NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 4: Pertemuan dengan "Monster" Kecil

​"Pak Gavin! Syukurlah Bapak sudah sampai! Lihat kelakuan anak Bapak!"

​Teriakan histeris itu menyambut Gavin dan Kiana begitu mereka melangkah masuk ke lobi SD Pelita Bangsa. Seorang guru wanita dengan kacamata miring dan sisa bedak yang luntur karena keringat berlari menghampiri mereka. Napasnya tersengal-sengal, seolah baru saja dikejar singa lapar.

​Gavin mengusap wajahnya yang tegang. "Di mana Alea sekarang, Bu Rini? Apa dia baik-baik saja?"

​"Baik-baik saja?" Bu Rini melotot, suaranya melengking tinggi sampai membuat beberapa murid yang lewat menutup telinga. "Dia duduk di sofa ruangan saya sambil makan permen karet seolah tidak terjadi apa-apa! Sementara kami di sini jantungan setengah mati memadamkan api di belakang kantin!"

​"Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar minta maaf," ucap Gavin berulang kali sambil menundukkan kepala. Postur tubuh CEO yang biasanya gagah itu kini menyusut drastis. Dia tampak seperti murid nakal yang dipanggil ke ruang BK, padahal anaknya yang berulah.

​Kiana berdiri dua langkah di belakang Gavin, melipat tangan di dada sambil mengamati situasi. Bau asap plastik yang hangus masih tercium samar di udara. Lantai koridor kotor oleh jejak sepatu berlumpur, mungkin sisa kepanikan saat memadamkan api.

​"Ini bukan soal maaf, Pak!" Bu Rini masih belum puas mengomel. Telunjuknya menuding ke arah pintu ruangan kepala sekolah. "Ini sudah ketiga kalinya minggu ini! Kemarin dia menumpahkan lem ke kursi wali kelas, lusa lalu dia mengunci temannya di toilet, dan sekarang pembakaran? Kami angkat tangan, Pak. Silahkan Bapak bawa pulang Alea dan cari sekolah lain yang sanggup menampung... keunikannya."

​Wajah Gavin memucat. "Dikeluarkan? Tapi Bu, ini baru tengah semester. Tolong beri kesempatan satu kali lagi. Saya akan ganti semua kerugian. Saya akan sumbang dana pembangunan gedung baru kalau perlu."

​Kiana mendengus pelan. Typical.

 Orang kaya selalu berpikir uang bisa menyelesaikan masalah emosional. Tapi melihat bahu Gavin yang merosot lemas, ada sedikit rasa iba yang menyelinap di hati Kiana. 

Sedikit saja. Seujung kuku.

​"Saya mau bicara sama Alea dulu," kata Gavin lirih.

​"Silakan. Tapi surat pindah sekolah akan saya ketik sekarang juga," ketus Bu Rini, lalu berbalik badan dengan hentakan kaki yang keras.

​Gavin menoleh ke arah Kiana sebentar. Tatapannya campuran antara malu dan pasrah. "Kamu tunggu di mobil saja. Ini bakal lama dan nggak enak dilihat."

​"Nggak," tolak Kiana singkat. Dia membetulkan letak tas branded-nya di bahu. "Saya sudah jauh-jauh datang ke sini bukan buat jadi supir cadangan kamu. Saya mau lihat seberapa mengerikan monster kecil yang bikin CEO Ardiman Logistics gemetar ketakutan."

​"Kiana, ini bukan tontonan," desis Gavin.

​"Bagi saya ini riset pasar. Minggir."

​Tanpa menunggu izin, Kiana melangkah mendahului Gavin menuju pintu kayu besar bertuliskan 'Ruang Kepala Sekolah'. Dia mendorong pintu itu pelan.

​Pemandangan di dalam ruangan itu cukup kontras dengan kekacauan di luar. Ruangan itu sejuk ber-AC, rapi, dan hening. Di atas sofa kulit berwarna hitam yang terlalu besar untuk ukuran anak kecil, duduklah seorang gadis kecil berusia tujuh tahun.

​Alea Ardiman.

​Anak itu mengenakan seragam merah putih yang sudah tidak karuan bentuknya. Ada noda hitam bekas jelaga di pipi kirinya, dan rambut panjangnya yang dikuncir kuda terlihat kusut. 

Kakinya yang pendek menggantung, berayun-ayun santai. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet, membuat bunyi cap-cap-cap yang menyebalkan di ruangan sunyi itu.

