Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Lo turun sini deh." Damian memberhentikan mobilnya berjarak 500 meter dari sekolahnya.
Gwen menoleh ke samping, tepatnya ke arah sang suami dengan dahi berkerut. "Kok di sini? Ini sih masih jauh dari sekolah, Dam."
"Lo mau kita ketahuan, apa? Kemarin aja waktu kita kompakan nggak masuk, tuh temen-temen gue nyari ke rumah. Gue takut kalau lo sama gue keseringan bareng, pikiran mereka bakal ke mana-mana. Yang ada nih rahasia kebongkar, emang lo mau?"
Gwen mendengus, ia lalu mengambil tasnya, dan menyampirkannya di bahu. Malas juga berdebat dengan Damian di pagi hari. Masih bagus sih nih preman mau memberi tumpangan. "Iya gue turun, tuh gengsian lo muncul lagi. Kemarin sakit, lo manja banget kek anak ilang. Sekarang balik lagi sifat angkuh lo."
"Ini demi kebaikan bersama, lo mau ketahuan kalau kita udah nikah? Kalau gue sih ogah."
"Nggak, gue juga nggak mau. Bisa gempar tuh satu sekolah, gue paling males jadi bahan gosip. Ya udah gue turun di sini." Gwen hampir membuka pintu mobil. Namun, urung ia lakukan, karena dirinya kembali menoleh pada Damian. "Dam, gue boleh minta nomor ponsel lo, nggak?"
"Buat apaan, emang?" tanyanya. Perasaan Gwen tak pernah meminta nomor ponselnya sejak mereka resmi menikah, kenapa sekarang tiba-tiba meminta nomor Ponselnya. Damian mulai berpikiran buruk, jangan-jangan Gwen mau menggunakan nomor ponselnya untuk dibawa ke orang pintar, guna melancarkan aksi memelet dirinya.
"Ya gue pengen minta aja, emang napa? Emang si Nenek lampir itu doang yang lo simpen nomornya." Gwen berdecak kesal.
Damian tertawa mendengar penuturan sang istri.
"Cemburu, lo? Udah biasa, cowok seganteng gue pasti banyak penggemarnya."
"Gue ogah jadi fans lo, palingan gue sih jadi hater lo.
Udah, mana nomor hape lo. Keburu telat masuk nih."
Damian akhirnya memberikan nomor ponselnya pada Gwen dengan malas-malasan.
"Udah nih, buruan sono keluar. Sebelum gue kecyduk satpol PP karena berduaan dalam mobil sama lo dengan seragam sekolah."
Srett
"Aduh!" seru Damian karena menjadi korban pencubitan oleh Gwen.
"lo seneng banget ngelakuin kekerasan sama gue,"
ringisnya sembari mengusap-usap lengannya yang dicubit oleh Gwen.
"Bodo amat, lo kalau ngomong suka ngawur. Udah deh gue turun di sini," ujarnya. Namun niatnya itu ia urungkan lagi. "Dam, ini nggak kejauhan?"
"Masih mending, kemarin gue nurunin lo satu kilometer dari sekolah."
Gwen mendelik padanya, baru kemarin ia merasakan perubahan sikap Damian yang sudah lebih baik, eh sekarang si preman itu kambuh lagi angkuhnya.
Gwen buru-buru turun dari mobil, melihat ke kanan dan ke kiri. Dirasa aman, ia segera berjalan menjauh dari mobil sang suami.
Gwen berjalan sekitar lima menit, sebelum suara klakson sepeda motor membuat ia reflek berhenti melangkah, dan menoleh pada si pelaku.
"Pagi, Gwen."
"Pagi. Eh lo, Xel. Tumben berangkat lebih awal?" tanyanya.
Axel tersenyum di balik helm full facenya. "Nggak apa-apa, pengen berangkat pagi aja." Padahal alasan Axel sebenarnya adalah, agar ia bisa berlama-lama dengan Gwen." Lo jalan kaki lagi, nggak capek?"
"Tadi gue naik ojek, tapi motor abang ojeknya mogok.
Yah daripada gue nungguin motornya bener, ya gue jalan kaki aja," ujarnya memberi alasan. Mana mungkin dia mengatakan, jika dirinya semobil dengan Damian, bisa-bisa itu gosip semakin membludak.
"Oh gitu, ya udah ayo bareng sama gue."
