Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelum aku pergi
"Aku ingin sekolah."
Veronika yang sedang membersihkan sisi makanan di nampan Calista sontak terhenti. Ia menoleh pada putrinya dan tersenyum tipis.
"Sayang, kamu baru pulih. Hari ini libur dulu, ya?"
Calista menggeleng pelan. "Aku ingin sekolah, Mah. Permintaan ini nggak sulit..." ucapnya lirih sambil menatap keluar jendela. "Dari dulu aku hampir nggak pernah minta sesuatu yang sulit."
"Tapi, sayang, kamu baru pulih." Veronika mencoba menenangkan dengan suara lembut. "Libur dulu, ya."
Calista menunduk, bibirnya bergetar. "Mah... sisa umur Calista tinggal..."
"Shhh." Veronika buru-buru memotong dengan cepat, nadanya tegas tapi penuh kasih. "Umur hanya Tuhan yang tahu, manusia tidak bisa menebaknya." Ia meraih tangan putrinya erat-erat. "Jangan bicara begitu lagi, Nak. Mama sama Papa akan lakukan apa pun demi kesehatan kamu."
Pelukan Veronika merengkuh tubuh Calista yang rapuh. Tubuhnya memanas air mata pun jatuh membasahi bahu putrinya, sementara Calista hanya diam, membalas dengan genggaman kecil yang hangat.
Klik! Suara pintu terbuka. Terlihat Dokter Rangga masuk sambil membawa setangkai bunga.
"Hai, Calista," sapanya hangat.
Calista menoleh dan tersenyum tipis pada Dokter Rangga yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.
"Hai, Kak," balasnya lirih.
Mata Dokter Rangga melihat sekilas Veronika yang tampak habis nangis. "Apa kedatangan Kakak mengganggu waktu kalian?" tanyanya hati-hati.
Buru-buru Veronika menggeleng. "Tidak, Dok... sama sekali." Ia lalu berbalik menatap putrinya. "Mama keluar dulu, ya, Sayang."
Calista hanya mengangguk kecil. Sebelum benar-benar pergi, Veronika sempat memberi kode lewat tatapan pada Dokter Rangga: Tolong jaga dia...
Kini tinggal mereka berdua. Dokter Rangga mendekat, lalu mengulurkan bunga berwarna merah muda yang masih segar.
"Kakak bawa bunga untuk adik kakak yang imut," ucapnya sambil tersenyum.
Calista menerimanya dengan hati-hati, lalu menghirup aromanya. "Harum... terima kasih, Kak."
Rangga mengusap lembut rambutnya. "Sama-sama, Dek. Suka?"
"Suka banget," jawab jujur Calista, senyum tipis terukir di wajah pucatnya.
"Bagaimana keadaan kamu hari ini?" tanya Dokter Rangga lembut.
"Calista sudah sehat Kak." Tatapannya penuh harap. "Calista boleh sekolah, ya? Bilang sama Mama Vero kalau aku sudah kuat, biar aku dapat izin."
Dokter Rangga menghela napas panjang. "Calista, kamu baru pulih. Istirahat dulu, libur sehari saja, ya."
Calista menggenggam erat tangan Dokter itu, matanya berkaca-kaca. "Kak... sisa hidup aku tinggal enam bulan lagi. Aku ingin menyelesaikan sekolah. Aku mohon... anggap saja ini permintaan terakhir aku."
"Calista, jangan bicara seperti itu," suara Dokter Rangga sedikit meninggi, meski penuh sayang. "Umur, rezeki, jodoh... semua hanya Tuhan yang tahu."
"Tapi Kak... aku ingin sekolah." suaranya pecah terisak. "Aku bosan di rumah sakit terus. Hiks... aku mau menghirup udara segar sebelum aku pergi, Kak..." Air matanya jatuh, membuat Rangga tak kuasa selain menariknya dalam pelukannya. Rangga memejamkan matanya, suaranya ikut serak. "Jangan bicara begitu lagi, Calista... tolong...
Di luar ruangan Nathan dan Veronika berdiri berdampingan. Tangan mereka saling menggenggam erat, seolah jadi satu-satunya penopang di tengah luka yang semakin dalam. Dari balik kaca, mereka menyaksikan putri kecil mereka berbicara dengan Dokter Rangga. Setiap kata yang keluar dari bibir Calista terasa bagi belati yang menusuk jantung.
"Mas... Calista, Mas," ucap Veronika dengan suara parau, air matanya jatuh tanpa sisa ditahan.
Nathan menunduk, rahangnya mengeras. Air matanya juga jatuh membasahi pipi. "Ini semua salah kita, Ver..." suaranya pecah. "Kalau saja dari awal kita bisa lebih cepat menyadarinya..."
Veronika menutup mulut dengan tangan, menahan isak yang semakin kuat. Ia merapatkan tubuhnya ke dada Nathan, mencari perlindungan. Namun dalam pelukan itu, mereka berdua sama-sama hancur oleh kenyataan: putri yang mereka cintai sedang menghitung hari.
♡○♡
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Ibu Mawar begitu memasuki kelas.
"Pagi, Bu." jawab murid-murid serempak.
"Keluarkan, buku paket kalian. Yang tidak bawa, keluar dari kelas," ucap Ibu Mawar dengan nada tegas yang membuat suasana langsung hening.
Calista buru-buru merogoh tasnya, tapi jantungnya seketika merosot. Buku paket itu tidak ada. Ia benar-benar lupa membawanya, berangkat dari rumah sakit tadi pagi membuat pikirannya kalut hingga hal kecil itu terlewat.
"Bagaimana ini..." gumamnya lirih, panik merayapi wajahnya. Ia tidak ingin mendapat hukuman di hari pertamanya kembali sekolah.
Xavier, yang duduk di tak jauh darinya, melirik sekilas. Ia mendengar bisikan kecil Calista. Tanpa banyak bicara, ia mengambil bukunya sendiri, lalu meletakkannya tepat di meja Calista. Gerakan itu membuat Calista menoleh, terkejut.
Langkah sepatu berderap mendekat. Ibu Mawar berhenti di depan meja Xavier.
"Xavier, mana buku paketmu?" tanyanya, tatapannya tajam.
"Lupa," jawab Xavier singkat, wajahnya tetap datar.
Ibu Mawar menarik napas panjang, jelas menahan kesal. "Keluar. Berdiri di depan kelas sampai pelajaran Ibu selesai."
Tanpa membantah, Xavier bangkit. Langkahnya tenang, sikapnya dingin, seolah hukuman itu tidak berarti apa-apa.
"Sekarang buku halaman 43," lanjut Ibu Mawar, kembali pada papan tulis.
Calista menoleh ke jendela. Dari sana, ia melihat Xavier berdiri tegak dengan tatapan kosong, sama sekali tak menunjukkan arah penyesalan. Namun, di dalam dadanya, ada sesuatu yang bergemuruh.
"Tadi... dia mengorbankan bukunya untuk aku. Seharunya aku yang dihukum."
Tangannya mencengkeram pulpen, matanya menunduk halaman kosong. Tapi pikirannya terus kembali pada sosok Xavier. "Kenapa dia... melakukan itu untukku." bisiknya lirih.
Degup jantungnya semakin kencang. Rasa bersalah menyelimuti, tapi di balik itu, ada sesuatu yang lain—kagum, hangat, dan sulit dijelaskan. Xavier, yang selama ini dikenal sebagai murid pembangkang, justru melindunginya tanpa sepatah kata.
Dring! Dring
Bel tanda istirahat berbunyi. Ibu Mawar menutup pelajaran dan bersiap meninggalkan kelas. Saat melewati pintu, tatapannya sempat singgah pada Xavier yang masih berdiri di depan kelas dengan wajah datar.
"Hukumanmu selesai. Lain kali jangan lupa bawa buku," ucapnya singkat, lalu meninggalkan kelas.
Xavier menghela napas pelan. Ia melangkah menuju pembatas, menatap murid-murid yang berlalu lalang di lapangan.
"Vier..." panggil Alvaro, sahabatnya, yang menghampiri. "Tumben lo nolongin orang. Cewek lagi. Jangan-jangan lo suka, ya?" goda Alvaro sambil menyenggol bahu Xavier.
Xavier hanya melirik sekilas. "Jangan asal ngomong lo," balasnya ketus.
Tak lama kemudian, suara lembut menyapanya. "Xavier."
Calista berdiri di belakangnya, membuat Xavier dan Alvaro serempak menoleh.
"Ada apa?" tanya Xavier dengan ekspresi datarnya.
"Terima kasih... kamu udah nolongin aku. Padahal aku nggak apa-apa kalau harus kena hukuman," ucap Calista pelan.
Xavier menyahut cepat, "Gue malas duduk di kelas. Jangan salah paham." Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik pergi, diikuti Alvaro.
Calista hanya bisa terdiam, matanya mengikuti punggung keduanya sampai menghilang di antara kerumunan. Tiba-tiba rasa mual menyerang. Perutnya melilit, membuat ia refleks menutup mulut dengan tangannya. Menahan sekuat tenaga, ia bergegas menuju toilet.