"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Bukan bekerja sebagai pengasuh, kan?
“Terima kasih ya, Jav. Sudah mau di repotkan hari ini, sama terima kasih juga untuk traktirannya,” Selena, Javas dan Lala sudah kembali ke toko roti, dan saat ini Javas mau keluar untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda dua jam-an.
“Makasih doang?” Sahut Javas kecil masih bisa di dengar oleh pendengaran tajam Selena.
Alis Selena mengernyit tipis. Sekilas terlintas di pikirannya bahwa pria itu seolah tak benar-benar ikhlas mentraktir mereka.
“Lalu kamu maunya gimana, saya bayar uang makan yang tadi kamu keluarkan di restoran, Jav? Boleh… Mana nomor rekening ka—”
“Nggak ada aku bilang gitu, Sel." Javas memotong cepat. "Aku nggak pernah kekurangan uang ya..." Dia menjeda kalimatnya lebih lama, menatap Selena dengan senyum yang terukir dari bibirnya, senyum yang membuat Selena merasa was-was. “hanya saja…bagaimana kalau sebagai tanda terima kasihnya, kamu menuruti satu permintaan aku,” ujarnya penuh rencana di kepalanya.
Selena terdiam, jelas perasaannya mulai tidak enak. “Satu permintaan? Apa itu? Jangan yang aneh-aneh ya, Javas. Awas saja kalau aneh, saya lebih memilih membayar uang traktiran kamu!” Tutur Selena waspada.
“Kamu terlalu curigaan, Sel. Tidak aneh kok, permintaan aku sederhana saja, weekend kamu mau nggak pergi bersama aku, sama Lala juga…”
Selena kembali terdiam, raut wajahnya terlihat ragu.
“Weekend pergi sama kamu?” tanyanya, disertai tawa kecil yang terdengar canggung. “Jav, aku nggak punya waktu luang untuk sekedar keluar. Aku sibuk setiap hari.”
Penolakan halus itu membuat senyum di wajah Javas seketika menghilang. Pria itu tampak kecewa, meski berusaha menutupinya.
“Oh… begitu ya,” ucapnya pelan. “Tapi kamu juga butuh istirahat, Sel.”
“Iya, itu aku tahu,” jawab Selena cepat. “Makanya aku nggak mau menyia-nyiakan waktu. Dibanding jalan-jalan, lebih baik aku pakai weekend buat tidur di rumah.”
Javas menghela napas tipis.
“Istirahat itu bukan cuma soal rebahan,” ujar Javas lembut. “Kamu juga butuh refreshing, Selena. Ayolah… sekali ini saja. Mau ya?”
Ia bahkan memasang wajah memelas khas anak kecil, dan jujur saja, itu membuat tangan Selena gatal ingin menjitak keningnya.
Selena memalingkan wajah sejenak. Kenapa, sih, menolak ajakan orang lain selalu terasa sesulit ini kalau yang mengajak sudah pasang mode memelas? Apa hatinya semurah itu sampai mudah tergerak oleh rasa kasihan? Dan kenapa pula Javas harus bersikap seperti ini. Astaga, cowok ini kapan normalnya, sih?
“Baiklah… baiklah,” akhirnya Selena menyerah, mendengus kesal. “Tapi bisa nggak ubah ekspresi wajah kamu itu!”
Javas langsung tersenyum lebar. Dalam hati, pria itu sudah kegirangan setengah mati.
“Oke, berarti hari Minggu pagi aku jemput, ya.”
“Eh, tapi kita mau ke mana dulu?” tanya Selena, rasa penasarannya muncul tanpa bisa ditahan.
“Nah, soal itu…” Javas sengaja menggantung kalimatnya. “Biar suami yang mikir nanti. Aku kasih tahu Mami kalau sudah kepikiran mau ke mana.” dia tersenyum jahil.
Selena melengos. Lagi-lagi, pria tak tahu malu di depannya itu bicara seenaknya sendiri.
“Baiklah, aku pergi dulu, Sel. Kalau kangen, tinggal telepon saja. Aku free kalau istri yang hubungi,” ujarnya sambil tertawa kecil, melangkah santai menuju motornya.
Selena kehabisan kata-kata. Dia hanya mampu mendelik tajam ke arah punggung Javas yang semakin menjauh, bibirnya menggumamkan gerutuan kecil penuh kesal, antara ingin memaki, ingin tertawa, dan entah kenapa… sedikit terganggu oleh caranya pria itu pergi dengan begitu percaya diri.
...****************...
Di meja panjang yang telah tertata rapi, tiga orang itu duduk bersiap menyantap makan malam. Beragam hidangan tersaji menggugah selera. Sang istri dengan cekatan mengisi piring suaminya—nasi, sayur, dan lauk diambilnya seimbang. Setelah itu, giliran piring putri mereka, barulah kemudian piringnya sendiri.
“Dad, sekarang Javas kerja di mana?” tanyanya pelan sambil merapikan nasi di piringnya.
Haidar yang sejak tadi lebih banyak diam menatap istrinya dengan raut heran.
“Kok tiba-tiba Mommy nanyain kakak?” tanyanya balik, suaranya rendah.
“Ya penasaran saja. Dia nggak kerja berat, kan, Dad? Terus, kapan kamu mau balikin fasilitasnya? Kamu senang Javas di luar terus? Nggak kangen anak memangnya?” Rentetan pertanyaan itu membuat Haidar menghela napas panjang. Sendok di tangannya diketuk pelan ke tepi piring.
