Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Harusnya Aku Tak Peduli
“Minumannya, Pak?” Pramugari menawarkan sopan setelah pesawat stabil di udara.
“Orange juice saja,” jawab Arjuna.
Minuman itu ia seruput perlahan, tapi rasanya hambar. Pikirannya melayang ke belakang, ke gadis yang mungkin sudah terlelap.
Satu jam penerbangan terasa panjang. Arjuna tak bisa berkonsentrasi membaca majalah, apalagi menonton film. Ia hanya menghela napas berkali-kali.
Akhirnya, ia menekan tombol sabuk pengaman dan berdiri.
“Permisi, saya mau ke toilet,” katanya pada pramugari.
Namun arah langkahnya bukan hanya menuju toilet. Ia melangkah perlahan ke barisan belakang.
Matanya langsung tertuju pada Lidya. Gadis itu bersandar di kursi, kepalanya miring ke jendela. Rambut hitam panjangnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya teratur. Tidur.
Arjuna berhenti beberapa langkah darinya. Dadanya naik-turun tak menentu.
"Dia benar-benar tidur … dan bahkan tak peduli aku ada atau tidak."
Tangannya mengepal. Ada dorongan untuk mendekat, untuk membetulkan posisi selimut tipis yang menutupi tubuh gadis itu. Tapi ia menahan diri.
Tidak. Aku tidak boleh. Dia adik iparku.
Arjuna menoleh cepat, pura-pura menuju toilet. Di dalam, ia menatap wajahnya sendiri di cermin.
“Bodoh,” gumamnya lirih. “Kenapa aku masih peduli? Seharusnya aku tidak peduli sama sekali.”
Tangannya menyiram air ke wajah, mencoba menetralkan pikirannya. Tapi justru rasa bersalah makin menggerogoti.
Ketika keluar dari toilet, ia kembali melewati barisan tempat Lidya duduk. Ia berhenti sebentar.
Sekali lagi, matanya jatuh pada wajah tenang gadis itu yang terlelap. Ada rasa aneh menggelayut—antara rindu, marah, dan kehilangan.
Arjuna memalingkan wajah cepat, lalu kembali ke kursinya. Ia duduk, menutup mata, mencoba mengatur napas.
“Harusnya aku tidak seperti ini. Aku suaminya Eliza. Lidya hanya adik iparku. Hanya itu.”
Namun semakin ia berkata begitu, hatinya semakin berontak.
Pesawat berguncang sedikit karena turbulensi. Penumpang diminta kembali mengenakan sabuk pengaman. Lidya sedikit bergerak, tapi tidak benar-benar terbangun.
Arjuna melirik ke belakang, khawatir. Tapi ia tahan dirinya. Ia hanya menggenggam erat sandaran kursi.
Pramugari kembali lewat, memeriksa kondisi penumpang. Arjuna memanggil pelan, “Mbak … adik saya di belakang, dia tidur. Tolong pastikan sabuk pengamannya terpasang, ya.”
Pramugari tersenyum. “Baik, Pak.”
Beberapa menit kemudian, Arjuna melihat pramugari menunduk sebentar di sisi Lidya, membetulkan sabuk pengamannya. Ia merasa lega.
Waktu berlalu. Penerbangan hampir selesai. Pengumuman pilot terdengar, meminta penumpang bersiap mendarat.
Arjuna menegakkan kursinya, tapi matanya masih sesekali melirik ke belakang.
Lidya baru terbangun saat pesawat mulai menurunkan ketinggian. Ia mengusap wajah, lalu merapikan rambut.
Arjuna menoleh sedikit, berusaha mencari tanda-tanda kelelahan di wajah gadis itu. Dan benar, wajah Lidya pucat.
"Dia pasti tidak tidur nyenyak semalam,” batinnya.
Pesawat akhirnya mendarat mulus di Jakarta. Penumpang bertepuk tangan kecil, lega.
Lidya berdiri, mengambil tas jinjingnya tanpa menoleh ke arah Arjuna.
Arjuna sendiri masih duduk, menahan koper kabin yang akan ia ambil. Pandangannya jatuh ke arah Lidya yang sudah bersiap keluar. Ia ingin memanggil, ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu.
***
Keluar dari kabin, mereka berjalan beriringan tapi tetap dengan jarak. Arjuna akhirnya memberanikan diri bicara pelan, “Lidya .…”
Gadis itu menoleh cepat, tatapannya dingin. “Kita sudah sampai. Anggap perjalanan ini hanya perjalanan bisnis seperti biasanya. Tidak usah bahas apa-apa lagi. Aku tunggu janji Kak Arjuna untuk masalah uangnya.”
