Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: STELLA TIBA
#
Dua hari berlalu seperti dua tahun. Elang tidak tidur—tidak bisa, tidak mau. Ia duduk di warnet kecil Pangalengan dari pagi sampai malam, mengunduh semua file yang Stella kirim, menyimpannya di tiga flashdisk berbeda yang ia beli dengan uang terakhir, mempelajari setiap rekaman, setiap dokumen, setiap bukti seperti orang kelaparan yang akhirnya diberi makan.
Dan semakin ia mempelajari, semakin ia mengerti kedalaman pengkhianatan yang menghancurkannya.
Tapi di tengah semua itu, satu pikiran terus mengganggu seperti duri di daging: Stella. Dimana dia sekarang? Apa yang mereka lakukan padanya? Apakah dia masih—ia tidak berani menyelesaikan pikiran itu.
Malam kedua setelah telepon terputus, Elang kembali ke kamar kosnya dengan mata merah dan kepala berdenyut. Ia baru saja berbaring ketika ketukan keras di pintu membuatnya melompat dari kasur, jantung langsung berpacu.
"Akang!" Suara Anya—tapi ada urgency di sana yang membuatnya berbeda dari biasa. "Akang, buka pintuna! Gancang!"
Elang membuka pintu. Anya berdiri di sana dengan napas terengah, kerudung agak miring, mata lebar—dan di belakangnya, sosok perempuan terhuyung-huyung, setengah disangga oleh Anya, tas laptop dipeluk erat di dada seperti anak kecil yang takut mainannya direbut.
Stella.
Dunia berhenti sedetik. Elang menatap gadis di depannya—gadis yang hanya ia kenal lewat surat dan suara telepon—dan merasakan sesuatu pecah di dadanya. Wajah Stella lebam di pipi kiri, bibir pecah, mata kanan bengkak setengah tertutup. Baju kemeja kantor yang dulu rapi sekarang robek di lengan, kotor dengan noda yang terlihat seperti... darah.
"Pak..." Suara Stella keluar serak, nyaris tidak terdengar. "Maaf... saya..."
Kaki Stella melipat. Elang melompat maju, menangkapnya tepat sebelum ia jatuh ke lantai. Tubuh gadis itu ringan—terlalu ringan—dan gemetar seperti daun di angin badai.
"Stella, gue di sini. Kamu udah selamat. Kamu udah aman." Elang menggendongnya masuk, meletakkan di kasur dengan hati-hati seperti memegang sesuatu yang sangat berharga dan sangat rapuh. "Anya, obat—kita butuh obat, air, apapun—"
"Anya udah bawa, Kang." Anya masuk dengan tas berisi kotak P3K, botol air, dan handuk bersih. Wajahnya tenang—lebih tenang dari Elang yang tangannya gemetar. "Anya tos sering ngurusin luka begini. Bapa dulu sering jatuh ti motor, suka babak bundas pulangna."
Stella berbaring di kasur, mata setengah terbuka menatap langit-langit dengan tatapan kosong—tatapan orang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat. Tas laptop masih dipeluknya erat, tangan gemetar memeluk benda itu seperti tali terakhir ke kehidupan.
Elang duduk di pinggir kasur, mengambil tangan Stella yang bebas—tangan kecil yang dingin dan penuh goresan. "Stella, dengarin gue. Lo sekarang di Pangalengan. Lo aman. Mereka nggak tau lo di sini. Lo berhasil kabur."
"Saya... saya lompat dari jendela," Stella berbisik, mata masih menatap langit-langit. "Lantai dua. Jatuh di semak-semak. Mereka kejar saya tapi saya lari ke gang-gang kecil. Naik angkot, ganti tiga kali. Terus ke terminal. Naik bus ke Bandung. Terus... terus saya ingat alamat yang Bapak kasih..."
Suaranya terputus oleh isakan yang akhirnya meledak—isakan yang sudah ditahan dua hari, isakan yang keluar dengan kekerasan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar.
"Mereka... mereka bilang kalau saya kasih tau dimana Bapak, mereka akan lepas saya. Bilang ini semua salah paham. Tapi saya tau... saya tau mereka bohong. Saya tau kalau saya kasih tau, mereka akan bunuh Bapak. Dan saya nggak bisa... saya nggak bisa biarkan itu..."
Elang tidak berpikir. Ia membungkuk, memeluk Stella—bukan pelukan romantis, tapi pelukan saudara, pelukan orang yang mengerti apa artinya menderita sendirian dan akhirnya menemukan seseorang yang peduli.
"Kamu udah selamat," ia berbisik di rambut Stella yang kotor dan berantakan. "Kamu udah selamat. Dan kamu bukan hanya selamat—kamu pahlawan. Kamu pahlawan yang nyelamatin gue, yang kasih gue senjata buat lawan mereka. Tanpa kamu, gue nggak punya apa-apa."
Stella menangis lebih keras, tangan yang bebas mencengkeram baju Elang seperti orang tenggelam yang menemukan kayu apung. Di sampingnya, Anya bekerja dengan tenang—membersihkan luka di wajah Stella dengan kapas dan alkohol, merawat goresan di lengan, memberikan obat penghilang rasa sakit dengan air.
"Akang, dia butuh istirahat," Anya berkata pelan setelah semua luka dirawat. "Katingalna teu sare tos dua hari. Tubuhna teh shock. Kedah diistirahatkeun heula."
"Lo tidur di sini," Elang berkata pada Stella, menunjuk kasurnya. "Gue tidur di bawah. Anya, lo—"
"Anya tidur di kamar sebelah yang kosong atuh. Deket kok, kalo ada apa-apa tinggal ketok tembok aja." Anya tersenyum—senyum yang entah bagaimana bisa tetap hangat meskipun situasinya mengerikan. "Teh Stella, istirahat dulu ya. Besok mah kita ngobrol lagi. Sekarang mah sing penting sehat heula."
Stella mengangguk lemah, mata sudah setengah tertutup karena kelelahan yang melampaui batas fisik. Dalam hitungan menit, napasnya melambat, tanda ia akhirnya tertidur—tidur pertama yang aman setelah dua hari mimpi buruk.
Elang dan Anya keluar ke koridor kecil, menutup pintu pelan. Di kegelapan, mereka berdiri diam sejenak, membiarkan realitas situasi meresap.
"Akang," Anya berbisik, "orang yang lakuin itu sama Teh Stella... orang yang sama yang menghancurkan Akang?"
Elang mengangguk, rahang mengeras. "Iya. Brian. Dan orang-orang yang dia bayar."
"Jahat pisan." Suara Anya datar tapi ada sesuatu di matanya—kemarahan yang jarang muncul di wajah lembut itu. "Tapi Akang mau ngapain sekarang? Bales dendam?"
"Gue nggak tau." Dan itu jujur. Dua hari lalu jawabannya mungkin langsung "iya, gue mau hancurkan mereka". Tapi setelah melihat Stella—setelah melihat harga nyata dari perang ini—ia tidak yakin lagi apa yang ia mau.
---
**[Bersambung ke Bab 9]**