“Hm… sebenarnya sebulan lalu aku sempat menyuruh Javas datang ke kantor, Mom. Tapi anaknya nggak datang,” ujarnya akhirnya. “Ya sudah, mungkin dia sudah betah hidup di luar, jadi nggak perlu dirisaukan. Lagian, kalau pulang juga paling cuma nempelin Mommy. Sudah aku suruh menikah saja, daripada terus merusuhi istri orang kan,” tutupnya dengan nada cemburu yang tak sepenuhnya tersamarkan.
Mommy Kanaya menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan pemikiran suaminya itu. “Astaga, sayang… kamu sampai kapan cemburu dengan anak sendiri? Sudah tua, ingat umur!” Gumamnya kesal, sementara Valle hanya tertawa kecil melihat kedua orang tuanya itu.
“Ya anak itu juga sudah tua seharusnya tau diri lah, Mom. Masa nempelin mommy terus, jadinya waktu mommy buat aku sekarang sedikit, mana aku harus ke kantor terus setiap hari, sedangkan dia… dia enggan mau bekerja di kantor. Ya sudah, di jodohkan juga nggak mau, setidaknya aku jodohkan dia biar tau gimana kasih sayang istri, iya kan?” Ujarnya mengeluarkan isi hati.
“Nasibmu mom, punya suami cemburuan!” timpal Valle tertawa pelan.
“Iya ih… Padahal dia yang paling effort buatnya dulu.” ujar Mommy Kanaya santai.
“Lupakan tentang itu, sekarang Daddy jawab Mommy dengan jujur, Javas kerjanya dimana? Nggak sedang jadi pengasuh kan?” tanyanya mendesak.
“Kenapa Mommy mikirnya Javas bekerja sebagai pengasuh? Emang tampang anak kita cocok jadi pengasuh, Mom?” Haidar mengerut alisnya heran.
“Ya enggak, makanya saya tanya. Daddy nggak mungkin tidak tau anaknya kerja apa kan?”
Glagg…
Haidar meneguk ludahnya kasar.
“Mommy… itu,”
“Tadi siang Sera datang ke rumah, Dad. Katanya dia ketemu Javas di depan sekolah dasar saat Sera pergi mengantar keponakannya. Kata Sera, Javas mengantar anak kecil juga kesana, siapa? Siapa yang Javas antar ke sekolah itu, Daddy?”
“Dia bekerja di kantor teman Daddy, aman anak itu mah. Lagian dia nggak kekurangan uang meski fasilitas nya di tahan, Mommy selalu mengirimnya uang, iya kan?” Haidar berujar balik membuat Mommy Kanaya tersenyum tipis.
"Terus kenapa Sera bilang Javas berada di sekolah dasar? anak kecil itu siapa?" masih belum puas sama jawaban suaminya, wanita cantik itu terus bertanya.
"Daddy kurang tau, Mom. Salah liat kali itu si Sera. mana mungkin anak kita membuang waktu untuk hal seperti itu, Mom. Kita tau sendiri gimana Javas kan, anaknya mageran gitu."
Mommy Kanaya mengangguk pelan, ya harusnya Sera salah liat deh, Putranya itu tidak mungkin meluangkan waktunya untuk hal seperti itu.
Dia terdiam sejenak, kemudian kembali bersuara kecil, "Ya lagian tega banget sama anak sendiri. Pokoknya aku tidak mau tau ya, Dad. Secepatnya Javas harus kembali ke rumah, mau dia menolak perjodohan itu, mau dia tidak ingin kerja di kantor, itu terserah dia. Kita tidak boleh memaksa, sayang.” ujar Mommy Kanaya lembut.
“𝘈𝘬𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘨𝘢, 𝘔𝘰𝘮𝘮𝘺. 𝘚𝘦𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘢𝘺𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘥𝘦𝘩, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘬𝘰𝘴. 𝘈𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘣𝘪𝘭 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘤𝘢𝘭𝘰𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘵𝘶𝘬𝘶!” ujar Haidar dalam hati.
“Iya, kalau anaknya mau!” Jawab Haidar cepat.
“Lagian ngide banget jodohin anaknya, di pikir zaman milenial apa gimana?”
“Mommy, menikah karena di jodohkan itu juga tidak buruk. Buktinya kita dulu di jodohkan dan sampai sekarang romantis, cinta mati, sehati, cinta damai, sehat jiwa dan raga, kaya raya, pintar mengeksplor gaya bebas, gaya helikopter, gaya apala—”
“Stopp!! muncungmu kalau sudah bicara tidak tau tempat! Lagian beda, Haidar Oliver, bedaaa!!!” tukas Mommy Kanaya dengan wajah yang sudah mulai kesal.
“Lah, bedanya dimana, Daddy tanya?”
“Kita di jodohkan itu karena memang sudah cinta dari awal. Kamu bujuk orang tua kamu untuk di jodohkan sama aku, ya karena sedari awal kita pacaran, sedangkan Javas sama Sera? Kamu tau sendiri gimana anak itu ke Sera!”
“Tapi Sera juga punya effort, Mom.”
“Haisss… bicara sama Daddy, memang begini. Ngebet banget anaknya nikah muda, Javas masih 23 tahun, masih panjang juga perjalanannya!”
“Loh, itu bukan muda lagi…kita saja dulu nikah saat umur delapan belas tahun, Mom. Biasa aja tuh,” perdebatan antara dua suami istri itu tak kunjung berakhir. Dan Valle, si gadis cantik itu benar-benar tak di lihat kehadirannya oleh mereka.
Seperti biasa, dia terus menjadi nyamuk oleh kedua orang tuanya itu. pasangan vintage itu memang kadang-kadang. perdebatan kecil itu pasti berujung romantis-romantisan di depannya nanti.
“Kalau boleh memilih, aku juga lebih baik berada di luar sama Kak Javas daripada berada di antara mereka, hiks…” batin Valle tidak tahan lagi. Dia cepat-cepat menyelesaikan makannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...