum yang manis tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang... dingin.
"Nathan! Alara!" Kiara melambai—seolah mereka teman dekat yang sudah lama tidak bertemu.
Nathan mengernyit. "Kiara? Kenapa kamu di sini?"
"Aku tadi ada urusan di airport. Kebetulan lihat flight kalian landing. Jadi aku tunggu." Kiara berjalan mendekat—tatapannya sempat melirik ke tangan Nathan dan Alara yang bergenggaman. Sesuatu berkilat di matanya—cepat, tapi Alara melihatnya.
"Oh. Oke." Nathan terlihat tidak nyaman. "Kami mau pulang. Capek—"
"Tentu! Aku nggak akan ganggu lama-lama." Kiara tersenyum lagi—kali ini menatap Alara langsung. "Alara, congratulations untuk Emerald Heights. Aku dengar presentasimu sukses. Impressive."
Ada sesuatu di nada bicaranya—sesuatu yang terdengar tulus tapi terasa... tidak.
"Terima kasih," balas Alara singkat. Ia tidak lupa—Kiara adalah wanita yang dulu manipulasi dia, yang pura-pura jadi teman tapi ternyata punya agenda tersembunyi.
"Anyway," Kiara melanjutkan sambil menatap Nathan. "Aku mau ngundang kalian makan malam. Sabtu malam. Sebagai... tanda perdamaian." Ia melirik Alara dengan tatapan yang sulit dibaca. "Aku tahu dulu aku salah sama Alara. Dan aku pengen perbaiki itu. Bisa?"
Nathan melirik Alara—mencari persetujuan. Alara sebenarnya tidak mau—tapi bagian darinya yang masih baik hati, yang masih ingin percaya orang bisa berubah, membuat dia mengangguk pelan.
"Baik," kata Nathan. "Tapi cuma makan malam. Nggak lama."
Kiara tersenyum—senyum yang lebar, yang terlihat senang. "Perfect! Sabtu jam 7. Aku kirim alamat restorannya. See you!"
Ia melambai—lalu berbalik pergi dengan langkah yang percaya diri.
Begitu Kiara menghilang, Alara merasakan sesuatu yang... tidak enak di dadanya. Seperti ada peringatan, seperti ada bahaya yang mengintai.
"Kamu yakin mau datang?" tanya Nathan sambil menatap Alara dengan khawatir.
"Entahlah," jawab Alara jujur. "Tapi... mungkin dia beneran mau minta maaf. Mungkin aku harus kasih kesempatan."
Nathan menggenggam tangan Alara lebih erat. "Kalau kamu nggak nyaman, kita cancel. Aku nggak mau kamu—"
"Aku akan baik-baik aja." Alara tersenyum—mencoba meyakinkan Nathan. Dan dirinya sendiri.
Tapi perasaan tidak enak itu tidak hilang.
Tidak hilang sampai mereka pulang ke mansion.
Tidak hilang sampai Alara tertidur di pelukan Nathan.
Karena intuisi wanita jarang salah.
Dan intuisi Alara berbisik—bahaya akan datang.