Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Tempaan Besi.
Delapan tahun setelah kejadian tragis.
Tatapan mata Swan Xin remaja yang tajam itu tak berkedip, sama dinginnya dengan bilah pedang baja di tangannya yang beradu dengan tongkat kayu milik Guru Besar Wen. Hawa dingin dari badai salju di puncak gunung ini seolah tak terasa, panas dari pertarungan sengit menjadi satu-satunya kehangatan. Delapan tahun telah menempa gadis kecil yang trauma itu menjadi seorang wanita muda yang gerakannya secepat dan semematikan badai di sekeliling mereka.
“Gerakanmu masih terlalu emosional,” kata Guru Besar Wen datar. Tongkatnya berputar, menangkis serangan tusukan yang mengarah ke dadanya. “Kemarahan membuatmu kuat, tapi juga membuatmu bisa ditebak.”
“Kemarahan membuatku tetap hidup, Guru,” balas Swan, napasnya mengepul menjadi uap putih. Ia melompat mundur, pedangnya menebas butiran salju yang turun lebat. “Guru, sendiri yang bilang, api bisa menjadi baja.”
“Tapi api yang tak terkendali hanya akan menghasilkan abu,” sahut Guru Wen. Ia menyerang balik dengan kecepatan yang tak terduga untuk pria seusianya. Ujung tongkatnya mengarah ke pergelangan tangan Swan. “Kau sudah menguasai tekniknya, tapi belum sepenuhnya menguasai dirimu.”
Swan memutar pergelangan tangannya di saat terakhir, membiarkan tongkat itu meleset hanya beberapa senti dari kulitnya. Ia memanfaatkan momentum itu untuk merendahkan tubuhnya, pedangnya menyapu rendah mengincar kaki sang guru.
“Dan ... Guru, masih terlalu banyak bicara saat bertarung,” cibir Swan.
Guru Wen tersenyum tipis. Ia melompat ke atas tunggul pohon, menghindari tebasan itu dengan mudah. “Pikiran seorang jenderal harus tetap jernih bahkan saat mulutnya sedang berdebat di istana.” Ia berhenti. Pertarungan itu berakhir begitu saja. “Sudah cukup untuk hari ini.”
Swan menegakkan tubuhnya, rasa frustrasi terpancar samar di wajahnya. “Aku hampir mengenaimu.”
“‘Hampir’ tidak akan memenangkan perang, Swan Xin,” ucap Guru Wen. Dia berjalan kembali ke arah pondok, jubah abu-abunya mulai tertutup lapisan salju tipis. “Tapi kau sudah siap. Sudah lebih dari siap.”
Di dalam kehangatan pondok, Guru Wen meletakkan sebuah gulungan bambu yang tersegel rapi di atas meja. Swan melepaskan sarung tangan kulitnya, merasakan jari-jarinya yang kaku mulai menghangat di dekat perapian.
“Apa ini?” tanyanya, matanya mengawasi gulungan itu dengan curiga.
“Ujian terakhirmu,” jawab Guru Wen. Nada suaranya serius, tanpa kehangatan yang biasanya ada. “Bukan ujian pedang atau panah. Ujian kemauan.”
Swan mendekat, tangannya membuka segel lilin merah itu dengan hati-hati. Ia membuka gulungan itu. Di dalamnya tertulis sebuah nama, deskripsi singkat, dan sebuah peta kecil yang menunjukkan lokasi sebuah kedai teh di kota perbatasan.
“Siapa ini?” tanya Swan. Alisnya berkerut. “Zhang Wei. Pedagang rempah. Gak pernah kudengar namanya.”
“Dia bukan siapa-siapa,” kata Guru Wen pelan. “Hanya seorang pedagang biasa yang sial. Beberapa minggu lalu, dia tanpa sengaja mendengar percakapan antara kurir Jenderal Zen dan seorang pejabat korup. Dia tidak tahu apa yang didengarnya, tapi kurir itu melihatnya. Sekarang, dia adalah mata rantai yang lepas.”
Hening sejenak. Hanya suara derak kayu yang terbakar di perapian yang mengisi ruangan.
“Jadi, aku harus apa?” tanya Swan, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
“Hilangkan dia,” ujar Guru Wen tegas. “Sebelum faksi Zen menyadari keberadaannya dan menginterogasinya. Misi kita terlalu penting untuk digagalkan oleh kesialan seorang pedagang. Bunuh dia, dan pastikan tidak ada yang tahu.”
Swan menatap gulungan itu. Zhang Wei, usia empat puluh dua, memiliki seorang istri dan dua anak perempuan. Dia hanya orang biasa yang berada di tempat yang salah pada waktu yang salah. Seperti ayahnya.
“Tidak,” kata Swan pelan, suaranya mantap.
Guru Wen mengangkat kepalanya, tatapannya tajam. “Apa katamu?”
“Aku katakan, tidak,” ulang Swan. Ia mendorong gulungan itu kembali ke arah gurunya. “Aku gak akan membunuh orang yang gak bersalah.”
“Ini bukan tentang salah atau benar!” bentak Guru Wen, suaranya menggema di pondok kecil itu. “Ini tentang pragmatisme! Ini tentang gambaran yang lebih besar! Satu nyawa untuk menyelamatkan dinasti! Kau sudah dilatih selama delapan tahun untuk ini! Untuk bisa mengesampingkan emosi!”
“Anda salah, Guru,” balas Swan dengan tenang yang menakutkan. Matanya berkilat menantang. “Guru melatihku untuk menuntut keadilan bagi Ayahku. Ayahku dibunuh atas dasar fitnah, dituduh sebagai pengkhianat padahal dia orang yang paling setia. Bagaimana aku bisa membersihkan namanya dengan melakukan kejahatan yang sama pada orang lain?”
