Damian pemuda urakan, badboy, hobi nonton film blue, dan tidak pernah naik kelas. Bahkan saat usianya 19 tahun ia masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Gwen, siswi beasiswa. la murid pindahan yang secara kebetulan mendapatkan beasiswa untuk masuk ke sekolah milik keluarga Damian. Otaknya yang encer membuat di berkesempatan bersekolah di SMA Praja Nusantara. Namun di hari pertamanya dia harus berurusan dengan Damian, sampai ia harus terjebak menjadi tutor untuk si trouble maker Damian.
Tidak sampai di situ, ketika suatu kejadian membuatnya harus berurusan dengan yang namanya pernikahan muda karena Married by accident bersama Damian. Akan tetapi, pernikahan mereka harus ditutupi dari teman-temannya termasuk pihak sekolah atas permintaan Gwen.
Lalu, bagaimana kisah kedua orang yang selalu ribut dan bermusuhan ini tinggal di satu atap yang sama, dan dalam status pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Morning Kiss
Gwen menggeliat dalam tidurnya. Tidak pernah ia merasakan tidur senyenyak ini selama hidupnya. Agak berlebihan sih memang, tapi ia berkata jujur. Dulu ranjangnya keras, sekarang ia tidur di ranjang, yang super empuk, hangat dan dalam pelukkan seseorang.
Tunggu, Gwen mulai merasa aneh. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, mendapati sosok sang suami yang tidur dengan posisi memeluk pinggangnya.
"Huaaa!"
Gwen menjerit, membuat Damian reflek membuka matanya yang agak sipit.
"Lo mau apain gue? Kok lo meluk-meluk gue!" seru Gwen, yang hanya membuat Damian memutar jengah kedua bola matanya.
"Amnesia lagi ya lo?" ujarnya.
Gwen mengingat kejadian semalam, kenapa jika didekat Damian otaknya tak pernah bekerja dengan benar.
"Semalam lo kekunci di luar karena nakutin gue, lalu lo...." Saat itu mata bulat Gwen semakin mendelik lebar. Dia ingat saat ia dengan suka rela tidur dipeluk oleh suaminya ini.
"Udah inget lo?"
Gwen mengangguk malu, matanya bahkan hampir menangis mengingat kejadian semalam. Kenapa dengan bodohnya ia mau-mau saja dipeluk Damian sedemikian erat.
Gwen mencoba meyakinkan diri, semalam ia terbawa suasana, dan kasihan. Iya, dia kasihan karena Damian sedang demam.
"Gitu aja lo mau nangis, saking terharunya apa gue peluk, gimana kalau gue cium, bisa pingsan kali lo."
Bug!
"Aduh!" teriaknya.
Gwen memukulnya dengan guling, dan tatapan yang dihunuskan tepat ke wajah Damian yang masih pucat.
"Sakit, bego!" teriaknya.
"Bodo amat, salah lo sendiri. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Semalam lo pasti guna-guna gue, ngaku lo," tuduhnya.
"Nyari peluang," lirihnya.
"Lo bilang apa?"
"Nggak bilang apa-apa gue. Gue cuma bilang kurang kerjaan amat gue guna-guna lo. Kek muka lo secantik Dilreba Dilmurat aja. Udah ah gue mau tidur, nyut-nyutan kepala gue." Damian kembali menaikkan selimutnya sebatas dada, tubuhnya meringkuk. Sungguh pagi ini kepalanya berdenyut nyeri akibat flu yang menderanya, dan kehujanan semalam.
"Lo masih sakit?" tanya Gwen agak khawatir karena penyebab Damian sakit adalah dirinya.
"Hem." Si tampan itu bergumam.
Gwen memperhatikan Damian, tubuh si preman sekolah itu sedikit bergetar. Gwen merangkak lagi ke atas ranjang, lalu menempelkan telapak tangannya ke atas dahi sang suami.
"Astaga, panas. Badan lo panas Banget, Dam. Ke dokter aja deh. Apa gue teleponin Pak Arthur dan Bu Jessica aja?"
