"Nak!" panggil Pak Basuki. "Masih belum rela, ya. Calon suami kamu diambil kakak kamu sendiri?"
Sebuah senyum tersungging di bibir Sashi, saat ini mereka sudah ada di sebuah restoran untuk menunggu seseorang.
"Ya sudah, mending sama anak saya daripada sama cucu saya," kata sang kakek.
"Hah?" kaget Sashi. "Cucu? Maksudnya, Azka cucu eyang, jadi, anaknya eyang pamannya Mas Azka?"
"Hei! Jangan panggil Eyang, panggil ayah saja. Kamu kan mau jadi menantu saya."
Mat!lah Sashi, rasanya dia benar-benar tercekik dalam situasi ini. Bagaimana mungkin? Jadi maksudnya? Dia harus menjadi adik ipar Jendral yang sudah membuangnya? Juga, menjadi Bibi dari mantan calon suaminya?
Untuk info dan visual, follow Instagram: @anita_hisyam TT: ame_id FB: Anita Kim
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Perempuan Murahan
Hari itu, matahari merangkak naik dari balik reruntuhan dan pepohonan patah. Udara masih berbau lumpur, menyisakan aroma getir dari tragedi yang belum lama mengoyak tanah itu. Di antara aktivitas relawan dan suara peralatan medis, Sashi berdiri di sisi tenda, memeluk map data pasien yang sebenarnya tidak ia butuhkan.
Matanya tidak tenang. Sejak pagi, ia mencari-cari sosok berseragam yang jarang diam di satu titik: Komandan Dirga.
Langkah-langkah pria itu selalu cepat, teratur, dan penuh kepastian. Entah sedang mengatur logistik atau menengok pasien, Dirga hampir tak memberi celah untuk didekati.
Namun Sashi tetap berusaha.
Ia mulai mengikuti dari kejauhan. Pura-pura berjalan ke arah yang sama, padahal ia mencuri waktu untuk sekadar melihat punggung pria itu, atau mendengar suara beratnya saat memberi instruksi.
Saat Dirga memasuki rumah sakit darurat, bangunan semi permanen dari kayu dan terpal—, ashi ikut masuk dari sisi berlawanan. Di dalamnya, pasien-pasien masih terbaring lemah. Relawan medis sibuk berganti shift. Tapi mata Sashi hanya mencari satu: Dirga. Dia harus menemuinya untuk mengatakan sesuatu.
Ia pura-pura membuka mapnya, melirik ke arah Dirga yang tengah membungkuk memeriksa pergelangan seorang lansia.
"Tekanan 100/70. Stabil, tapi tetap diawasi," gumam Dirga pada suster di sebelahnya.
Sashi berjalan mendekat. Berlagak memeriksa tensimeter yang sudah tak digunakan, ia berusaha mendekatkan diri.
Namun pria itu sama sekali tidak menoleh.
Hanya sesekali alisnya berkerut seakan tahu ada sesuatu yang tak biasa.
Ketika Dirga melangkah keluar dari bangsal darurat, Sashi spontan ikut keluar. Seharusnya ia kembali kepada yang lain, tapi langkahnya malah mengikuti pria itu.
Langkah Dirga panjang dan cepat. Sashi sempat beberapa kali mempercepat langkah agar tidak kehilangan jejak. Hingga akhirnya, jalanan berbelok ke arah selatan, menjauhi area posko.
Tanah di sana masih becek, menyisakan genangan dan puing-puing. Namun Sashi tidak sadar bahwa ia sudah berjalan cukup jauh dari keramaian.
Langit mulai dipenuhi awan tipis. Daun-daun berguguran dari pohon besar yang batangnya patah separuh. Di sanalah Sashi berhenti—ia celingukan, mendapati dirinya berdiri sendirian di bawah pohon besar yang masih menghitam oleh lumpur tsunami.
"Komandan?" panggilnya pelan.
Hanya derik pepohonan dan desir debu kering yang beterbangan.
Ia melangkah setengah panik, menoleh ke kiri dan kanan. "Komandan Dirga?"
Lalu ia merasakannya. Ada sesuatu di belakangnya, Langkah yang pelan, Napas yang dalam. Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia menelan ludah, lalu perlahan menoleh.
Dirga berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya. Tegap, bersandar pada batang pohon yang menghitam, menatapnya dalam diam.
Sashi terkejut hingga mundur setapak. Namun tak sempat berkata apapun saat suara berat Dirga memecah keheningan.
"Apa yang kamu lakukan?"
Sashi terdiam.
"Ngikutin saya?"
"T-tidak, saya cuma..." suaranya gemetar. Ia mencoba menahan tatapan pria itu, tapi sulit.
Dirga melangkah maju, satu langkah saja, tapi cukup membuat Sashi membeku.
"Kamu pikir saya enggak sadar sejak tadi? Dari rumah sakit sampai ke sini?"
Sashi membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi Dirga mendahului.
"Kamu pikir saya sama seperti laki-laki yang bisa kamu goda pakai senyum manis dan tatapan caper?"
"Komandan, saya nggak—"
"Semua perempuan kayak kamu tuh sama." Suaranya dingin. "Datang-datang bawa misi kemanusiaan, sok peduli, sok jadi pahlawan. Tapi ujung-ujungnya cari perhatian. Apalagi kalau lihat pria dengan pangkat."
"Saya nggak seperti itu." Sashi menatapnya tak percaya.
"Oh ya? Ngikutin diam-diam, pura-pura periksa pasien, jalan sampai ke tempat sepi begini... itu bukan cari perhatian?"
Kedua tangan Sashi mengepal, dia merasa kalau obrolan ini sudah keterlaluan, dia hanya ingin meminta agar Dirga menjaga jarak darinya, kenapa dia malah memojokkannya seperti ini.
"Apa kamu pikir saya akan tertarik? Kayak laki-laki lain yang langsung luluh kalau kamu lempar senyum?"
"Berhenti."
"Apa kamu juga akan langsung 'menawarkan diri'? Sama seperti para wanita lain yang nggak bisa lihat seragam dan pangkat?"
"BERHENTI!!!" suara Sashi akhirnya meledak.
Matanya merah, berkaca-kaca. Nafasnya memburu seperti orang habis berlari.
"Jangan samakan saya dengan perempuan mana pun yang pernah Anda temui. Saya memang bukan orang hebat, bukan dokter, bukan tentara. Tapi saya bukan perempuan murahan yang bisa Anda hina seenaknya."
"Oh ya?" Dirga melangkah mendekati Sashi, menatap mata kiri, lalu ke kanan dan turun ke bibir. Pria jangkung itu menunduk kemudian mengecup bibir Sashi, membuat Sashi membelalak dengan jantung hampir meledak.
apa fpto ibu mbak ika dan bapaknya dirga???
penasarannnn...
❤❤❤❤❤
foto siapa ya itu?
❤❤❤❤❤❤
apa yg dibawa mbak eka..
moga2 dirga segera naik..
❤❤❤❤❤
😀😀😀❤❤❤❤
mending pulang ke rumah mertua yg sayang banget ama sashi..
❤❤❤❤❤