​Di atas meja di depannya, tergeletak sebuah gunting kertas dan korek api gas warna hijau. 

Barang bukti kejahatan.

​"Alea," panggil Gavin. Suaranya berat, penuh tekanan emosi yang ditahan.

​Gerakan kaki Alea berhenti sejenak, tapi dia tidak menoleh. Dia tetap menatap lurus ke arah lukisan kuda di dinding seberang, seolah lukisan itu jauh lebih menarik daripada ayahnya.

​Gavin berjalan mendekat, lalu berlutut di depan sofa agar tingginya sejajar dengan putrinya. Dia mencoba meraih tangan kecil Alea, tapi anak itu langsung menarik tangannya dan menyembunyikannya di balik punggung.

​Penolakan itu jelas melukai Gavin, tapi dia berusaha tetap sabar.

​"Kenapa kamu lakukan itu, Nak?" tanya Gavin lembut, terlalu lembut menurut Kiana. "Papa kan sudah bilang, jangan main api. Itu bahaya. Kalau kamu luka gimana? Kalau teman-teman kamu luka gimana?"

​Alea diam seribu bahasa. Dia meniup permen karetnya menjadi balon kecil, lalu memecahkannya. Pop!

​"Alea, jawab Papa," desak Gavin, nadanya mulai naik sedikit. "Bu Rini bilang, kamu mau dikeluarkan. Kamu mau pindah sekolah lagi? Ini sudah sekolah keempat tahun ini, Alea. Papa capek cari sekolah baru terus. Papa malu minta maaf terus sama orang-orang."

​Mata Alea melirik Gavin sekilas. Sorot matanya dingin, persis seperti mata Gavin saat sedang memecat karyawan.

​"Papa malu punya Alea?" akhirnya suara kecil itu keluar, terdengar menuduh.

​"Bukan begitu maksud Papa," Gavin panik, salah tingkah. "Papa cuma... Papa sibuk kerja buat kamu, Alea. Papa nggak bisa tiap hari dipanggil ke sekolah. Kasihan Papa, Nak. Mengerti sedikit dong."

​"Sibuk kerja, sibuk kerja, sibuk kerja!" Alea tiba-tiba berteriak, melempar bantal sofa ke wajah Gavin. "Yaudah kerja sana! Nggak usah ke sini! Alea nggak minta Papa datang kok!"

​"Alea! Jangan kurang ajar!" bentak Gavin, kesabarannya habis. Dia bangkit berdiri, wajahnya merah padam. "Papa sudah berusaha jadi ayah yang baik buat kamu! Papa kasih semua mainan yang kamu minta, Papa kasih pengasuh, Papa kasih fasilitas! Kurang apa lagi?!"

​"Kurang IBU!" jerit Alea, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya yang bulat. "Teman-teman Alea dijemput ibunya! Alea dijemput supir terus! Papa jahat! Papa cuma sayang sama laptop Papa!"

​Gavin terdiam, membeku di tempat. Kata "Ibu" selalu menjadi senjata pamungkas yang melumpuhkannya. 

Dia tidak bisa menjawab. Rasa bersalah menghantamnya seperti truk kontainer. 

Dia mengusap wajahnya kasar, berbalik membelakangi Alea, tidak sanggup melihat wajah kecewa putrinya.

​Suasana hening yang canggung menyelimuti ruangan. Gavin kalah telak. Lagi.

​Kiana, yang sejak tadi berdiri diam di pojok ruangan dekat lemari piala, menghela napas panjang. Dia menggelengkan kepala melihat drama melankolis di depannya.

​Lemah, batin Kiana. Cara negosiasinya salah total. Jangan pakai perasaan kalau lawanmu sedang emosional.

​Kiana melangkah maju. Suara hak stiletto-nya yang mengetuk lantai keramik terdengar tajam dan ritmis. Tak.Tak.Tak.

​Gavin menoleh, matanya basah. "Kiana, jangan sekarang. Tunggu di luar."

​"Minggir, Gavin," ucap Kiana datar. Dia tidak menatap Gavin, matanya terkunci pada Alea.

​"Jangan bikin dia makin nangis," peringat Gavin.

​"Dia nggak nangis. Itu air mata buaya. Saya sering lihat karyawan saya pakai trik yang sama kalau ketahuan korupsi," jawab Kiana santai.