Sebenarnya Gwen merasa tak enak, tapi jam yang terus berjalan akan membuatnya terlambat. "Oke deh, tapi nggak ngerepotin lo 'kan, Xel?"
"Ngerepotin apaan, sih? Udah ayo naik, kaya sama siapa aja."
Gwen mengangguk, lalu naik ke atas motor sport yang dikemudikan oleh Axel. Setelahnya motor itu melaju dengan kecepatan sedang menuju sekolah mereka.
Masih di tempat yang sama, Damian menahan kesal saat melihat Gwen lagi-lagi naik sepeda motor milik Axel. Cowok yang paling Damian benci saat ini. Karena selalu dekat dengan Gwen.
"Sialan tuh cowok selalu ngambil kesempatan aja," gerutu Damian sembari meremas stir mobilnya. Hatinya panas entah kenapa. Cemburu? Iya, tapi Damian yang gengsian tak mau mengakuinya. Malah selalu berpikir ia terkena guna-guna.
***
"Akhir-akhir ini si Damian jarang berbuat ulah, ya? Itu tadi dia dateng nggak telat, bagus deh kalau udah tobat," ujar Axel yang mengekor pada Gwen masuk ke dalam kelas, setelah menemaninya mendisiplinkan bocah-bocah badung yang sering melanggar peraturan.
"Mungkin dia dapat pencerahan setelah nggak masuk kemarin," ujar Gwen yang langsung membuat langkah kaki Axel berhenti mendadak.
"Tunggu deh, Gwen. Kok lo bisa tahu si Damian nggak masuk kemarin? Kan lo juga nggak masuk sekolah?"
Pertanyaan Axel membuat Gwen kini ketar-ketir.
Sialnya dia malah keceplosan mengatakan jika Damian juga tidak masuk. Bisa gawat kalau dia ketahuan.
Mencoba berpikir, akhirnya Gwen tersenyum dalam hati setelah mendapat ide cemerlang. "Ah, itu gue dikasih tahu Pak Yus tadi."
Axel mengangguk saja, kemudian keduanya kembali berjalan ke arah kelas mereka. Di dalam sana, kelas sudah riuh dengan siswa yang heboh sendiri karena jam pertama memang kosong hari ini.
"Rame bener, Bu Hasna nggak masuk, ya?" tanya Gwen yang kini berjalan ke arah kursinya di samping Jane.
"Bu Hasna izin, udah dari kemarin. Lo sih nggak masuk, jadi nggak tahu. Lusa Bu Hasna mau nikah, jadi beliau izin nggak masuk." Jane yang asyik berselancar di sosmed, kini mendongak dan angkat bicara.
Gwen mengangguk mengerti, ia membuka buku novel kesayangannya yang dia ambil dari dalam tas, karena pasti hari ini pun tugasnya hanya mengerjakan soal di buku paket.
"Eh, nikah muda enak kali, ya? Apalagi kalau masih sekolah gini, terus nikahnya sama cowok populer si sekolah. Habis itu nikahnya dirahasiain. Ih uwu banget kayaknya, ya." Jane tersenyum sendiri, hingga membuat Gwen terbatuk-batuk, karena sekarang ia pun seperti apa yang Jane ceritakan.
"Lo kenapa, Gwen. Lo sakit, ya?" Axel buru-buru menepuk punggung Gwen. "Mau gue beliin minum?" tawar Axel. Hal itu tak luput dari penglihatan Jane. Gadis itu langsung diam, merasa iri dengan sikap Axel ke Gwen.
Namun, Jane tetaplah Jane. Gadis itu dengan cepat kembali ceria.
"Nggak usah, Xel. Gue nggak apa-apa."
"Beneran lo Gwen nggak apa-apa? Oh ya kemarin gue, Mika, Axel, sama Jun dateng ke rumah lo, dan kita ketemu Dirly. Kata Adek lo, lo lagi ke rumah nenek lo." Jane kembali menimpali. Ia menjauhkan ponselnya, dan kini fokus bicara dengan kedua sahabatnya.
"Ah, iya. Kemarin gue ke rumah Nenek gue yang lagi sakit, terpaksa gue izin." Gwen menghembuskan napas lega. Untung kemarin Dirly memberitahunya terlebih dahulu, dan ia bisa memberi alasan yang tepat.