"Nggak perlu!" sentaknya
"Kenapa?" Gwen bertanya karena penasaran.
"Nggak usah banyak nanya. Nggak usah ya nggak usah, dan jangan tanya alasannya kenapa, gue nggak mau jawab, males." Damian kembali menutup mata. 'Karena alasannya, palingan Bokap Nyokap gue nyuruh Bi Asih nganter gue ke rumah sakit, mereka mana pernah merhatiin gue. Lebih mentingin kerjaannya doang,' gerutu Damian dalam hati.
Gwen akhirnya memilih diam, melirik jam di dinding kamar yang sudah menunjuk pukul 6 lewat 15 menit, dan ia harus segera berangkat ke sekolah. Tetapi, ia juga tak tega meninggalkan Damian seorang diri di rumah dalam keadaan sakit. Sekesal apapun ia dengan Damian, tetap saja si kampret itu adalah suaminya.
"Gue buatin bubur dulu deh, ntar minum obat flu. Biar agak mendingan."
Gwen yang hampir beranjak dari ranjang, tiba-tiba lengannya ditarik kembali oleh Damian, hingga tubuh itu ambruk tepat ke atas dada bidang sang suami. Wajah mereka sangat dekat, bahkan Gwen tak bisa berkata apapun dengan jarak sedekat ini. Hanya gugup yang kini menderanya.
Jantungnya bertalu-talu, hatinya berdesir. Menatap Damian dari jarak sedekat ini, dan melihat jika suaminya ini memang benar-benar tampan membuatnya lupa diri.
Sampai saat Damian mendekatkan bibirnya, dan....
Cup.
Gwen melotot, merasakan pipinya dicium oleh Damian, ia shock. Baru kali ia mendapat perlakuan manis dari seorang pria.
Mendorong tubuh Damian, ia bergerak cepat dari atas tubuh si tampan. Memilih duduk di tepi ranjang dengan tubuh membelakangi sang suami. Jantungnya semakin berdetak sangat cepat, tak beraturan seperti habis berlari maraton.
"Lo... Lo nga-ngapain?" tanyanya dengan kosakatanya yang agak gagap.
"Nyium lo, Morning kiss. Wajah lo imut juga ternyata." Damian berkata santai.
Gwen kembali menoleh ke arah Damian, wajahnya lucu dengan bibir mencebir. "Kok lo sembarangan nyium gue?" tanyanya dengan mata mendelik.
"Kenapa emangnya?" Damian bergerak dari berbaringnya dan ikut duduk, namun kali ini wajahnya ia dekatkan dengan wajah sang istri, semakin dekat, hingga jaraknya sangatlah tipis "Gue udah halalin lo," ujarnya pelan tepat di depan wajah Gwen.
Astaga, wajah Gwen semakin memanas. Buru-buru ia berpaling. Bergerak cepat, lalu berdiri. "Gue Bikinin bubur dulu buat lo. Sakit lo udah parah kayaknya, Dam.
Suka berhalusinasi yang nggak jelas."
Buru-buru Gwen berjalan keluar dari kamar Damian.
Di depan kamar, Gwen bersandar pada pintu. "Gue kenapa sih? Ibu Gwen kenapa Bu." Ia bicara sendiri sembari menepuk-nepuk pipinya.
Di dalam kamar, Damian tersenyum sendiri sembari menggelengkan kepalanya. "Lucu juga tuh cewek," gumamnya.
Baru kali ini si preman sekolah itu bisa tersenyum tulus.
***
"Jane, Gwen nggak masuk, ya?" tanya Axel yang baru saja sampai di kelas.
Jane menggeleng pelan. "Nggak tahu, Xel. Mungkin belum dateng," jawabnya.
"Nggak mungkin, ah. Biasanya dia dateng lebih dulu dari kita, dan udah berdiri di depan gerbang ngedisiplinin bocah-bocah badung." Axel berkata sembari meletakkan tasnya di kursi tempat duduknya, yang berada tepat di belakang Jane, dan di samping Jun.
