ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24
Wei Li memutuskan keluar rumah tanpa alasan strategis. Bukan rapat. Bukan pertemuan. Bukan umpan. Keputusan itu datang begitu saja, pagi hari, saat ia duduk di tepi ranjang dan menyadari satu hal yang sederhana tapi mengganggu: ia sudah tiga minggu tidak pernah berjalan di tempat yang tidak punya kamera internal milik Kun A Tai.
Ia mengusap wajahnya, lalu menghela napas panjang. 'Kalau gue terus begini, gue lupa rasanya hidup normal' pikirnya. 'Dan itu lebih bahaya dari Shen Yu An'.
Ia bangkit, membuka lemari, lalu berhenti lama di depan deretan pakaian yang terlalu rapi. Tangannya bergerak ragu, akhirnya mengambil sweater abu-abu sederhana dan celana hitam tanpa potongan tajam. Tidak ada logo. Tidak ada kesan “penting”.
“Gue mau keluar,” katanya sambil meraih tas kecil. Jae Hyun yang berdiri di dekat pintu langsung menoleh. “Ke mana, nyonya?” Wei Li mengikat rambutnya asal. “Mall.” Jae Hyun berkedip. “Keperluan?”
“Pengin jalan,” jawab Wei Li singkat. “Makan. Liat orang. Hal-hal manusia.” Jae Hyun terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Saya ikut.” Wei Li menoleh. “Gue nggak bilang—”
“Anda tidak perlu bilang,” potong Jae Hyun halus. “Itu tanggung jawab saya.”
Wei Li mendecak, tapi tidak membantah. “Pake baju biasa. Jangan keliatan kayak mau nyulik orang.”
“Saya tersinggung,” kata Jae Hyun. “Tapi saya mengerti.” Perjalanan ke mall memakan waktu tiga puluh menit.
Beijing pagi itu ramai dengan cara yang terasa… normal. Orang-orang berdesakan di trotoar, suara klakson bercampur obrolan, aroma makanan jalanan menyusup lewat jendela mobil. Wei Li menatap keluar, dagunya bertumpu di tangan. Bahunya perlahan mengendur.
Gue kangen ini, pikirnya. Kangen jadi anonim. Mall itu besar, terang, dan penuh suara. Musik lembut dari speaker, langkah kaki, tawa kecil dari sekelompok remaja. Wei Li berhenti sesaat di pintu masuk, matanya bergerak cepat bukan karena waspada, tapi karena terlalu banyak pilihan. “Terlalu ramai?” tanya Jae Hyun.
Wei Li menggeleng. “Justru itu.” Mereka berjalan tanpa tujuan jelas. Wei Li melambat, memperhatikan etalase toko seolah-olah ia benar-benar punya waktu untuk memilih sesuatu hanya karena suka.
Ia masuk ke toko pakaian kasual. Mengambil satu sweater, meraba bahannya, lalu mengembalikannya. “Lo liat ini?” katanya sambil mengangkat kaus polos. Jae Hyun menatapnya. “Sederhana.” Wei Li tersenyum kecil. “Itu poinnya.” Ia membeli dua kaus. Tidak mahal. Tidak istimewa.
Di kasir, saat kartu dibayar, Wei Li merasakan sesuatu yang aneh—kepuasan kecil yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Mungkin gini rasanya hidup biasa, pikirnya. Mereka lanjut ke toko alat tulis. Wei Li berhenti lama di rak buku catatan. Jarinya menyusuri sampul-sampul kosong. “Lo tau,” katanya pelan, “dulu gue suka nulis.” Jae Hyun menoleh. “Menulis apa?”
“Hal nggak penting,” jawab Wei Li. “Pikiran random. Rencana yang nggak kejadian.” Ia mengambil satu buku catatan polos, kertas tebal, tanpa garis. “Ini hobi baru?” tanya Jae Hyun.
“Percobaan,” kata Wei Li. “Kalau gagal, ya udah.”
Mereka makan siang di restoran kecil di sudut mall. Tidak privat. Tidak mewah. Hanya meja kayu dan kursi sederhana. Wei Li duduk menyandar, kedua tangannya memeluk gelas teh dingin. Ia mengamati orang-orang dan pasangan tua, keluarga kecil, anak muda yang tertawa terlalu keras. “Gue iri,” katanya tiba-tiba. Jae Hyun mengangkat alis. “Pada siapa?”