Arjuna terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang ia duga. Ia hanya bisa mengikuti langkah gadis itu menuju conveyor belt, menunggu koper masing-masing.
Dan dalam hati, ia kembali merutuk dirinya sendiri. "Kenapa aku membiarkan diriku peduli sejauh ini? Seharusnya aku tidak pernah melihat ke belakang tadi. Seharusnya aku tidak pernah … peduli pada Lidya."
Tapi hati manusia memang tak bisa begitu saja diatur.
Di tengah hiruk-pikuk bandara Soekarno-Hatta, dua jiwa itu semakin jauh, meski hanya dipisahkan oleh langkah dan kata-kata yang tak terucapkan.
“Lidya, koper kamu berat. Aku bantu bawa.” Suara Arjuna terdengar datar tapi cukup keras di tengah keramaian area kedatangan Bandara Soekarno-Hatta.
Lidya yang tengah menarik koper hitamnya menoleh sebentar. Wajahnya datar, bahkan terlalu tenang. “Tidak usah, Kak. Aku bisa sendiri.”
Nada suaranya sopan, tapi dingin—seperti tembok es yang berdiri tegak di antara mereka.
Arjuna tidak membantah, hanya diam sambil menatap punggung gadis itu yang berjalan cepat melewati deretan penumpang lain. Di tangan kanannya, ia masih memegang boarding pass yang terlipat, sementara tangan kirinya menenteng koper kabin. Langkahnya berat, seolah setiap gerakan mengandung beban yang tak kasatmata.
Udara Jakarta yang lembab segera menyambut mereka begitu keluar dari pintu otomatis terminal kedatangan. Hiruk pikuk orang menjemput, suara klakson, dan aroma kopi dari kafe bandara bercampur jadi satu.
Arjuna baru hendak membuka mulut ketika sebuah suara riang memotong udara.
“Mas Arjuna!”
Tubuh seorang wanita berlari kecil ke arahnya. Eliza. Rambut cokelat panjangnya bergerak seirama langkah, wajahnya berseri penuh rindu. Begitu sampai, ia langsung merangkul suaminya tanpa ragu—erat, nyaris seperti takut kehilangan.
Arjuna sempat tertegun sepersekian detik sebelum tangannya terangkat otomatis, membalas pelukan itu. “Eliza,” gumamnya pelan.
“Aku kangen banget, Mas,” ucap Eliza manja, matanya berbinar. Lalu, tanpa ragu, ia menarik wajah Arjuna dan mencium bibir suaminya—singkat, tapi penuh intensitas.
Beberapa orang di sekitar mereka sempat menoleh, tapi Eliza tidak peduli. Ia tertawa kecil, menyembunyikan wajahnya di dada Arjuna. “Akhirnya Mas pulang juga.”
Lidya yang berdiri tak jauh di belakang mereka segera memalingkan wajah. Ia menarik napas panjang, matanya menatap ke arah papan informasi bagasi, seolah sibuk mencari nomor penerbangan. Padahal hatinya bergetar aneh—bukan karena adegan itu baru pertama kali ia lihat, tapi karena kali ini terasa berbeda.
Biasanya ia hanya tersenyum tipis melihat kemesraan kakaknya dan Arjuna. Mereka memang pasangan serasi, semua orang tahu. Tapi entah kenapa, detik ini, dada Lidya terasa sesak. Ia bahkan tak bisa menjelaskan apa sebabnya.
“Lidya!” Eliza akhirnya sadar akan keberadaan adiknya. Ia menoleh dengan senyum lebar. “Ya ampun, kamu kok pucat! Capek, ya?”
Lidya berusaha tersenyum. “Sedikit, Kak. Lumayan melelahkan selama di Yogya. Pekerjaannya banyak. “
Eliza meraih tangan adiknya, menggenggam erat. “Makanya aku sudah bilang, jangan kerja terus. Harusnya kamu sesekali liburan juga. Biar pikiran dan badan segar.”
Lidya hanya mengangguk kecil. “Iya, Kak. Nanti akan aku pikirkan untuk liburan.”
Arjuna berdiri di samping Eliza, wajahnya tampak datar. Namun, matanya diam-diam memandangi Lidya—sejenak saja. Ada kekakuan yang tak biasa di sana, sesuatu yang ia sendiri tak ingin tunjukkan.
Bersambung .... ✍️
etapi knp aku berharap Lidya nantinya sm Arjun yak, apa gegara Eliza nyebelin.. 🤣
kira2 lidya akan pergi kemana ya....hmmm...penasaran nih mom....😄
cemburu yee 🤭