"Tapi, Nenek lo dah sembuh, kan?" Axel bertanya dengan raut wajah khawatir.
'Bukan sembuh lagi, orang Nenek gue udah meninggal' batin Gwen. "Iya udah."
"Eh, entar ke kantin yuk, gue mau ada yang diomongin nih sama kalian." Axel tersenyum lembut menatap Gwen dan Jane bergantian.
"Eh apaan?"
"Ada deh, udah ntar juga kalian tahu."
Gwen mengedikkan bahunya acuh, dan sekarang ia memilih fokus pada novel yang ia baca.
***
"Eh Dam, mana oleh-olehnya?" Axton mengulurkan tangannya di depan wajah Damian, lalu si tampan itu segera menepisnya dengan cepat.
"Oleh-oleh apaan. Nggak ada oleh-oleh."
"Lah, kemarin lo bilang pergi ke luar negeri sama Nyokap lo." Axton mencibir, ia menjauhkan tangannya, lalu menolehkan wajahnya ke penjuru kantin.
"Eh, Dam. Musuh lo tuh, lagi mesra-mesraan sama cowoknya."
Damian yang sibuk bermain ponselnya, kini mengalihkan atensinya pada seseorang yang Axton maksud.
Sialnya, pemandangan di depan sana membuat hati Damian terbakar api abadi.
Bagaimana tidak, si Axel dengan tidak tahu malunya mengusap bibir Gwen dengan tisu, Damian jadi merasa tubuhnya mendidih.
Di ujung sana, Gwen memang tengah memakan bakso, dan kuahnya menetes ke dagu. Dengan cekatan Axel membantu membersihkannya dengan tisu.
"Eh, udah Xel. Gue bisa sendiri," ujar Gwen, dan Axel yang masih keras kepala tak mau menjauhkan tangannya, yang sibuk membersihkan kuah bakso di dagu Gwen.
"Nggak apa-apa, Gwen. Nanggung nih, lo sih makannya kek anak kecil, belepotan."
Jane yang melihatnya hanya bisa menahan nyeri di ulu hati, tapi dia mencoba bersikap biasa saja. Memang dia siapa? Ia juga tak punya hak untuk marah pada Gwen, dan Axel. Dia juga bukan siapa-siapanya Axel. Bagi Gwen, persahabatan jauh lebih penting. Dia tak mau merusaknya hanya karena perasaan bodohnya pada Axel.
Prinsip Jane itu, cinta boleh tapi jangan berlebihan. Kalau tidak jodoh jatuhnya sakit dan susah diobati. Lebih baik Jane pasrahkan saja jodohnya pada Tuhan. Nanti kalau Axel jodohnya, toh Tuhan akan menyatukan mereka. Lagipula, mereka masih muda terlalu dini untuk memikirkan hal semacam itu.
"Udah Gwen, mumpung ada yang merhatiin lo." Jane terkikik.
"Apaan sih, ntar ada yang marah."
"Nggak lah, Gwen. Orang gue jomblo kok." Axel langsung melabeli dirinya dengan kata 'Jomblo'
Mika dan Jun saling senggol, dan langsung terkekeh bersama. "Nah kode tuh Gwen, bakalan ada PJ nih," goda keduanya.
"Apaan sih, lo berdua kali."
Mika menatap Jun, dan yang ditatap justru pura-pura sibuk.
Gwen juga tak mau ikut campur urusan mereka berdua, sebelum keduanya mau berterus terang tentang hubungan dua orang itu sebenarnya.
"Ya udah sih, gue mau ketemu Pak Yus dulu." Gwen kemudian merogoh saku rok seragam yang ia pakai.
Namun.... "Kok nggak ada, ya."
"Kenapa, Gwen?" tanya Axel.
"Ini, duit gue kok nggak ada buat bayar bakso nih."
"Apa jatoh kali, Gwen." Kali ini Jane yang berbicara.
"Nggak tahu juga sih, Jane. Perasaan tadi duitnya gue kantongin. Terus gue bayarnya gimana ini?"
"Udah sih, Gwen. Biar gue yang bayar." Axel sudah mengeluarkan dompetnya dari dalam saku celana, namun Gwen menggeleng cepat.
"Gue nggak mau ngerepotin lo, Xel. Udah gue telepon Dirly dulu, biar ke sini. Ntar gue ngomong sama Bu kantin, uangnya gue bayar pas balik sekolah."
