Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Nasi Uduk Pertama
Warung nasi uduk Mak Wati ternyata hanya sebuah tenda sederhana di pinggir jalan tak jauh dari mulut gang kos mereka. Namun, aroma nasi yang dimasak dengan santan, ditambah harumnya semur jengkol dan ayam goreng, langsung membuat perut Arjuna yang memang sudah keroncongan semakin bergejolak. Asap tipis mengepul dari dandang besar tempat Mak Wati, wanita paruh baya yang gesit, melayani para pelanggannya yang silih berganti datang – mulai dari anak sekolah, pekerja kantoran, hingga tukang ojek.
Mereka berlima berhasil mendapatkan meja kayu panjang di bawah rindangnya pohon ketapang, sedikit menjauh dari hiruk pikuk jalan raya. Pesanan datang dengan cepat: lima porsi nasi uduk komplit dengan pilihan lauk berbeda-beda. Arjuna memilih tempe orek dan telur balado, lauk yang paling terjangkau namun tetap terlihat menggiurkan.
"Nah, ini dia sumber energi anak kos!" seru Budi sambil langsung menyendokkan nasi uduk ke mulutnya. "Mak Wati ini penyelamat di tanggal tua, Jun."
Arjuna tersenyum dan mulai makan. Nasi uduknya gurih, sambalnya pas pedasnya. Suasana makan bersama teman-teman baru ini terasa menyenangkan, jauh berbeda dengan kesendirian yang ia rasakan kemarin.
"Jadi, Jun," Gofar memulai setelah beberapa suap, "Jakarta keras lho. Lebih keras dari batu ginjalnya Ucup kalau kebanyakan minum es teh manis."
Ucup yang sedang menyeruput es tehnya nyaris tersedak. "Sembarangan lo, Far! Gue sehat walafiat!" protesnya, yang disambut tawa kecil dari yang lain.
"Tapi bener kata Gofar," Toni menimpali dengan nada lebih serius. "Di sini persaingan ketat. Lo niatnya kan mau kuliah sambil kerja, kan?"
Arjuna mengangguk. "Iya, Mas Toni. Rencananya mau cari beasiswa dulu, baru sambil cari kerjaan sambilan buat biaya hidup."
"Beasiswa sekarang banyak sih," kata Ucup, setelah berhasil menenangkan diri. "Cuma ya itu, saingannya dari seluruh Indonesia. Lo harus punya nilai bagus atau prestasi non-akademik yang mumpuni."
"Lo lulusan mana, Jun? SMA di Temanggung?" tanya Budi.
"Iya, Mas. Alhamdulillah selalu dapat peringkat umum di sekolah," jawab Arjuna sedikit malu-malu.
"Nah, itu modal bagus!" seru Budi antusias. "Pinter berarti! Tinggal diasah dikit lagi cara ngomongnya biar kayak orang kota, pasti banyak cewek nempel!" candanya, yang langsung dihadiahi jitakan pelan dari Toni.
"Fokus, Bud, fokus!" tegur Toni. "Arjuna ini butuh info beneran, bukan tips modus lo yang nggak pernah berhasil."
Arjuna tersenyum. "Sebenarnya, saya juga belum tahu pasti, Mas, universitas mana yang mau dituju atau beasiswa apa yang cocok. Mungkin setelah ini mau coba cari-cari informasi di internet."
"Bagus tuh," kata Gofar. "Coba cek website kampus-kampus gede dulu. UI, UGM kalau mau yang di luar Jakarta tapi top, atau kalau di Jakarta ada banyak swasta bagus juga yang kasih beasiswa penuh kalau IPK lo stabil."
"Soal kerjaan," Toni menambahkan, "kalau buat sambil kuliah, biasanya yang banyak dicari itu kerja di kafe, jaga toko, atau kalau lo punya motor bisa jadi kurir atau ojek online. Tapi ya gitu, waktunya harus pinter-pinter bagi sama kuliah."
"Gue dulu awal-awal pernah jadi tukang cuci piring di warteg deket kampus," cerita Budi sambil terkekeh. "Lumayan, makan gratis, tapi tangan jadi bau terasi terus."
