Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kehancuran di Hari Bahagia
Setelah menempuh perjalanan yang sangat melelahkan selama kurang lebih 4, jam, kendaraan yang dikemudikan Siska akhirnya memasuki kawasan pedesaan yang asri. Hembusan angin pegunungan yang sejuk seketika menyapa indra penciuman, namun suasana hati Aini tetap terasa dingin, membeku layaknya es di kutub utara yang tak tersentuh cahaya matahari. Pepohonan rindang di sepanjang jalan seolah menjadi saksi bisu atas kehancuran hati seorang istri yang dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.
"Ai, bangun dong. Kita sudah sampai nih," panggil Siska dengan suara lembut sembari memarkirkan kendaraannya agak jauh dari lokasi tujuan agar kedatangan mereka tetap menjadi sebuah kejutan yang mematikan bagi para penghianat.
Aini mengerjap pelan, mengusap kedua matanya yang tampak letih akibat kurang tidur dan beban pikiran yang menumpuk.
"Hoaam... kita sudah sampai ya, Sis?"
"Iya, gila ya lo... enak bener tidurnya. Kayak nggak punya beban hidup aja," canda Siska. Meskipun ia melontarkan gurauan, Siska sangat memahami bahwa sahabatnya ini tengah menghimpun keberanian yang luar biasa untuk menghadapi pengkhianatan suaminya secara langsung di depan khalayak ramai.
Aini hanya menyunggingkan senyum tipis, sebuah senyuman yang sarat akan luka batin namun dipenuhi tekad yang membaja. "Namanya juga charging energi buat perang, Sis. Gue butuh tenaga full buat ngeratain mereka di depan semua orang. Gue nggak mau terlihat lemah di depan wanita yang sudah merebut kebahagiaan gue."
Mereka melangkah turun dan berjalan menuju sebuah rumah sederhana namun tertata sangat rapi milik Bude Marni. Di sana, mereka disambut dengan suguhan teh hangat dan kudapan ubi goreng yang masih mengepulkan uap. Di hadapan Bude Marni, pertahanan Aini sempat runtuh ia menangis terisak dalam dekapan wanita tua itu, menceritakan betapa kejamnya Varo dan Cilla yang tega bermain api tepat di belakang punggungnya sementara ia bersusah payah membanting tulang di perantauan.
"Sabar ya, Nak Aini. Jika memang jalan ini yang kamu pilih untuk menuntut keadilan dan harga diri, Bude akan selalu mendukungmu. Kebenaran tidak boleh terkalahkan oleh kelicikan," ucap Bude Marni sembari mengelus rambut Aini dengan penuh kasih sayang.
Aini menghapus sisa air matanya, kini sorot matanya berubah menjadi tajam dan mengintimidasi.
"Aku sudah cukup sabar selama ini, Bude. Besok, tidak akan ada lagi Aini yang penurut. Aini bakal kasih mereka pertunjukan yang nggak akan pernah mereka lupain seumur hidup."
Hari yang Dinantikan
Matahari baru saja menampakkan sinarnya saat tenda bernuansa biru di depan kediaman Ibu Dewi mulai dipadati oleh para tamu undangan. Suasana riuh rendah dengan iringan musik tradisional yang mengalun pelan. Namun, di balik kemeriahan itu, desas-desus busuk yang sengaja dihembuskan Ibu Dewi mulai beredar liar di antara kursi-kursi tamu.
"Kasihan ya nak Varo, dapat istri seperti Aini dulu. Sudah mandul, eh malah selingkuh sama bosnya di kota. Benar-benar tidak tahu diuntung," bisik Bu Ika kepada ibu-ibu di sebelahnya dengan raut wajah menghina.
"Iya, Bu Dewi sendiri yang cerita kepada saya tempo hari. Katanya Aini itu sudah dicerai secara lisan bulan lalu gara-gara ketahuan serong. Makanya Varo mau nikahi Cilla karena merasa kasihan. Kan Cilla sekarang nggak ada yang membiayai kuliah sama hidupnya sejak ayahnya meninggal. Varo itu pahlawan, mau menanggung beban hidup Bu Dewi dan Cilla sekaligus karena Aini sudah tidak mau lagi mengirim uang ke sini," timpal Bu RT dengan wajah prihatin yang dibuat-buat.