Gwen mengambil ponselnya yang ia taruh di atas meja di samping mangkok baksonya. Bukan, ia bukan menelpon Dirly melainkan....
"Hape lo bunyi, Dam!" seru Christ menyenggol lengan sahabatnya itu, karena Damian sibuk memperhatikan gerak-gerik istrinya, dan cowok sok iyes, sebutan yang Damian sematkan pada Axel.
"Huh, apaan?"
"Hape lo bunyi," ujar Christ.
Damian mengangguk, dan langsung melihat nama siapa yang berada di layar ponselnya.
'Babu memanggil'
"Dari siapa, Dam Kok lo kasih nama Babu, apa itu Bi Asih?" sambar Jason yang selalu kepo dengan urusan orang lain.
"Apaan sih, iya ini Bi Asih." Sudah terlanjur, lagipula bagus juga. Jadi, mereka tidak tahu jika yang menelponnya adalah Gwen, yang kontaknya diberi nama Babu oleh Damian.
"Wuih keren Bi Asih, foto profilenya cowok Korea. Wah Bi Asih ternyata K-popers lover ya," sambar Axton.
Damian mengacuhkan kedua temannya yang super kepo itu. Ia memilih berdiri, menjauh dari meja karena ingin mengangkat panggilan dari sang istri. Namun, sebelum panggilannya diangkat justru sudah dimatikan lebih dahulu. Akan tetapi, saat Damian menoleh ke meja Gwen, Axel lah pelaku yang mematikan panggilan di ponsel sang istri.
"Udah, nggak usah lo telepon si Dirly, kasihan. Gue yang bayar aja."
"Tapi, Xel."
"Udah deh, kali ini gue yang traktir. Oh ya, sekalian minta doanya biar dua minggu lagi gue lolos olimpiade. Nanti kalau gue lolos kalian semua gue ajakin liburan ke Bali."
"Beneran lo, Xel!" seru Jane yang sudah ribut sendiri.
"Iya, maka dari itu biarin gue yang bayar bakso lo deh, Gwen."
Gwen kembali menggeleng, ia merasa tak enak hati jika harus merepotkan Axel. "Nggak usah, Xel. Gue nggak mau ngerepotin lo."
"Udah Gwen, rejeki mah jangan ditolak," timpal Jun.
"Tapi, kan."
"Udah, nggak usah tapi-tapian. Gue yang traktir lo kali ini." Axel keras kepala, dan Gwen terpaksa mengangguk mengiyakan.
Akan tetapi, di ujung sana emosi Damian tengah meledak-ledak, karena lagi-lagi si Axel menjadi pahlawan kesiangan bagi Gwen. Ia yang sudah tak mampu menahan amarahnya, beringsut menghampiri meja, di mana Gwen dan teman-temannya tengah makan.
"Ikut gue!" serunya dengan tangan langsung mencekal lengan Gwen. Gwen yang tak siap karena Damian menyeretnya tiba-tiba, kini hampir kehilangan keseimbangan, dan jatuh ke lantai. Untung kali ini refleknya bagus.
"Lo apa-apaan sih, main nyeret si Gwen." Axel berdiri di depan Gwen menjadi tameng.
"Minggir lo, ini urusan gue sama dia. Lo pada nggak usah ikut campur."
Axel geram, mungkin selama ini dia diam. Namun, kali ini Damian sudah keterlaluan. "Jangan main kasar sama cewek."
"Bukan urusan lo."
"Itu urusan gue, Gwen sahabat gue."
Ingin rasanya Damian tertawa lantang, dan mengatakan 'Lo sahabatnya, tapi gue suaminya,' tetapi, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Sudah gila apa dia membongkar rahasianya sendiri.
"Baru sahabat, bukan cowoknya apalagi suaminya. Minggir lo, dan lo ikut gue, kalau nggak mau muka temen lo ini babak belur," ancam Damian sembari menunjuk Axel.
Gwen akhirnya menuruti Damian, lagipula dia tidak mau membuat keributan di kantin. Dia juga tak mau ambil resiko, Axel dihajar Damian dan gerombolannya.
Akhirnya Gwen mengikuti langkah Damian yang kini menggenggam lengannya cukup kuat. Entah, Gwen juga tak habis pikir ada apa dengan suaminya ini.
...***Bersambung***...