Mereka semua tertawa. Obrolan mengalir ringan, diselingi cerita-cerita lucu dan pengalaman pribadi masing-masing tentang pahit manisnya hidup sebagai anak rantau di Jakarta. Arjuna lebih banyak mendengar, menyerap setiap informasi dan nasihat yang diberikan. Ia merasa beruntung bertemu dengan mereka. Meski baru kenal, Budi dan teman-temannya tidak pelit berbagi.
"Yang penting jangan gampang nyerah aja, Jun," kata Toni ketika mereka hampir selesai sarapan. "Jakarta ini emang kadang kejam, tapi kalau lo ulet dan jujur, pasti ada jalannya."
"Dan jangan lupa, kalau ada apa-apa, kamar kita nggak jauh kok dari kamar lo," timpal Ucup, yang ternyata cukup perhatian di balik sikap pendiamnya.
Arjuna merasa hatinya menghangat. "Terima kasih banyak ya, Mas Budi, Mas Ucup, Mas Gofar, Mas Toni. Informasinya sangat membantu Arjuna."
"Santai aja kali, Jun!" Budi menepuk pundaknya. "Kita kan sekarang tetangga. Udah kayak keluarga sendiri lah di perantauan."
Selesai sarapan, mereka membayar masing-masing. Arjuna sedikit kaget karena harga seporsi nasi uduk komplit ternyata tidak semahal yang ia bayangkan, meskipun tetap saja ia harus menghitung sisa uangnya dengan cermat.
Saat mereka berjalan kembali menuju kos, Arjuna merasa lebih optimis. Bayangan tentang kerasnya Jakarta sedikit terurai dengan adanya teman-teman baru ini. Langkahnya terasa lebih ringan, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia sudah punya gambaran awal apa yang harus dilakukan hari ini: mencari warnet dan mulai berburu informasi beasiswa.
Pagi itu, setelah sarapan dan obrolan hangat, suasana di depan kos menjadi sedikit sibuk. Budi, dengan tas selempang berisi laptop tuanya, pamit untuk ke kampus karena ada kelas siang, meskipun ia lebih dulu berencana "mampir ke rental PS sebentar buat pemanasan otak," katanya sambil nyengir. Ucup, yang ternyata bekerja paruh waktu sebagai penjaga warnet tak jauh dari kos, juga berangkat dengan langkah terburu-buru. Toni, yang bekerja sebagai instruktur fitness di sebuah gym kecil, sudah lebih dulu menghilang dengan motor bebeknya. Hanya Gofar yang tampak paling santai, katanya hari ini jadwalnya "mencari inspirasi di taman kota" untuk lukisan terbarunya.
"Hati-hati, Jun!" seru Budi sebelum menghilang di tikungan gang. "Kalau ada apa-apa, ketok aja kamar gue atau Ucup!"
"Iya, Mas. Terima kasih!" balas Arjuna.
Kini, ia kembali sendirian, namun dengan semangat yang berbeda. Nasihat dan candaan teman-teman barunya masih terngiang, memberinya sedikit peta untuk menjelajahi rimba Jakarta. Tujuan pertamanya hari ini: mencari warung internet atau warnet, seperti yang disarankan Ucup, untuk memulai perburuan beasiswa.
Berbekal petunjuk seadanya dari Ucup ("Lurus aja dari gang ini, nanti ketemu perempatan, belok kiri, ada plang warnet 'KilatNet' warna biru mencolok"), Arjuna mulai berjalan kaki. Udara Jakarta sudah mulai terasa panas, debu jalanan beterbangan setiap kali angkot atau motor melintas dengan kencang. Ia mengamati sekelilingnya dengan saksama, mencoba menghafal jalan dan bangunan-bangunan di sekitarnya. Ini adalah dunia yang benar-benar baru dan berbeda.
Setelah sekitar lima belas menit berjalan, akhirnya ia menemukan plang biru mencolok itu. Warnet "KilatNet" tidak terlalu besar, berisi deretan komputer yang sebagian besar sudah terisi oleh anak-anak sekolah yang bermain game online atau orang-orang yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Arjuna memilih bilik yang paling pojok, membayar satu jam pertama kepada penjaga warnet yang mirip Ucup versi lebih tua dan lebih galak.