Varo duduk di hadapan penghulu, tampak gagah dalam setelan jas formalnya, meskipun sepasang matanya terus bergerak gelisah ke arah pintu masuk, menyiratkan kecemasan yang tersembunyi. Di sampingnya, Cilla tampak begitu anggun dengan kebaya putih bersih; ia tersenyum penuh kemenangan, merasa skenario licik ibunya telah berhasil mencuci otak seluruh warga kampung dan membersihkan namanya dari label pelakor.
"Baiklah, karena semua pihak sudah hadir dan saksi sudah siap, mari kita mulai prosesi sakral ini," ujar Pak Penghulu dengan nada berwibawa.
Varo menjabat tangan penghulu dengan genggaman yang sedikit gemetar namun dipaksakan mantap.
"Saya terima nikah dan kawinnya Cilla Anggraeni binti Hendra dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"
"Saksi? Sah?"
"SAH!"
Tepat saat kata "Sah" menggema dan doa mulai dipanjatkan, sebuah mobil berhenti secara mendadak tepat di depan tenda. Suara dentuman pintu mobil yang dibanting keras seketika memecah kekhusyukan suasana, membuat semua orang menoleh serentak.
Tanpa penutup wajah ataupun keraguan sedikit pun, Aini melangkah masuk ke dalam area tenda dengan kepala tegak dan langkah yang berwibawa. Siska berjalan di sampingnya, menjinjing sebuah tas besar berisi tumpukan dokumen dan sebuah pengeras suara nirkabel yang sudah terkoneksi dengan ponsel pintarnya.
"Wah, ramai sekali ya? Sayang sekali, pesta menjijikkan yang dibangun di atas tumpukan fitnah ini harus berakhir sekarang," suara Aini menggelegar, memotong pembacaan doa yang belum sempat selesai.
Varo seketika berdiri, wajahnya berubah pucat pasi, kehilangan seluruh rona darahnya seolah-olah ia baru saja melihat hantu. "A-Aini?! Mengapa... mengapa kamu bisa ada di sini?"
"Lho, Mas Varo lupa? Kamu kan pamitnya kemarin mau ziarah ke makam kakek di kampung sebelah, terus katanya mau ngurusin tanah almarhum kakek di kampung. Tapi kok malah ziarah ke pelaminan adik kandungku sendiri? Hebat banget ya akting kamu," sindir Aini diikuti dengan tawa hambar yang menyayat hati.
Ibu Dewi segera berdiri dengan wajah memerah menahan amarah yang meledak.
"Aini! Apa-apaan kamu datang ke sini hanya untuk membuat keributan? Pergi kamu sekarang juga! Kamu itu sudah bukan bagian dari keluarga ini setelah kamu selingkuh dan dicerai Varo!"
Aini tertawa hambar, menatap ibunya dengan tatapan nanar yang penuh kekecewaan. "Selingkuh? Dicerai? Wah, Ibu, akting Ibu jauh lebih hebat dari artis papan atas ya? Kapan Mas Varo menceraikan aku, Bu? Mana surat cerainya? Mas Varo saja baru tadi pagi mengirim pesan mesra bilang masih mencintai aku!"
Ibu-ibu di barisan depan mulai gaduh dan saling pandang.
"Lho, belum cerai? Katanya sudah cerai bulan lalu?" seru Bu Ika bingung.
Aini menatap warga dengan tegas, menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya. "Ibu-ibu sekalian, kalian sudah ditipu oleh drama murahan ini. Saya tidak pernah selingkuh, apalagi dicerai. Justru saya bekerja lembur bagai kuda di kota untuk membiayai hidup Ibu dan kuliah Cilla, sementara di belakang saya, mereka berdua merencanakan pernikahan zina ini menggunakan uang yang saya kirimkan!"
