NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:289
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian Nasional Naik Sabuk Madya

...September 1982...

Seratus hari telah berlalu sejak tragedi leak yang merenggut ribuan nyawa. Bumi Nusantara masih berduka, namun para pendekar harus melanjutkan perjalanan mereka.

Pagi itu, di seluruh penjuru Nusantara, radio-radio tua berbunyi serempak ketika suara berat dan tegas Pandega Indra Oktovian menggema:

"Kepada seluruh pendekar dari Sabang sampai Merauke... Ujian Nasional Naik Sabuk akan diselenggarakan tanggal 1 Oktober 1982, bertempat di Padepokan Sarasvati, di bawah Menara Sarasvati. Seluruh kandidat dipersilakan mendaftarkan diri melalui guru masing-masing.

Kami menantikan pendekar terbaik bangsa."

Suara itu bergemuruh sampai ke lantai aula Padepokan Suryajenggala.

*

Di sebuah halaman depan Padepokan,

Cindeloka duduk di bangku dekat arca Ganesha yang duduk tenang, perutnya membulat, matanya memandang jauh seolah mengukur masa depan setiap murid sedang membolak-balik nasi bungkus yang baru ia beli langsung menegakkan badan.

"Ujian Nasional?!" Serunya dengan mata berbinar. "Akhirnyaaa! Setelah 100 hari makan tembok penjara!"

Lisna menatapnya sambil mengunyah keripik singkong.

"Puji Tuhan, Loka... baru bebas 100 hari kok makanmu makin brutal."

Shiva duduk menyilangkan tangan, wajah tanpa ekspresi.

"Terserah kalian mau ikut atau tidak."

Tapi dari tatapan matanya, terlihat bahwa ia juga tertarik-meskipun ia tidak akan pernah mengakuinya.

Cindeloka memakan nasi bungkusnya dengan nafsu, seolah rasa kebebasan membuat semua makanan terasa lebih nikmat.

Sementara para murid lain yang berada di lokasi hanya menatap sinis Cindeloka seolah belum bisa melupakan peristiwa 100 hari yang lalu.

*

Sementara itu, di lantai atas Padepokan, suasana jauh lebih tegang.

Di hadapan Ki Bagawanta, berdiri empat guru utama:

Kunto Mijan - Guru Tim Sapta

Mawar Sunda - Guru Tim Nawa

Tubagus Tansil - Guru Tim Asta

Cipta Kaisiepo - Guru Tim Dasa

Mereka memberikan daftar rekomendasi murid-murid terbaik mereka untuk mengikuti Ujian Nasional.

"Bagawanta," Kunto Mijan membuka suara, "saya Kunto ingin rekomendasikan Cindeloka Sunda, Shiva Wisesa dan Lisna Chaniago untuk ikut menjadi peserta Ujian Nasional."

Mawar Sunda menyusul. "Aku Mawar, merekomendasikan Jannah Padusi, Puadin Asthabrata dan Taro Wijaya untuk ikut menjadi peserta Ujian Nasional."

Tubagus Tansil menunduk hormat. "Aku Bagus, merokemendasikan Hana Wehea, Yoyo Mandagi, dan Kiki Gultom sudah matang mengikuti Ujian Nasional ini."

Cipta Kaisiepo mengangguk. "Aku Cipta pun demikian, merekomendasikan Beben Tabuni, Gamar Lalihatu dan Belena Lalihatu."

Namun di belakang mereka, suara para guru mulai riuh membicarakan rekomendasi dari para guru pembimbing suara berat tiba-tiba menyela.

"Saya keberatan."

Semua menoleh. Kang Wijen, salah satu guru senior, melangkah maju bersama beberapa guru lain yang sependapat.

"Mereka terlalu muda," protes Kang Wijen dengan wajah cemas. "Ujian Nasional bukan permainan... itu brutal. Nyawa bisa melayang."

Seorang guru lain menimpali:

"Terutama anak itu-Cindeloka. Kalau Maung Bodasnya mengamuk, semua peserta bisa terancam."

Mbah Kunto langsung menatap tajam.

"Tuan Wijen, murid saya lebih kuat dari yang Anda kira. Cindeloka sudah mampu mengendalikan cakranya. Ia belajar banyak selama 100 hari itu."

"Benar, kita tak boleh menilainya dari tampilannya saja". Timpal Mawar seolah membela Kunto.

Kang Wijen mendengus. "Apa belajar meringkuk di sel membuatnya matang?"

Kunto Mijan hampir maju memprotes keras, tapi Ki Bagawanta mengangkat tangan.

