NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bulan, Pisau, dan Senyum yang Tulus

Setelah dua jam meluncur tenang di atas permukaan Danau Cermin Bulan, obrolan yang mengalir seperti air, dan secangkir teh spiritual yang telah dingin, Lanxi akhirnya mengarahkan perahu mereka kembali ke dermaga. Mereka turun dengan hati-hati, meninggalkan perahu spiritual yang segera diambil alih oleh si pedagang dengan senyum puas.

Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana di sekitar danau semakin romantis, lentera-lentera perahu terlihat seperti bintang yang jatuh di atas air, dan bisikan-bisikan mesra para pasangan muda terdengar samar-samar dari kejauhan. Namun, bagi Shanmu, pengalaman ini bukan tentang roman. Ini adalah tentang menemani seorang teman yang telah baik padanya, dan tentang keajaiban sederhana menaiki perahu untuk pertama kalinya. Rasanya seperti melayang di atas cermin raksasa, sebuah pengalaman yang akan ia kenang.

Lanxi dan Shanmu kemudian berjalan berdampingan meninggalkan area danau, menyusuri lorong-lorong kecil yang diterangi oleh cahaya bulan. Langkah mereka santai, namun Shanmu mulai memikirkan waktu.

"Ini sudah larut malam, Lanxi," ucap Shanmu, suaranya penuh perhatian. "Kalau kamu tidak punya tujuan lain lagi, sebaiknya aku mengantarmu kembali ke sekte. Jalannya gelap."

Lanxi tersenyum lembut, memandang Shanmu dengan tatapan yang sedikit tertantang di bawah cahaya bulan. "Kenapa? Apa kau sudah bosan menghabiskan waktu bersamaku seharian ini?"

Shanmu langsung terkejut, lalu dengan cepat menggelengkan kepalanya, kedua tangannya bergerak seperti ingin menyangkal. "Bukan, Lanxi! Bukan seperti itu! Hanya saja... ini sudah larut malam. Apa lagi yang bisa kita lakukan? Tujuannya cuma satu, pulang, tidur, dan beristirahat. Besok kan aku harus kerja menyapu, dan kamu pasti ada latihan juga, 'kan?" Ucapannya polos, praktis, dan tanpa pretensi apa pun.

Mendengar logika sederhana dan jujur itu, Lanxi terkekeh pelan, getaran tawanya yang anggun menggema di lorong yang sepi.

"Baiklah, kalau begitu. Ayo, antarkan aku."

Shanmu mengangguk, tersenyum lega karena Lanxi tidak tersinggung. Mereka kemudian keluar dari lorong yang sunyi dan memasuki jalan utama kota yang sudah jauh lebih sepi. Lampu-lampu minyak di beberapa toko masih menyala, tetapi pejalan kaki sudah sangat berkurang. Hanya sesekali kereta patroli kota atau beberapa kultivator yang pulang larut melintas.

Sepanjang perjalanan menuju Sekte Langit Biru, Lanxi bercerita tentang rutinitasnya. Ia menceritakan tentang latihan pedangnya di pagi hari, di bawah bimbingan seorang Tetua sekte, tentang kesulitan menyeimbangkan gerakan dengan aliran Qi-nya. Kemudian, ia menyebutkan sesuatu yang membuat telinga Shanmu langsung menegak.

"Dan saat ini, aku sedang mencoba melatih 'Langkah Angin Puyuh', tahap pertama," ucap Lanxi, suaranya mengandung sedikit kebanggaan. "Ini bukan langkah angin biasa yang diajarkan di sekte-sekte kecil lainnya. Ini adalah teknik peninggalan dari Kuil Buddha Angin yang terletak di Kota Mata Angin, sebuah kota yang jauh lebih besar dan makmur daripada Kota Lama. Teknik ini memungkinkan penggunanya bergerak dengan kecepatan luar biasa, meninggalkan bayangan, hampir seperti berteleportasi dalam jarak pendek."

Mata Shanmu berbinar. Ia menyerap setiap kata seperti spons kering. Kota Mata Angin! Kuil Buddha Angin! Langkah yang bisa meninggalkan bayangan! Dunia kultivasi yang luas dan penuh misteri semakin terbuka di imajinasinya. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, meski tidak sepenuhnya memahami istilah teknis yang digunakan Lanxi. Bagi Shanmu, ini adalah dongeng yang hidup, diceritakan langsung oleh seorang pelakunya.