Dengan sedikit canggung – ini pertama kalinya ia menggunakan komputer dengan koneksi internet secepat ini – Arjuna mulai mengetikkan kata kunci: "beasiswa kuliah S1 Jakarta 2025". Ratusan hasil muncul, membuatnya sedikit kewalahan. Ia membuka beberapa tautan dari universitas negeri ternama, membaca persyaratan yang rumit dan melihat kuota penerimaan yang tampak begitu kecil dibandingkan jumlah peminat. Sempat terbersit rasa gentar.
Namun, ia teringat kata-kata Eyang Prabu dalam mimpinya, dan kehangatan cincin di jarinya seolah memberinya dorongan. Ia terus mencari, membuka halaman demi halaman. Beberapa universitas swasta juga menawarkan program beasiswa yang menarik.
Lalu, matanya tertuju pada sebuah nama yang muncul di salah satu artikel tentang "Universitas Swasta Terbaik Bertaraf Internasional di Indonesia". Nama itu adalah "Universitas Nusantara Global" (UNG). Ada foto kampusnya yang megah terpampang di sana: gedung-gedung modern dengan arsitektur yang menawan, taman-taman yang asri, dan fasilitas yang terlihat sangat lengkap. Situs web resminya menampilkan berbagai program studi yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, kerjasama dengan berbagai universitas luar negeri, dan testimoni dari alumni-alumni yang sukses berkarier di kancah global. Semuanya memancarkan aura prestise dan kualitas.
Arjuna membaca sekilas tentang program beasiswa penuh yang mereka tawarkan untuk calon mahasiswa berprestasi dari seluruh Indonesia, terutama yang berasal dari daerah dan memiliki keterbatasan ekonomi. Syaratnya memang berat, tesnya pasti sangat kompetitif. Dari segi biaya hidup jika tidak dapat beasiswa, Arjuna bahkan tak berani membayangkannya. Ini jelas bukan jenis universitas yang pernah terlintas dalam benaknya yang sederhana. Universitas negeri saja sudah terasa seperti mimpi yang jauh.
Namun, anehnya, semakin lama ia menatap layar yang menampilkan informasi tentang Universitas Nusantara Global itu, semakin kuat sebuah perasaan aneh menjalari hatinya. Bukan rasa minder atau takut, melainkan sebuah... keyakinan. Seolah ada suara samar yang berbisik di dalam dirinya, mengatakan bahwa inilah tempatnya. Seolah cincin di jarinya berdenyut sedikit lebih hangat, mengirimkan gelombang energi yang menenangkan dan memfokuskan.
Ia bahkan belum pernah mendengar nama universitas itu sebelumnya. Letaknya di bagian selatan Jakarta, jauh dari kosnya di Bekasi. Segalanya tampak tidak terjangkau. Tapi perasaan itu begitu kuat, mengalahkan semua logika dan keraguan. Ia merasa harus mencoba ke sana.
"Universitas Nusantara Global..." gumam Arjuna pelan, seolah menguji nama itu di lidahnya. Ada semacam getaran yang ia rasakan.
Ia mengklik lebih lanjut, mencari tahu detail pendaftaran beasiswa, jadwal tes, dan persyaratan dokumen. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, otaknya yang terasa lebih tajam sejak memakai cincin itu dengan cepat menyerap dan memilah informasi.
Satu jam berlalu begitu cepat. Arjuna keluar dari warnet dengan pikiran penuh. Bayangan kemegahan Universitas Nusantara Global dan keyakinan aneh yang muncul bersamanya masih begitu kuat. Ia tahu ini akan menjadi tantangan yang luar biasa besar, mungkin yang terbesar dalam hidupnya sejauh ini. Tapi untuk pertama kalinya sejak kepergian neneknya, ia merasakan sebuah tujuan yang begitu jelas, sebuah panggilan yang harus ia jawab.
Ia mengepalkan tangan, cincin di jarinya terasa mantap. "Baiklah," bisiknya pada diri sendiri. "Universitas Nusantara Global. Aku akan ke sana."
biar nulisny makin lancar...💪