​Kiana menggeser tubuh Gavin ke samping dengan bahunya, lalu dia duduk di sofa, tepat di sebelah Alea. Dia tidak berusaha menyentuh anak itu. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kaki, dan meletakkan tas mahalnya di pangkuan.

​Alea menatap Kiana dengan waspada. Dia mengusap air matanya kasar, menyisakan jejak hitam di pipi. 

Dia bingung. Biasanya, wanita-wanita yang dibawa Papanya akan langsung sok manis, mencubit pipinya, atau menawarkan cokelat dengan suara yang dibuat-buat seperti karakter kartun.

​Tapi wanita ini beda. Wajahnya jutek. Tatapannya seperti sedang memeriksa barang cacat di gudang.

​Kiana mengambil permen mint dari dalam tasnya, memakannya satu, lalu menatap Alea.

​"Jadi, kamu bakar tong sampah?" tanya Kiana, nadanya datar seperti sedang bertanya jam berapa sekarang.

​Alea diam, tapi dia mengangguk pelan, menantang.

​"Pakai apa? Korek gas itu?" Kiana menunjuk barang bukti di meja dengan dagunya.

​Alea mengangguk lagi.

​"Bensinnya dapat dari mana? Korek gas doang nggak bakal bikin api besar sampai panggil pemadam kebakaran," tanya Kiana lagi, kali ini terdengar sedikit penasaran secara teknis.

​Alea terkejut. Wanita ini tidak memarahinya? Malah bertanya teknis pembakaran?

​"Minyak tanah," jawab Alea pelan, suaranya serak. "Dari gudang Pak Kebun."

​"Pintar," puji Kiana singkat. Bukan pujian sarkas, tapi pengakuan tulus atas kecerdikan logistik anak itu. "Tapi strateginya bodoh."

​Mata Alea membulat. "Kok bodoh? Apinya besar kok!"

​"Memang besar. Tapi dampaknya merugikan kamu sendiri," kata Kiana tenang. Dia mencondongkan tubuh sedikit, menatap mata Alea layaknya mitra bisnis. "Coba hitung. Tong sampah itu harganya berapa? Paling lima ratus ribu. Kalau gudang olahraga ikut terbakar, harganya bisa lima puluh juta. Papa kamu harus ganti rugi ke sekolah."

​"Papa kan kaya!" sergah Alea sombong. "Uang Papa banyak!"

​"Uang Papa memang banyak. Tapi uang itu bukan daun yang bisa dipetik di pohon," balas Kiana cepat. "Kalau Papa harus bayar ganti rugi lima puluh juta hari ini, berarti jatah uang jajan kamu berkurang. Uang yang harusnya bisa buat beli tiket ke Disneyland, habis buat bayar tembok gosong. Siapa yang rugi? Kamu. Papa sih tetap bisa makan enak."

​Alea tertegun. Mulutnya sedikit terbuka. 

Dia tidak pernah memikirkan itu. Selama ini dia pikir uang Papanya tidak terbatas.

​"Terus," lanjut Kiana, menunjuk seragam Alea yang kotor. "Sekarang kamu dikeluarkan dari sekolah. Artinya, kamu harus pindah ke sekolah baru lagi. Harus kenalan lagi sama teman baru yang belum tentu asik. Harus beli seragam baru lagi yang kainnya gatal. Harus bangun lebih pagi lagi karena sekolah baru mungkin lebih jauh dari rumah."

​Kiana menggelengkan kepala prihatin. "Capek kan? Padahal kalau kamu nggak bakar tong sampah, sore ini kamu bisa main game di rumah sambil makan es krim. Sekarang? Kamu terjebak di sini, bau asap, lapar, dan Papa kamu sibuk urus administrasi bukannya ajak kamu makan. Strategi kamu rugi bandar, Alea."

​Alea terdiam lama. Dia mencerna kata-kata Kiana. Tidak ada kata "anak nakal", "anak durhaka", atau "kasihan Papa". Yang ada hanya untung dan rugi. 

Logika murni. Dan anehnya, itu masuk akal bagi otak cerdas Alea.

​Gavin yang berdiri di belakang mereka menahan napas. Dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. 

Wanita ini sedang mengajarkan putrinya hitung-hitungan bisnis di atas kenakalan remaja?