Setelah berjalan cukup lama, tembok megah Sekte Langit Biru akhirnya terlihat. Di depan gerbang yang dijaga oleh dua murid berjaga malam, Lanxi berhenti. Ia berbalik menghadap Shanmu.

"Terima kasih, Shanmu," ucapnya, suaranya hangat di udara malam yang dingin. "Terima kasih sudah menemaniku seharian dengan sabar."

Shanmu, yang merasa justru dirinyalah yang telah mendapatkan banyak hal. Seperti melihat pelelangan, naik perahu, mendengar cerita, Shanmu pun langsung menunduk dengan dalam. "Tidak, Lanxi. Justru aku yang harus berterima kasih. Aku yang sangat diuntungkan hari ini. Terima kasih banyak."

Melihat kerendahan hati dan kejujuran yang begitu polos, Lanxi kembali tertawa lembut, suaranya seperti gemerincing lonceng perak. "Sudahlah. Kita sama-sama. Hati-hati di jalan pulang. Dan jangan lupa janji kita besok."

"Tidak akan, Lanxi! Aku akan menunggumu di hutan depan gerbang kota setelah aku selesai bekerja," janji Shanmu dengan semangat.

Setelah itu, Lanxi berbalik dan melangkah masuk melalui gerbang sekte, menyapa penjaga dengan anggukan singkat. Shanmu tetap berdiri di tempat, melambaikan tangannya hingga sosok Lanxi menghilang di balik pintu gerbang yang tertutup.

Baru kemudian ia berbalik, menghadap jalanan kota yang gelap. Perasaan puas dan hangat mengisi dadanya. Hari ini adalah hari yang baik.

Namun, kebaikan itu tidak berlangsung lama.

Baru saja ia berjalan sekitar seratus meter dari gerbang sekte, meninggalkan lingkaran cahaya dari lentera penjaga, dua bayangan melompat dari balik sebuah bangunan gudang yang terbengkalai. Mereka mendarat dengan mantap di depan Shanmu, menghalangi jalannya.

Shanmu terkesiap. Dalam cahaya bulan, ia mengenali mereka, dua murid yang merupakan anak buah Leng Zuan, atau yang Shanmu tau 'Teman' Tuan muda Leng.

Yang satu, seorang pemuda berwajah licik dengan mata sipit, melangkah maju. Tangannya menggosok-gosok tinjunya, sebuah senyuman jahat merekah di bibirnya. "Akhirnya... kau sendirian," desisnya. "Meskipun Nona Lanxi sudah mengancam kami, tugas adalah tugas. Kami harus menjalankan perintah Tuan Muda Leng."

Shanmu berdiri terpaku, kebingungan yang mendalam menyelimutinya. Salahku apa? pikirnya. Aku yang dipukul waktu itu. Aku yang menjauh. Mengapa? Mengapa masih ingin menyakitiku?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, tetapi ia tidak sempat mencari jawabannya.

Tanpa peringatan, murid berwajah licik itu melancarkan pukulan. Bukan pukulan sembarangan, tinju itu dibalut oleh lapisan tipis Qi berwarna keputihan milik seorang Pejuang Biasa tingkat akhir. Bam! Pukulan itu menghantam pipi Shanmu dengan keras.

Shanmu terlempar ke samping, tubuhnya menghantam tanah berdebu. Rasa sakit yang tajam dan panas membakar di pipinya, dan telinganya mendenging.

Dengan susah payah, Shanmu bangkit. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Prinsip pertamanya adalah meminta maaf, mencoba meredakan amarah. "Aku... aku minta maaf jika ada kesalahanku," ucapnya, suaranya parau. "Tolong... biarkan aku lewat."

Namun, permintaan maaf itu hanya dianggap sebagai kelemahan. Shanmu ingat pesan Tuan Yao. Jangan berurusan dengan para murid, kalau bisa hindari. Jadi, begitu ia melihat celah, ia berusaha untuk menyelinap melewati mereka, berharap bisa menghindari masalah ini.