“Semua,” jawab Wei Li jujur. “Mereka nggak mikir besok siapa yang mati.” Jae Hyun menatap meja, lalu kembali menatap Wei Li. “Anda bisa berhenti.” Wei Li menggeleng. “Nggak sesimpel itu.” Ia mengaduk es di gelasnya, suara kecil berdenting. “Tapi gue pengin punya bagian kayak gini. Sekali-sekali.”
Jae Hyun mengangguk. “Itu masuk akal.” Saat mereka keluar restoran, ponsel Wei Li bergetar. Nama Kun A Tai muncul di layar. Wei Li menjauh sedikit sebelum menjawab. “Ada apa?”
“Kau di luar,” kata Kun A Tai. Bukan pertanyaan. Wei Li menghela napas kecil. “Aku cuma ke mall.” Keheningan singkat di seberang. “Aman?” tanya Kun A Tai. Wei Li melirik sekitar. “Aman.”
“Kau ingin aku menjemput?” tanyanya. Wei Li tersenyum tipis. “Tidak. Aku ingin pulang seperti orang biasa.”
“Baik,” jawab Kun A Tai. “Tapi jangan lama.” Wei Li menutup telepon. Ia menatap ponsel beberapa detik, lalu memasukkannya kembali ke tas. “Kontrolnya ketat,” komentar Jae Hyun. Wei Li mendengus. “Dia peduli.”
“Dan itu berbahaya,” tambah Jae Hyun. Wei Li tidak menyangkal.
Sore itu, mereka berhenti di toko alat lukis kecil. Wei Li berdiri lama di depan rak cat air. “Gue nggak bisa gambar,” katanya. “Tidak harus bisa,” jawab Jae Hyun. “Hobi tidak perlu hasil.” Wei Li tersenyum tipis, lalu mengambil satu set kecil. Murah. Sederhana.
Di rumah malamnya, Wei Li duduk di meja kecil dekat jendela. Buku catatan terbuka. Cat air tersusun rapi. Ia menatap kertas kosong terlalu lama. Tangannya terangkat, lalu turun lagi. Gue biasa ngerjain sistem jutaan dolar, pikirnya. Tapi kertas kosong bikin gue beku. Ia tertawa kecil, lalu mulai menorehkan warna asal. Tidak membentuk apa-apa. Hanya garis dan noda. Anehnya, dadanya terasa lebih ringan. Ketukan di pintu.
Kun A Tai masuk, berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia mengamati meja, kertas, warna. “Kau melukis?” tanyanya. Wei Li menoleh. “Mencoba." Kun A Tai mendekat. Ia tidak menyentuh apa pun. “Kenapa?”
Wei Li mengangkat bahu. “Supaya otak gue nggak isinya strategi doang.” Kun A Tai terdiam sejenak. “Itu ide bagus.” Wei Li melanjutkan coretannya. “Aku nggak mau hidup cuma buat bertahan.”
Kun A Tai menatapnya lebih lama. “Aku mengerti.” Wei Li berhenti, menoleh. “Kamu serius?”
“Tidak sepenuhnya,” jawab Kun A Tai jujur. “Tapi aku mengerti keinginanmu.” Wei Li tersenyum kecil. “Itu cukup.” Keheningan jatuh. Bukan canggung. Tenang. “Ada pergerakan?” tanya Wei Li akhirnya. Kun A Tai mengangguk. “Shen Yu An mundur satu langkah.”Wei Li menegakkan punggung. “Itu jarang.”
“Dia menunggu,” kata Kun A Tai. Wei Li kembali ke kertasnya. “Biarin.” Kun A Tai mengamati warna yang bercampur. “Kau berubah.” Wei Li mengusap lengannya. “Aku cuma nggak mau lupa siapa gue.” Kun A Tai mengangguk pelan.
Malam itu, sebelum tidur, Wei Li menulis satu kalimat di buku catatannya 'Gue mau hidup. Bukan cuma menang.' Ia menutup buku, mematikan lampu, dan berbaring. Di luar, kota masih bising. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Wei Li tidak menunggu ancaman. Ia membiarkan dirinya bernapas.