"Semuanya cukup."

Ruangan langsung hening.

Bagawanta menatap para guru satu per satu dengan ketegasan seorang pemimpin yang dihormati.

"Ujian Nasional adalah hak setiap pendekar muda. Jika para guru mereka yakin, maka saya pun yakin."

Ia memutar segel keputusannya.

"Saya setujui rekomendasi kalian."

Suasana meledak menjadi percakapan campur aduk, tapi keputusan sudah final.

Sementara Kang Wijen hanya bisa pasrah menerima keputusan tersebut sambil bergumam di dalam hati.

"Semoga Cindeloka tidak membahayakan para peserta yang lain" dengan wajah cemas dan takut.

*

Malam harinya, di pendopo belakang, Mbah Kunto memanggil Tim Sapta.

Cindeloka datang dengan semangat seperti anak kecil yang mendapat kabar lebaran lebih cepat. Lisna berjalan sambil menggenggam buku catatannya. Shiva seperti biasa, datang paling tenang.

Kunto Mijan menatap mereka bertiga sesaat sebelum berbicara.

"Aku punya kabar penting."

Ia menarik napas.

"Kalian bertiga... aku rekomendasikan sebagai perwakilan Ujian Nasional dari Padepokan Suryajenggala."

Cindeloka spontan memeluk Mbah Kunto seketika.

"SERIOUS, MBAH?!"

Lisna terkejut. "H-hah? Kita? Tiga orang ini?!"

Shiva hanya mengedip pelan, meski matanya sedikit melebar-itu sudah sama artinya dengan terkejut bagi standar Shiva.

Namun Mbah Kunto menambahkan dengan suara lembut tapi tegas:

"Tapi keputusan ada di tangan kalian. Aku tidak memaksa. Ujian Nasional bukan hal sepele. Ini bisa jadi perjalanan menentukan hidup kalian, atau... mengambilnya."

Mereka bertiga terdiam sejenak lalu Mbah Kunto menyuruh mereka istirahat.

"Ya sudah kalau begitu! Kalian istirahat saja besok kita bicarakan lagi".

"Baik Mbah"

Satu persatu, mereka bertiga istirahat di tempat masing masing.

*

Di sebuah anak tangga jalan menuju Padepokan. Tim Asta sedang berduduk santai membicarakan ujian Nasional di tengah bintang bintang yang menghiasi langit malam.

"Eh! Ujian Nasional diadakan kira kira dua minggu lagi, kalian ada persiapan nggak?" tanya Kiki kepada Hana dan Yoyo.

"Kalau aku sih siap! Musuh yang saya lawan akan saya jadiin inang Kuyang satu persatu" ucap Hana dengan semangat yang membara sementara Kiki bergidik ngeri mendengar ucapannya.

"Hah! Sebenarnya aku tidak selera mengikuti ujian ini karena hanya akan membuang buang waktu" ujar Yoyo memutar bola matanya sambil berbaring di atas jejeran anak tangga.

"Heh! Kau ini lebih semangat dikit lah" gerutu Hana dengan kesal.

"Nggak! Masalahnya aku harusnya jadi cendekiawan atau paling tidak guru tapi kenapa aku dipaksa menjadi pendekar silat?"

"Oh jadi! Kau jadi pendekar silat karena terpaksa!" tanya Kiki dengan wajah bingung."

"Iya sebenarnya niatku itu jadi guru akademik tapi ayahku memaksaku untuk menjadi pendekar dengan dalih bisa meneruskan warisan silatnya yang sudah dipelihara".

Hana dan Kiki hanya bisa tertawa kecil sekaligus kasihan dengan Yoyo karena ia harus mengurungkan cita citanya demi memenuhi ambisi dari ayahnya.

*

Keesokan Paginya, Cindeloka pergi ke aula utama Padepokan bersama Lisna dan Shiva duduk di bangku sepanjang 10 meter yang muat ditempati 100 orang dan membicarakan perihal Ujian Nasional. Kebetulan waktu itu adalah hari minggu, jadi mereka tidak memakai baju silat.

Cindeloka memakai rompi biru terbuka dengan memperlihatkan dadanya yang bidang serta kalung liontin emas yang tergantung, celana pendek khasnya dan memakai ikat dengan lambang klan Sunda.

Lisna mengenakan tunik merah berkerah hanya sebatas lutut, roknya terbelah di bagian samping dengan memakai dalaman legging biru sebatas paha, memperlihatkan lambang klan Chaniago di bagian bawah tunik.

Shiva mengenakan kemeja putih pendek dengan lambang padma Wisesa dibelakangnya, bercelana putih dengan sarung bali sebatas lutut, memakai udeng putih.