Tapi mereka sudah siap. Murid kedua, yang selama ini diam dan bermata dingin, tiba-tiba melesat. Gerakannya cepat, khas seorang kultivator yang telah melatih langkah dasar. Di tangannya, sebuah pisau pendek berkilat diterangi cahaya bulan.

Ssschukk!

Rasa sakit yang sama sekali baru, lebih dalam dan lebih mengerikan daripada apa pun yang pernah ia rasakan, kecuali mungkin pukulan dari Leng Zuan, menjalar dari paha kanannya. Pisau itu menancap dalam, lalu dengan gerakan brutal, si murid menariknya ke bawah, mengoyak otot dan urat di sepanjang paha Shanmu hingga mendekati lutut.

"ARRGGHH!"

Jeritan kesakitan yang tertahan meledak dari mulut Shanmu. Ia terjatuh lagi, kali ini tidak bisa langsung bangkit. Darah memancur deras dari luka robek yang menganga di celananya, langsung membasahi kain menjadi merah tua dan hitam dalam kegelapan.

Kedua murid itu berdiri di atasnya, tersenyum puas melihat penderitaannya. "Tugas kami memang bukan membunuhmu, sampah," kata si bermata licik. "Cukup membuatmu cedera parah sehingga kau tidak bisa masuk bekerja selama beberapa hari. Itu pelajaran untukmu agar tidak mendekati orang yang bukan levelmu."

Mereka lalu meludahi Shanmu yang terbaring kesakitan. Ludah itu jatuh di dekat wajahnya, menambah penghinaan. Kemudian, si bermata dingin menghunjamkan pisaunya sekali lagi, kali ini di paha kiri Shanmu, dan menariknya turun dengan cara yang sama, menciptakan luka robek yang paralel.

Shanmu menjerit lagi, suaranya parau dan penuh penderitaan. Air mata kesakitan dan ketidakmengertian akhirnya menetes, bercampur dengan darah dan debu di wajahnya.

Setelah puas melihat Shanmu terkapar, kedua murid itu tertawa pendek, lalu berbalik dan melompat menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan Shanmu sendirian di jalanan sepi dengan luka yang mengucurkan darah begitu deras.

Nafas Shanmu tersengal-sengal. Rasa sakit itu begitu hebat, membuatnya menggigil. Darah terus mengalir, menggenangi tanah di sekitarnya. Tapi di dalam hatinya yang terluka, sesuatu yang lebih keras dari baja berdentang. Aku tidak boleh mati di sini. Aku harus sampai ke penginapan. Paman Gong...

Dengan tekad yang menyala dari dasar jiwanya, ia merangkak, lalu dengan memaksakan seluruh sisa tenaganya, ia berdiri. Kaki kanannya nyaris tidak bisa menahan beban. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan rasa sakit yang membakar. Kemudian, dengan langkah tertatih-tatih yang cepat berubah menjadi lari pincang yang dipaksakan, ia melesat menyusuri jalanan Kota Lama yang sudah sepi.

Ia melewati lorong-lorong gelap, jalanan utama yang lengang, setiap langkahnya meninggalkan jejak darah. Pikirannya hanya satu, Penginapan Bintang Senja. Paman Gong.

Akhirnya, bangunan penginapan yang familiar terlihat. Lampu masih menyala di jendela ruangan Paman Gong. Dengan sisa tenaga terakhir, Shanmu mendorong pintu masuk.

Bunyi bel kecil yang biasanya riang kini terdengar seperti lonceng kematian.

Paman Gong yang sedang menghitung buku catatan di belakang konter, mengangkat kepalanya. Senyum sambutnya langsung membeku, lalu berubah menjadi ekspresi ngeri yang mendalam saat matanya menangkap pemandangan di depan pintu.

Shanmu berdiri terhuyung-huyung, wajahnya bengkak dan berdarah di satu sisi. Celana biru barunya yang sederhana sekarang robek dan basah kuyup oleh darah yang masih menetes deras dari kedua pahanya, membentuk genangan merah di lantai kayu di bawahnya.

Jantung Paman Gong seolah berhenti berdetak, lalu berdegup kencang penuh kengerian. Rasa sakit yang mendadak menusuk dadanya sendiri, seolah-olah luka itu ada pada dirinya.

"Shanmu!!"

Teriaknya, suaranya serak dan penuh kepanikan yang jarang terlihat.