"Bener juga kata lo, Xel. Apa dia sakit, ya? Tapi kemarin baik-baik aja deh, perasaan kemarin baik-baik aja."
"Apa karena ulah Alicia kemarin, ya? Kok gue khawatir?" ujar Axel.
Jane menyipitkan mata, sejak adegan heroik Axel kemarin, gadis itu mulai curiga jika Axel menaruh perasaan terhadap Gwen.
"Lo suka ya sama Gwen?" tanyanya.
Axel dengar, namun ia pura-pura tidak mendengar jelas ucapan Jane. "Huh, apaan? Lo ngomong apaan tadi?"
"Perasaan gue ngomongnya kenceng banget deh, Xel.
Lupain aja deh." Jane memilih duduk di kursinya. Sesekali ia melirik ke belakang, melihat tingkah Axel yang seperti orang khawatir dengan kekasihnya, Jane menghela napas pelan. Kayaknya gue nggak ada kesempatan buat deketin Lo ya, Xel, 'batinnya.
Jane menyukai Axel sejak dulu, namun tak berani mengungkapkan perasaannya. Ia terlalu pengecut, dan sekarang Axel justru menunjukkan jika di juara kelas itu menyukai Gwen.
Lama terpekur dalam lamunan panjang, bahunya ditepuk dari belakang, dan tak perlu bertanya siapa pelakunya pastilah Axel.
"Jane, ntar kita ke rumah Gwen, yuk."
"Ngapain?"
"Gue khawatir sama Gwen, Jane."
Sudah Jane duga, Axel benar-benar menyukainya.
Tetapi, Jane mencoba meredam perasaannya, ia tak mau merusak persahabatan mereka.
"Emang lo tahu rumahnya apa?"
"Ya nggak, ntar nanya ke tata usaha alamat Gwen. Ajakin Jun dan Mika juga."
Jane hanya bisa mengangguk, untuk saat ini persahabatannya dengan ketiga temannya itu jauh lebih penting.
"Nih buburnya udah jadi, dimakan. Habis itu minum obat," ucap Gwen setelah menaruh semangkok bubur yang masih mengepul, segelas air putih, dan obat flu di atas nakas.
"Tar gue makan, kepala gue pusing, perut rasanya mual pen muntah." Damian menjawab tanpa berbalik. Pemuda itu masih meringkuk di bawah selimut putih yang membungkus tubuhnya.
"Lo hamil emangnya?" Gwen terkekeh setelah mengucapkan itu. Apalagi Damian langsung melempar bantal ke arah sang istri, untung meleset. Ingatkan dia, jika Gwen memiliki reflek yang bagus karena dia sering ikut turnamen bela diri sejak SMP.
"Sembarangan aja lo ngomong. Yang ada lo yang gue hamilin."
Gwen mendelik, namun si tersangka masih membelakangi tubuhnya. Jadi Gwen hanya mendengus, dan duduk di tepi ranjang Damian.
"Sekolah noh yang bener, sekolah aja lo belum bener. Pikiran lo udah ngeres aja. Naik kelas dulu, baru mikirin yang lain."
"Kalau gue naik kelas gue boleh hamilin lo gitu," candanya.
Bug!
Bantal yang tadi dilempar Damian, kini Gwen pukulkan di tubuh sang suami. "Otak lo emang perlu dicuci pakai pemutih biar bersih. Otak lo menjurus terus, kagak ada hamil-hamil. Orang kita nikah tuh karena desakan, dan salah paham. Gue nggak ada perasaan sama lo. Emang cinta itu kaya apa? Gue aja nggak ngerti."
Damian buru-buru berbalik, kini dia menghadap ke kanan, dan justru mendapati punggung sang istri. "Serius lo nggak ngerti cinta? Kuno amat lo jadi cewek."