​"Aku... aku cuma mau Papa pulang," cicit Alea pelan, pertahanannya mulai runtuh. "Kalau aku nakal, Papa pasti dipanggil pulang."

​"Betul. Taktik itu berhasil," aku Kiana. "Papa kamu pulang. Dia ada di sini sekarang. Tapi lihat mukanya."

​Kiana menunjuk Gavin dengan ibu jarinya. Alea mendongak, menatap wajah ayahnya yang kusut dan lelah.

​"Dia pulang, tapi dia nggak happy. Dia marah. Dia stres. Apa asiknya main sama orang stres? Nggak seru," kata Kiana. "Kalau kamu mau perhatian Papa, harusnya kamu pakai cara yang bikin dia happy. Kalau dia happy, dia bakal kasih apa aja. Termasuk waktunya."

​Alea menatap Kiana dengan tatapan menyelidik. Dia merasa wanita ini tahu sesuatu yang tidak diketahui orang dewasa lain.

​"Tante tahu caranya?" tanya Alea polos.

​"Tahu dong. Tante kan pebisnis. Tante tahu cara mendapatkan apa yang Tante mau tanpa harus bakar sampah," jawab Kiana sambil tersenyum miring. Dia merogoh tasnya, mengeluarkan tisu basah, lalu menyodorkannya pada Alea. "Lap mukamu. Kamu kelihatan kayak kucing kecebur got."

​Alea ragu sejenak, lalu mengambil tisu itu dan mulai mengelap wajahnya yang cemong. Dia tidak melawan.

​Gavin nyaris menjatuhkan rahangnya ke lantai. 

Alea menurut? Alea si monster kecil mau disuruh bersihin muka tanpa drama teriakan?

​Kiana menoleh ke arah Gavin, memberikan tatapan 'Lihat? Gampang kan?'.

​"Sudah bersih," kata Alea sambil membuang tisu kotor ke tempat sampah kecil di bawah meja. "Tapi aku lapar."

​"Papa kamu bakal belikan makanan. Setelah dia selesai tanda tangan cek ganti rugi di luar," kata Kiana, lalu melirik Gavin. "Sana, Pak Gavin. Urus administrasinya. Anak kamu aman sama saya. Jangan lupa belikan dia burger, dia butuh karbohidrat buat ganti tenaga yang habis dipakai bakar sekolah."

​Gavin masih terpaku, menatap Kiana seolah melihat hantu. "Kamu... serius?"

​"Sana!" usir Kiana.

​Gavin buru-buru mengangguk dan keluar ruangan, meninggalkan mereka berdua. Pintu tertutup rapat.

​Kini tinggal Kiana dan Alea berdua. Suasana kembali hening, tapi tidak setegang tadi. 

Alea memandangi Kiana dari atas sampai bawah. Menilai pakaian mahalnya, rambutnya yang tertata rapi, dan aura dominan yang memancar darinya.

​Alea pernah melihat wanita-wanita cantik di sekitar Papanya. Tapi rata-rata mereka manja, berisik, dan pura-pura bodoh. 

Yang ini... menakutkan, tapi bikin penasaran.

​"Tante siapa?" tanya Alea tajam, matanya menyipit penuh selidik. "Pacar Papa yang ke-seratus? Atau sekretaris baru yang mau cari muka?"

​Kiana terkekeh pelan. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai, menatap mata bocah itu tanpa rasa takut sedikitpun.

​"Bukan pacar. Pacaran itu buang-buang waktu," jawab Kiana enteng. "Dan saya punya perusahaan sendiri, jadi saya nggak butuh cari muka sama Papa kamu."

​"Terus Tante siapa? Kenapa sok akrab ngasih tahu aku soal untung rugi?" desak Alea, tidak mau kalah.

​Kiana mencondongkan wajahnya, mendekat ke telinga Alea seolah hendak membocorkan rahasia negara. Senyum miring yang penuh percaya diri terukir di bibir merahnya.

​"Saya Kiana," bisik wanita itu tegas. "Calon Ibumu."

1
shenina
banyak bacot banget ni nenek sihir... astogeee ada ya org yg memuakkan begini.. najis bgt 😏
shenina
haishh.. jahat bgt si radit 😮‍💨
shenina
Alea; auntie Kiana is my superhero 👏😍
shenina
ceritanya bagus 👍👍🤩
shenina
kiana.... selamatkan gavin dari wewe gombel.... 🤣🤣🤣🤣
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!