Ia langsung berlari dari balik konter, hampir menjatuhkan bangkunya. Di saat yang sama, dari dapur, koki Zhao muncul karena mendengar teriakan. Wajah sangar koki itu langsung pucat pasi melihat kondisi Shanmu.

"Zhao! Tabib! Cepat panggil Tabib Li! LARI!" raung Paman Gong, suaranya menggema di ruangan kosong.

Lao Zhao, yang otot-ototnya juga kuat karena kerja fisik, tidak banyak bicara. Dengan refleks yang cepat, ia langsung melompat seperti harimau yang ditusuk, menerobos keluar dari pintu penginapan dan melesat ke kegelapan, kakinya mengayun dengan kecepatan yang tidak terduga untuk seorang koki.

Sementara itu, Shanmu, melihat kepanikan di wajah Paman Gong, berusaha tersenyum. Ia mengangkat tangan kanannya yang berlumuran darah, mengacungkan jempol dengan getaran karena rasa sakit. Senyumnya, meski tertutup darah dan bengkak, masih memancarkan ketulusan yang sama, tidak dibuat-buat sama sekali.

"Aku tidak apa-apa, Paman," ucapnya, suaranya lemah namun berusaha tegar. "Ini... ini hanya luka ringan. Aku tersangkut kayu tajam di jalan yang gelap. Benar-benar tidak apa-apa."

Kata-kata itu, justru semakin menyayat hati Paman Gong. Tanpa membuang waktu lagi, dengan kekuatan yang muncul dari kepanikan dan kasih sayang, pria tua itu mengangkat tubuh perkasa Shanmu dengan susah payah, sebuah bukti betapa kuatnya dorongan adrenalin, ia membawa Shanmu masuk ke dalam ruangannya di belakang konter, membaringkannya di atas ranjang.

Tak lebih dari lima menit kemudian, suara langkah berat dan napas terengah-engah terdengar. Lao Zhao kembali, kali ini dengan seorang pria tua berjanggut putih yang terlihat belum sempat mengenakan jubah dengan rapi digendong di pundaknya. Tabib Li, tabib terbaik di kawasan itu.

Lao Zhao menurunkan Tabib Li dengan cepat, dan sang tabib, meski masih terengah-engah, matanya yang tajam langsung tertuju pada pasiennya. Ia mendekati ranjang, dan begitu melihat luka menganga di kedua paha Shanmu yang masih mengucurkan darah, wajahnya berubah ngeri. Luka robek yang dalam dan tidak rapi seperti itu adalah hasil dari kekerasan yang disengaja, bukan kecelakaan.

Namun, sebelum ia bisa berkata apa pun, Shanmu, yang masih sadar, menatapnya. Di antara wajah yang bengkak dan penuh penderitaan, senyum kecil yang polos dan jempol teracung kembali muncul.

"Ini tidak apa-apa, Tabib," bisik Shanmu, suaranya pelan namun jelas. "Jangan ragu-ragu. Obati saja. Aku kuat. Aku tidak takut sakit."

Ucapan itu, penuh dengan keberanian naif dan penerimaan yang menyentuh, membuat Tabib Li menghela napas berat yang penuh dengan beban. Ia memandang Paman Gong, yang wajahnya pucat dan tangan-tangannya menggenggam erat seprai, lalu menatap koki Zhao yang berdiri tegang seperti patung. Lalu, dengan gerakan mantap seorang yang berpengalaman, ia membuka kotak obatnya.

"Air bersih. Kain. Dan beri dia sesuatu untuk digigit jika perlu," perintah Tabib Li, suaranya kembali profesional. "Ini akan sangat sakit."

Proses pengobatan yang mendesak dan penuh ketegangan pun dimulai di ruangan kecil Penginapan Bintang Senja, sementara di luar, Kota Lama tidur dalam kedamaian yang palsu, tidak menyadari penderitaan yang dialami oleh seorang pemuda polos di dalam salah satu bangunan sederhananya. Darah yang tertumpah malam itu adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar, sebuah titik balik dalam kehidupan Shanmu yang sederhana.

1
YAKARO
iya bro🙏
Futon Qiu
Mantap thor. Akhirnya Shanmu punya akar spritual
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
YAKARO: terimakasih🙏
total 1 replies
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
YAKARO: terimakasih
total 1 replies
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!