Gwen menoleh ke belakang. " Biarin, meskipun kuno. Gue sih bangga, karena sampai sekarang gue bisa jaga kehormatan diri gue sebagai perempuan. Emangnya lo menuhin otak sama hal-hal kotor, sampai nggak naik kelas. Kasihan Pak Arthur dan Bu Jessica."
Membicarakan kedua orangtuanya, Damian langsung terdiam dengan raut wajah suram. "Jangan ngomong, kalau lo nggak tahu apapun." Dia sedang sakit, dan tak ingin berdebat atau kepalanya semakin ingin meledak nanti.
"Lo nggak sekolah?" tanyanya.
Gwen langsung menggeleng. "Nggak."
"Kenapa? Bukannya lo ketua kedisplinan? Entar reputasi lo hancur tahu rasa lo."
"Dan ninggalin lo yang lagi sakit di sini seorang diri? Sorry, gue bukan orang kejam. Masih punya rasa iba dan hati nurani. Gue juga nggak tega ninggalin lo di sini sendirian." Ucapan Gwen membungkam bibir Damian, hingga semua cercaan yang akan terlontar di bibirnya untuk Gwen, kini tertelan kembali ke tenggorokan.
"Gue pikir lo nggak sekolah karena takut sama Alicia?"
Dia terkekeh, dan kembali berbaring di ranjang.
Gwen berdecak. "Takut? Ngapain gue takut sama tuh cewek hanya karena dibully model begitu, kalaupun gue yang kena guyur air kemarin, gue balas guyur juga tubuhnya. Biar nggak semena-mena tuh jadi orang. Emang sekolah itu tujuannya buat ngebully orang, apa? Dan Lo juga, ngapain lo diem aja kemarin."
"Kan gue udah bilang, gue nggak mau pernikahan kita ketahuan satu sekolah. Emang lo mau pernikahan rahasia ini ketahuan?"
Gwen mencebirkan bibir. "Ya nggak, udah lo istirahat, gue mau telepon Pak Yus hari ini izin nggak masuk."
"Alasan lo apaan?"
"Nungguin Nenek gue yang lagi sakit," jawab Gwen seadanya.
"Parah lo nyumpahin Nenek lo."
"Orang Nenek gue udah meninggal."
Jawaban Gwen hanya membuat Damian geleng-geleng kepala.
"Udah deh lo, dimakan tuh bubur, terus minum obat biar cepet sembuh. Jangan ngrepotin gue terus lo."
Damian mendesah, mulutnya pahit. Tetapi dia ada ide buat mengerjai sang istri. Bibirnya melengkungkan senyum tipis.
"Cewek badak."
"Panggil gitu lagi gue hajar lo."
"Sensian banget sih lo, oke deh istriku." Dia mengatakannya dengan nada yang dibuat-buat.
Huek
Gwen pura-pura muntah. "Lebay lo."
"Lah lo 'kan emang istri gue."
Tak mau banyak berdebat lagi, karena Gwen sudah jengah dengan kelakuan Damian yang absurd jika tengah sakit. "Lo mau apa?"
"Galak amat lo, gue yang preman sekolah nggak segalak lo perasaan."
"Bodo amat, udah bilang lo mau apa."
Gwen melihat gerak-gerik Damian yang mencurigakan, pasti pemuda ini mau bertingkah lagi, pikirnya.
"Suapin gue."
"Huh."
"Apa lo hah heh huh, suapin gue. Itu tugas seorang
Gwen kesal, namun tetap saja kakinya melangkah mendekati Damian, dan duduk kembali di tepi ranjang. Ia mengambil bubur di atas nakas, lalu menyodorkannya ke arah Damian. "Cepetan buka mulut lo."
"Mau ngapain?"
"Katanya lo mau gue suapin, sekali lo bertingkah gue hajar lo."
"Ya tahu, tapi...." Tak melanjutkan ucapannya, justru pemuda tampan yang selalu mengaku mirip aktor Lin Yi itu menyeringai. " Gimana kalau suapinnya lewat mulut lo."
Berengsek, rasanya Gwen ingin mengguyur wajah Damian dengan bubur itu.
...***Bersambung***...