Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Bayang yang Pergi"
Beberapa detik sebelum Zavian meninggalkan bar malam itu, dia sempat menatap sosok Alya, tidak mendekat, hanya menoleh sekilas—cukup lama untuk memastikan bahwa gadis di balik bar itu baik-baik saja. Tatapannya tenang, seperti orang yang terbiasa membaca keadaan tanpa perlu suara. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi, menyatu dengan malam.
Alya tentu tidak menyadarinya. Yang ia ingat hanya gemetar di ujung jarinya dan rasa lelah yang datang tiba-tiba setelah semua ketegangan reda. Malam itu berakhir tanpa insiden lanjutan, tapi sesuatu telah berubah—bukan hanya di dalam dirinya, melainkan juga di tempat ia bekerja.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang berbeda.
Pak Adi memanggil Alya ke ruang kecil di belakang bar pada sore hari, sebelum jam ramai dimulai. Wajahnya tampak lelah, ada kerutan di dahi yang tak biasa. Ia menyilangkan tangan, lalu menarik napas panjang seakan sedang menimbang kata-kata.
“Alya,” katanya pelan, “mulai hari ini, kamu pindah ke dapur, ya. Disini kurang aman untuk mu”
Alya tertegun. “Pindah… dapur, Pak?”
“Iya,” jawab Pak Adi cepat, seolah takut suaranya goyah. “Kamu tetap kerja di sini, tapi fokus di belakang. Menyiapkan minuman, bantu cuci peralatan. Lebih aman.”
Lebih aman.
Kata itu menggema di kepala Alya, sedikit lega namun tetap saja, tidak sepenuhnya aman. Ia menunduk, mengangguk pelan. Tidak ada ruang untuk membantah. Ia tahu maksud Pak Adi baik—ia memang masih terlalu muda untuk menghadapi dunia malam yang kasar.
Sejak hari itu, Alya jarang terlihat di balik bar. Musik masih berdentum sama kerasnya, lampu neon tetap berkelip menggoda, tapi dunia Alya seakan menyempit menjadi ruang dapur yang hangat dan penuh uap. Tangannya sibuk meracik minuman sesuai pesanan, mencuci gelas, menyusun botol. Ia bekerja dengan rapi dan cepat, seperti biasa, namun hatinya terasa kosong.
Kadang-kadang, ia mendengar tawa pelanggan dari kejauhan. Suara gelas beradu. Percakapan yang terputus-putus. Ia membayangkan rekan-rekannya di depan bar, bergerak lincah di bawah cahaya, sementara dirinya berada di balik tirai, tak terlihat. ia kadang berfikir *"bagaimana mereka bisa menari dan melakukan hal kotor seperti itu*"
“Dunia memang aneh,” gumamnya suatu malam saat mengeringkan gelas terakhir. “Yang salah tetap bebas datang dan pergi. Yang takut justru disembunyikan.”
Namun Alya tahu, ini bukan hukuman. Ini perlindungan. Meski rasanya tetap menyakitkan.
Beberapa hari berlalu. Tidak ada kejadian besar. Tidak ada pelanggan yang ribut. Bar berjalan seperti biasa. Tapi Alya merasa ada jarak yang tercipta—antara dirinya dan dunia luar, antara keberaniannya dan kenyataan yang memaksanya menepi.
Suatu malam, ketika ia mengantar baki berisi minuman ke pintu dapur, pandangannya menangkap sosok yang terasa familiar. Pria itu berdiri di sudut bar, tidak mencolok, tidak berisik. **Zavian.**
Ia hanya berada di sana sebentar. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti sejenak ke arah dapur. Tatapan mereka bertemu—sekilas saja. Tidak ada senyum, tidak ada isyarat. Hanya pengamatan yang tenang, seperti seseorang yang memastikan sesuatu masih pada tempatnya. Setelah itu, Zavian berbalik dan keluar.
Alya berdiri terpaku beberapa detik. Ada perasaan aneh yang menyelinap—bukan takut, bukan senang, melainkan rasa diperhatikan tanpa dinilai. Ia menggeleng pelan, kembali ke pekerjaannya, mencoba mengusir pikiran itu.
Malam demi malam, Alya mulai menata ulang caranya memandang keadaan. Ia belajar menemukan ritme di dapur, belajar bahwa bekerja di balik layar pun memiliki arti. Ia menjadi lebih cekatan, namun terkadang ada beberapa kesalahan. Pak Adi sering memujinya diam-diam, meski jarang mengatakannya langsung.
“Kamu cepat belajar,” ujar Pak Adi suatu sore. “Dan… terima kasih sudah mengerti.”
Alya hanya tersenyum kecil.
Ada hari-hari ketika ia merasa kecil—bukan karena usia, tapi karena dunia terlalu besar dan keras. Ia masih belajar berdiri, masih mencari pijakan. Tapi ada juga hari-hari ketika ia merasa kuat, karena meski dipindahkan, ia tidak dihancurkan. Ia masih bekerja. Masih bermimpi.
Di sela kesibukan dapur, Alya sering teringat ucapan Zavian malam itu: *keberanian seseorang hanya butuh sedikit dorongan*. Ia memegang kalimat itu erat-erat, seperti pegangan saat lantai terasa licin.
Suatu malam yang sepi, ketika bar hampir tutup, Pak Adi menghampirinya lagi. “Alya,” katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Aku tahu ini tidak mudah. Tapi percayalah, ini bukan akhir. Ini cuma jeda.”
Alya menatapnya, lalu mengangguk. “Saya tahu, Pak. Saya cuma… ingin dunia lebih adil.”
Pak Adi tersenyum getir. “Kita semua ingin begitu.”
Saat Alya pulang malam itu, langkahnya pelan tapi mantap. Ia menyadari sesuatu: mungkin ia disingkirkan dari sorotan, tapi bukan berarti ia kehilangan nilai. Dunia memang tidak selalu adil, terutama pada mereka yang masih muda dan rentan. Namun ketidakadilan itu tidak harus mematahkan—ia bisa menjadi alasan untuk tumbuh.
Di kejauhan, di bawah lampu jalan yang temaram, Zavian berdiri sebentar sebelum masuk ke mobilnya. Ia menoleh ke arah bar, lalu bergumam pelan, hampir tak terdengar, “Anak itu… kuat. tapi tempatnya bukan disini”
Mesin menyala. Mobil melaju. Dan Alya, tanpa mengetahuinya, telah meninggalkan kesan pada lebih dari satu orang—bukan karena ia terlihat, melainkan karena ia bertahan.
Bab ini bukan tentang kemenangan besar. Ini tentang menerima kenyataan, tentang belajar bernapas di ruang sempit, dan tentang keyakinan bahwa suatu hari nanti, Alya tidak hanya akan kembali ke depan lampu neon—ia akan berdiri di sana dengan pilihan dan kekuatannya sendiri.