"Eh! Kalian siap belum untuk ujian nanti?" Tanya Cindeloka.

"Sebenarnya aku agak ragu untuk mengikuti ujian ini mengingat ada rumor pernah ada seorang pendekar Satria yang tewas saat mengikuti ujian ini?" jawab Lisna dengan wajah cemas.

"Kalau kau, Shiv" mukanya menoleh ke Shiva.

"Kalau aku ikut kalian saja" kata Shiva dengan nada datar, wajah dingin tidak menatap mereka berdua, sambil menghisap rokok kreteknya.

SPLASH

Sekumpulan murid senior secara tiba tiba melempar susu basi kemasan kepada punggung Cindeloka hingga membuat pakaiannya basah diikuti dengan suara ketawa puas dari para murid tersebut. Spontan Lisna terperanjak dari bangku dan memelototi murid senior.

"HEH! APA-APAAN KALIAN INI?" Bentak Lisna.

"Heh! Gadis cantik nggak usah ikut campur, lagipula ngapain kau bela orang yang telah membuat bencana besar di Suryadwipa". Ucap salah satu murid senior dengan tatapan sinis dan menusuk.

Cindeloka yang diam pun akhirnya pergi dari aula dengan wajah penuh amarah meninggalkan Lisna dan Shiva disusul dengan suara tawa yang menggelegar dari semua murid.

Lisna dan Shiva mengejar Cindeloka sampai ke koridor yang mengarah ke arah Asrama di bagian barat yang dihiasi oleh patung patung dewa Hindu. Lisna memegang tangan Cindeloka yang sedang berjalan cepat disambut dengan emosi Cindeloka yang meluap luap sambil memperlihatkan mata Danaraksanya yang merah padam.

"Loka! Tunggu"

"DENGAR! AKU NGGAK TAHU APA APA SOAL PERISTIWA ITU! KALIAN NGGAK USAH UNGKIT UNGKIT LAGI!" sambil menatap mereka berdua dengan tatapan tajam yang membuat Lisna dan Shiva terdiam.

Cindeloka menghela nafas sejenak dan perlahan dan mata Danaraksanya memudar.

"Maaf! Aku terlalu emosional".

"Nggak apa apa, Loka. Kalau aku jadi kau aku juga pasti akan marah" ujar Shiva dengan wajah dingin, nada datar tapi dalam.

"Shiva benar! Yang penting sekarang, Ujian Nasional kita bagaimana?" sela Lisna.

Cindeloka terdiam sejenak, namun dari ekspresinya terlihat ingin mengikuti Ujian tersebut. Dengan tangan mengepal getar, Cindeloka akhirnya memantapkan diri mengikuti ujian tersebut.

"Setelah insiden tadi, kayaknya aku mau ikut ujian itu, sekaligus saya ingin membuktikan kepada orang orang bahwa si Tampan yang terkutuk ini tidak seburuk yang dibicarakan." wajah menengadah ke langit.

"Loka!" ujar Lisna dengan pelan.

"Aku juga! Sekaligus saya juga ingin meningkatkan kemampuanku untuk membalaskan dendam di masa lalu" sela Shiva dengan wajah dingin penuh dendam dan suaranya dalam.

Lisna menghela nafas dan juga ia ikut seperti mereka berdua.

"Baiklah! Kayaknya aku nggak punya pilihan lain selain mengekori kalian"

Kebetulan, Mbah Kunto lewat dari kejauhan dan disambut dengan Tim Sapta.

"MBAH KUNTO!!" Teriak Cindeloka seraya menghampirinya, disusul Lisna dan Shiva.

"Ada apa?" tanya Kunto dengan mengangkat alis kanan.

"Mbah! Kayaknya aku mau deh jadi peserta" jawab Cindeloka dengan wajah ceria yang membuat Kunto membulatkan matanya.

"Aku juga, Mbah" sela Lisna

"Aku juga" disusul Shiva.

Mbah Kunto merasa bangga dengan ketiga muridnya yang bersemangat penuh tekad mengikuti Ujian Nasional tanpa paksaan.

"Baiklah! Dua minggu lagi kita akan menjadi salah satu tim perwakilan

dari Suryajenggala" ujar Mbah Kunto seraya menatap ketiganya dengan mata berbinar.

Cindeloka dan Lisna spontan melompat riang sementara Shiva hanya diam tanpa ekspresi namun tersenyum samar.

Dan untuk pertama kalinya...

Tim Sapta akan melangkah ke panggung nasional.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!