Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Meski jarak memisah sementara, namun ke khawatiran itu ada.
Pagi itu, suasana Wirantara Air terasa muram. Langit di luar jendela gedung tinggi itu berwarna abu-abu pucat, awan menggantung rendah di atas bandara yang sibuk oleh suara mesin pesawat dan pengumuman keberangkatan. Di ruangan paling atas, Shaka Wirantara berdiri diam menatap hamparan landasan pacu dari balik kaca besar yang dingin.
Kopi di mejanya sudah lama mendingin, namun pikirannya masih tertinggal pada malam sebelumnya, malam saat keluarga besar Wirantara berkumpul, malam ketika Amara berdiri di hadapan mereka semua dengan ekspresi tenang namun getir, lalu pergi sebelum fajar tiba.
Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. Seorang wanita muda masuk dengan langkah anggun, dia Karina, adik angkatnya. Wajahnya tampak manis, tapi di balik senyum lembut itu, matanya memancarkan sesuatu yang tak mudah dibaca. Ia membawa secangkir kopi baru dan meletakkannya di meja Shaka.
“Pagi, Mas Shaka,” sapanya lembut. “Kamu belum makan apapun dari tadi pagi, aku khawatir.”
Shaka hanya menoleh sekilas. “Terima kasih, Karina.”
Karina duduk di kursi seberang, menatap wajah Shaka yang tampak lelah dan penuh pikiran.
“Semalam aku lihat kamu tidak pulang ke rumah besar,” ucapnya, pura-pura prihatin.
"Mbak Amara ternyata benar-benar pergi ya," lanjutnya.
Shaka menghela napas dalam. “Ya, dia lagi mengandung padahal," katanya, Karina menatapnya dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, padahal dia tahu Amara hamil.
“Mas … kamu yakin anak itu milikmu?”
Shaka menoleh cepat, matanya tajam menatap Karina.
“Jangan bicara sembarangan.”
Namun Karina tak berhenti. Ia menunduk, memainkan sendok kecil di cangkirnya dengan nada hati-hati tapi menusuk.
“Aku cuma bilang apa yang orang lain pikirkan. Amara pergi begitu saja, tanpa pamit, setelah tahu dia hamil … siapa yang bisa jamin dia tidak menutupi sesuatu?”
“Karina.” Suara Shaka kali ini rendah namun mengandung amarah yang jelas.
“Aku tidak ingin dengar satu kata pun yang menjelekkan dia.”
Karina menatap kakak angkatnya dengan mata yang tampak berkaca-kaca, tapi bibirnya menyimpan kepuasan halus.
“Aku cuma khawatir, Mas. Aku nggak mau kamu terluka. Aku tahu kamu tidak mencintainya, tapi…”
“Cukup!” bentak Shaka, membuat ruangan itu hening seketika. Ia memalingkan wajah ke arah jendela, berusaha menenangkan dirinya, tapi jauh di dalam hati, kata-kata Karina itu menancap. Keraguan kecil yang selama ini ia tekan mulai muncul meski ia benci mengakuinya.
Pintu tiba-tiba diketuk cepat, dan seorang pria berseragam masuk.
“Permisi, Kapten Shaka,” ucapnya tegas. “Persiapan penerbangan Wirantara Virus-01 akan dimulai lima belas menit lagi. Tim sudah menunggu di ruang briefing.”
Shaka menarik napas panjang, menatap pria itu dengan tatapan yang langsung berubah profesional.
“Baik, saya segera ke sana.”
Ia mengambil jaket pilotnya yang tergantung di kursi, lalu menatap Karina sekilas.
“Jangan pernah ucapkan hal seperti itu lagi,” ujarnya dingin sebelum melangkah keluar.
Begitu pintu tertutup, Karina menatap punggung Shaka yang menjauh dengan senyum tipis.
Senyum seorang wanita yang baru saja menabur racun dan tahu, racun itu akan bekerja perlahan di hati pria yang sedang goyah.
Lorong menuju ruang briefing berbau khas bahan bakar jet dan aroma kopi hitam dari mesin otomatis di sudut ruangan. Shaka berjalan cepat, sepatu hitamnya berderap tegas di lantai marmer. Wajahnya sudah kembali pada ketenangan khas seorang pemimpin tenang, dingin, tak terguncang, meski pikirannya masih penuh riak kecil yang terus berdesir tentang Amara.
Setibanya di ruang briefing, para kru sudah duduk rapi. Peta jalur penerbangan terpampang di layar besar, menampilkan rute utama menuju Tokyo. Haris, asisten dan co-pilot kepercayaannya, segera berdiri dan menyodorkan tablet berisi laporan pra-penerbangan.
“Mesin sudah diperiksa, bahan bakar penuh, semua sistem berjalan normal, Kapten,” lapor Haris. “Cuaca sedikit berawan di jalur timur, tapi masih dalam batas aman.”
Shaka mengangguk, matanya menatap layar tanpa benar-benar fokus. “Baik, pastikan koordinasi menara berjalan lancar. Aku tidak ingin gangguan sekecil apa pun.”
“Siap, Kapten.”
Para kru mengangguk serempak. Sesi briefing berjalan cepat dan teratur. Tapi di tengah semua kesibukan itu, pikiran Shaka sesekali kembali ke wajah Amara, senyum samar yang dulu menenangkannya setiap kali ia akan terbang, juga tatapan matanya yang dingin di malam terakhir sebelum ia pergi.
“Kapten,” suara Haris memecah lamunannya, “Anda terlihat tidak seperti biasanya. Ada masalah?”