“Jadi kau akan membiarkan dia hidup dan membahayakan seluruh rencana kita?” desak Guru Wen, berdiri dari kursinya.
“Tentu saja tidak,” jawab Swan. Senyum miring yang penuh percaya diri dan sedikit memberontak tersungging di bibirnya. “Aku akan membuatnya dihukum. Tapi dengan cara yang benar.”
Sebelum Guru Wen sempat bertanya lebih jauh, Swan sudah mengenakan jubah berkerudungnya dan menyambar kantong kecil berisi beberapa koin perak.
“Kau mau ke mana?”
“Menyelesaikan ujian terakhirku,” sahut Swan dari ambang pintu. “Dengan caraku sendiri.”
Dua hari kemudian, sebuah laporan tiba di pondok gunung itu melalui seekor merpati pos. Guru Besar Wen membacanya dengan saksama. Zhang Wei, pedagang rempah dari kota perbatasan, telah ditangkap oleh penjaga kota. Ia kedapatan menyelundupkan opium kualitas rendah yang disembunyikan di antara karung-karung kapulaganya. Kejahatan yang cukup untuk membuatnya diasingkan ke tambang garam selama dua puluh tahun. Cukup lama untuk membuatnya bungkam selamanya, tanpa setetes darah pun tumpah dari tangan Swan. Laporan itu juga menyebutkan bahwa seorang ‘saksi misterius’ telah memberikan informasi akurat tentang lokasi opium itu kepada kapten penjaga.
Saat Swan kembali ke pondok sore itu, wajahnya bersih dari emosi, Guru Wen hanya menatapnya dalam diam.
“Aku menemukan cara yang lebih baik,” kata Swan singkat, seolah tidak terjadi apa-apa.
Guru Wen menghela napas panjang, tapi ada kilat bangga di matanya yang lelah. “Kau bukan lagi muridku, Swan Xin. Kau sudah menjadi seorang ahli strategi. Ayahmu akan sangat bangga.”
Pujian itu terasa hangat, tapi juga menyakitkan. “Jadi, kapan misinya dimulai?”
Guru Wen tidak menjawab. Ia berjalan ke sebuah peti tersembunyi dan mengeluarkan kotak pernis hitam. Di dalamnya, terlipat dengan rapi, ada seperangkat jubah sutra berwarna merah delima, disulam dengan benang emas membentuk bunga peoni yang mekar. Di sampingnya, tergeletak sebuah surat keputusan kekaisaran dengan stempel giok Kaisar yang pucat.
“Misi sudah dimulai,” ujar Guru Wen. Ia menyerahkan surat keputusan itu kepada Swan.
Swan membacanya. Namanya kini bukan lagi Swan Xin, putri mendiang Jenderal Xin. Identitas barunya adalah Mei Lin, cucu jauh dari keluarga pedagang kaya di perbatasan utara, yang dipersembahkan kepada Kaisar sebagai selir baru atas rekomendasi Guru Agung Wen. Namanya sendiri menjadi perisainya.
“Selir?” Swan mendengus, nada jijik tak bisa disembunyikan. “Dari semua samaran yang ada?”
“Tidak ada yang lebih mematikan di Istana Naga selain seorang wanita cantik yang diremehkan,” kata Guru Wen. “Kau akan menjadi bunga yang indah di permukaan, tapi di bawah kelopakmu, kau adalah duri beracun.”
Swan mengambil jubah sutra itu. Kainnya terasa halus dan ringan di tangannya, sangat kontras dengan kulitnya yang kasar karena latihan bertahun-tahun. Ia menatap pantulan dirinya yang samar di jendela yang berembun. Wajahnya telah tumbuh menjadi perpaduan sempurna antara kecantikan Ibunya dan tatapan tajam Ayahnya. Senjata yang sempurna.
“Baiklah,” bisiknya. Ia mulai menanggalkan pakaian latihannya yang usang.
Guru Wen berbalik untuk memberinya privasi, namun ia berhenti saat mendengar suara logam yang samar. Ia menoleh sedikit dan melihat apa yang dilakukan Swan. Sebelum mengenakan lapisan sutra merah itu, Swan terlebih dahulu mengikat erat baju zirah rantai yang tipis namun kuat di sekujur tubuhnya. Baju zirah itu begitu halus, nyaris tak terlihat di balik lipatan kain nanti. Baju zirah yang dihadiahkan oleh Pamannya (yang telah menghilang entah kemana, sebelum tragedi itu terjadi), pada Jendral Xin, tapi karena ringan dan dari bahan yang sangat bagus, baju zirah itu diberikan pada Swan Xin.
Ia kemudian meraih jubah sutra itu dan mengenakannya. Seketika, aura seorang pejuang lenyap, digantikan oleh keanggunan seorang bangsawan. Tapi Swan, dan Guru Wen, tahu persis apa yang tersembunyi di baliknya. Pedang di balik sutra delimanya.
“Istana Naga menantimu,” kata Guru Wen pelan.
Swan berbalik menghadapnya. Matanya kini tidak lagi menunjukkan kemarahan seorang anak, melainkan ketenangan dingin seorang predator yang siap berburu.
Sebuah gulungan kecil berisi peta dan daftar nama mendarat di tangannya, dilemparkan oleh seorang Prajurit Bayangan yang tiba-tiba muncul di ambang pintu, sunyi seperti hantu.
trmkash thor good job👍❤