Siska segera bergerak dengan gesit. Ia menyebarkan ratusan lembar foto ke udara hingga berhamburan di atas meja tamu, di hadapan penghulu, bahkan beberapa mendarat tepat di pangkuan Varo. Foto-foto tersebut memperlihatkan bukti otentik kemesraan Varo dan Cilla di sebuah kamar, lengkap dengan catatan waktu yang menunjukkan kejadian itu berlangsung saat Aini sedang berada diluar.
"Lihat semuanya! Lihat siapa mempelai wanita yang kalian puji-puji ini! Dia adalah seorang wanita perebut suami kakak kandungnya sendiri! Dan Mas Varo menikahi Cilla bukan karena 'kasihan', tapi karena mereka sudah berzina sampai Cilla hamil!" teriak Siska sembari terus merekam kepanikan yang terjadi.
Warga desa tersentak ngeri.
"Astaga! Jadi Aini difitnah mandul dan selingkuh supaya mereka bisa melegalkan hubungan gelap ini?" bisik warga dengan nada jijik.
"Tega benar Bu Dewi menjelekkan anak kandungnya sendiri demi membela anak kesayangan yang tidak tahu malu ini!"
Aini menatap ibunya dengan air mata yang mulai menggenang.
"Ibu tega ya... Ibu bilang ke orang kampung aku mandul supaya Mas Varo punya alasan untuk poligami? Ibu bilang aku selingkuh supaya Ibu terlihat seperti korban yang disia-siakan anak sulungnya? Ibu benar-benar bukan manusia!"
Siska segera menyalakan pengeras suara, memutar rekaman suara pengakuan Varo dan Cilla kepada ibu Sarah dan Pak Wijaya, serta merencanakan pernikahan diam-diam di kampung beberapa minggu lalu. Suara Ibu Dewi yang menyebut Aini sebagai "ATM berjalan yang bodoh dan harus segera disingkirkan" terdengar jelas menggelegar ke seluruh penjuru tenda.
"Jadi itu semua berita palsu?" teriak Bu RT dengan nada marah.
"Ternyata kalian keluarga penipu!"
Ibu Sarah, mertua Aini, mencoba melangkah maju untuk menampar menantunya itu guna menutupi rasa malunya.
"Kurang ajar kamu! Anakku terpaksa menikah lagi karena kamu itu MANDUL! Kamu tidak berguna bagi keluarga kami karena tidak bisa memberi keturunan!"
"MANDUL?!" Siska tertawa dengan nada mengejek yang sangat kencang.
"Heh, Ibu Sarah, jangan asal bicara kalau tidak mau malu tujuh turunan! Nih, lihat sendiri hasil lab Varo yang selama ini dia sembunyikan!" Siska melemparkan dokumen medis.
"Anak kesayangan Ibu ini yang tidak subur! Varo yang bermasalah! Jadi kalau sekarang Cilla mengaku hamil... mending Ibu tanya dia, itu anak siapa? Karena secara medis, Varo hampir mustahil bisa menghamili perempuan!"
Keadaan seketika kacau balau bagaikan kapal pecah. Varo menatap Cilla dengan sorot mata penuh kebencian dan keraguan yang mendalam, sementara Cilla tampak gemetar hebat dan mencoba meraih tangan Varo namun ditepis dengan sangat kasar. Ibu Sarah seketika jatuh pingsan karena menanggung malu yang luar biasa, sementara Pak Wijaya hanya bisa menunduk dalam, tak sanggup lagi menatap wajah para tetangga yang kini menghujat mereka tanpa ampun.
"Nikmati sisa hidup kalian dalam kehinaan yang abadi. Hari ini, gue bukan cuma lepasin lo, Varo, tapi gue buang lo ke tempat sampah, tempat di mana sampah sepertimu seharusnya berada!"
Aini berbalik dan melangkah meninggalkan lokasi dengan sangat anggun, diikuti oleh Siska yang memberikan isyarat jempol mengejek ke arah kerumunan warga. Pesta pernikahan itu berakhir tragis, meninggalkan luka yang dalam sekaligus kepuasan atas terungkapnya kebenaran.
BERSAMBUNG...