Shaka menatap rekan kerjanya itu, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada, fokus saja pada penerbangan.”
Namun Haris tahu, Shaka bukan pria yang mudah diganggu pikirannya kecuali oleh sesuatu yang sangat pribadi. Beberapa menit kemudian, briefing selesai. Shaka berdiri di hadapan seluruh tim, suaranya kembali kuat dan penuh wibawa.
“Jaga performa, tidak ada kesalahan. Kita bawa nama Wirantara di setiap penerbangan. Siap?”
“Siap, Kapten!” serempak semua menjawab.
Setelah ruangan mulai sepi, Haris menutup tablet dan berjalan mendekat. “Kapten, saya dengar Bu Amara belum terlihat sejak pagi. padahal Bu Amara adalah salah satu Pramugari senior dan kreditat bagus di Wirantara. Apa Anda sudah mencoba menghubunginya?”
Shaka berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya menggenggam gagang pintu kuat-kuat.
“Sudah,” jawabnya pelan. “Tapi dia mematikan semua aksesnya."
Haris menatapnya hati-hati. “Kalau begitu, mungkin dia hanya butuh waktu. Dia wanita yang kuat, Kapten. Dia pasti kembali, semua orang percaya Bu Amara adalah orang yang profesional, jika dia tiba-tiba mengambil cuti sesuatu pasti terjadi," timpal pria itu.
Shaka tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, tatapannya kosong sesaat. Dalam diam, hatinya menolak untuk percaya bahwa Amara akan meninggalkannya begitu saja. Tapi kalimat Karina terus bergaung,
'Kamu yakin anak itu milikmu?'
Genggamannya di pegangan pintu semakin erat. Ia menarik napas panjang, mencoba mengubur keraguan itu dalam-dalam, sebelum akhirnya melangkah menuju hanggar utama.
Sementara itu, di kediaman Marvionne, di ruang kerja Amara duduk tenang di depan komputernya.
“Nona Amara!” Zico, asisten setianya, datang tergesa dengan ekspresi panik yang jarang ia tunjukkan. Tangannya menggenggam ponsel satelit dan beberapa lembar berkas rahasia dengan logo intelijen Marvionne.
Amara menoleh, wajahnya tenang namun matanya segera menangkap sesuatu yang tidak biasa.
“Kenapa tergesa, Zico?”
Zico menarik napas berat. “Kami baru saja menerima kode darurat dari jaringan Eropa Timur. Ada kabar bahwa pembunuh berantai yang dulu kita kejar, Zane Krueger, telah bebas.”
Amara menegang. “Itu tidak mungkin … dia ditahan di penjara tingkat Omega, tak ada yang bisa keluar dari sana.”
“Benar, tapi kali ini … dia dibantu oleh sekelompok bayangan bersenjata dari sel perdagangan internasional. Seseorang menjamin dia untuk bebas,” jawab Zico cepat.
Dia meletakkan berkas di meja, memperlihatkan peta udara dan data penerbangan.
“Dan mereka sudah bergerak.”
Amara memandangi layar tablet yang menampilkan jalur penerbangan global.
“Tujuan mereka?”
Zico menelan ludah. “Mereka mengincar salah satu jet pribadi di bawah naungan Wirantara Aviation. Informasi yang kami terima, mereka menuntut akses penuh terhadap jalur distribusi kargo udara Wirantara untuk menyelundupkan barang haram. Jika tuntutan itu tak dipenuhi, mereka akan menembak jatuh pesawat tersebut.”
Amara membeku.
“Pesawat di bawah naungan Wirantara?” tanyanya perlahan, suara hampir bergetar.
“Iya, Nona. Dan ... berdasarkan jadwal penerbangan hari ini...” Zico menatapnya penuh rasa khawatir,
“pesawat yang dimaksud adalah VIRUS-01. Penerbangan hari ini menuju Tokyo,”
Darah Amara seolah berhenti mengalir. Tangannya refleks meraih sisi meja untuk menopang diri.
“Tidak...” bisiknya. “Bukan hari ini…”
Zico menatapnya bingung. “Ada apa, Nona?”
Amara menatap layar itu dengan mata berkaca, “Itu bukan sekadar jet milik Wirantara, Zico ... itu pesawat yang dikemudikan oleh Shaka sendiri.”
Hening panjang menyelimuti ruangan. Hanya terdengar desis napas Amara yang memburu dan detak jam di dinding yang terasa semakin keras.
“Berapa lama sebelum mereka bergerak?” tanya Amara tegas.
“Tak lebih dari satu jam. Kami mendeteksi komunikasi mereka di perairan utara, di mana jalur udara VIRUS-01 akan melintas.”
Amara menegakkan tubuhnya, menatap Zico dengan mata tajam, mata seorang agen yang pernah menjatuhkan sindikat internasional sendirian.
“Siapkan helikopter, aktifkan kode Shadow Protocol. Kita berangkat sekarang.”
Zico sedikit ragu. “Tapi Nona ... kondisi Anda...”
“Aku tidak peduli, Zico.”
Di luar, helikopter hitam dengan simbol Marvionne telah menyala. Zico berdiri di sisi pintu, membawa senjata laras panjang dan peta jalur udara. Sebelum naik, Amara berhenti sejenak, menatap langit senja yang perlahan gelap, memakai semua perlengkapan, dari penutup wajah hingga sarung tangan.
Helikopter pun lepas landas, membelah langit menuju utara, ke arah yang sama di mana VIRUS-01 kini sedang melaju, tanpa tahu bahwa maut sedang mengintai di udara.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka