Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 DI BALIK PINTU TERTUTUP.
Pesta masih riuh, namun suasana di sekitar mereka terasa menyesakkan. Alya berusaha menjaga wibawa, melangkah menjauh dari kerumunan setelah insiden memalukan tadi. Ia ingin segera pergi sebelum ada lebih banyak pasang mata yang memperhatikannya.
Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah tangan kuat menggenggam pergelangannya.
“Alya,” suara Arga tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. “Ikut aku.”
Alya menoleh, tatapannya tajam. “Lepaskan, Arga. Aku tidak ingin membuat keributan di sini.”
Tapi Arga justru menariknya, tanpa peduli pada lirikan-lirikan tamu di sekitar. Dengan wajah dingin dan langkah pasti, ia menyeret Alya keluar ballroom, melewati lorong panjang hingga sampai di lift.
“Apa yang kau lakukan?!” bisik Alya dengan nada tertahan, wajahnya masih tetap berusaha tenang.
“Meluruskan semuanya,” jawab Arga singkat.
Lift bergerak naik, ke lantai tempat kamar-kamar VIP berada. Alya hanya bisa diam, jantungnya berdetak keras, bukan hanya karena marah, tapi juga karena gugup.
Begitu pintu lift terbuka, Arga menuntunnya masuk ke salah satu kamar hotel. Pintu ditutup, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang menekan.
Alya menarik tangannya dengan kasar, lalu berbalik menatapnya. “Apa maksudmu membawa aku ke sini? Kau tahu apa yang akan orang pikirkan kalau mereka tahu?” Ucap Alya " Kamu telah meninggalkan tunanganmu "
Arga berjalan mendekat, wajahnya serius, mata hitamnya menatap dalam ke arah Alya. “Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Yang aku pedulikan sekarang hanya satu kebenaran.”
Alya terdiam, menahan napas.
“Lima tahun lalu…” Arga melanjutkan, suaranya menurun namun penuh tekanan. “Kenapa kau pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun? Dan lebih dari itu kenapa kau biarkan aku percaya pada semua cerita kotor yang mereka sebarkan tentangmu?”
Alya menunduk, jemarinya menggenggam gaunnya erat. Hatinya bergejolak mendengar pertanyaan itu. Ia tahu, cepat atau lambat, saat ini pasti datang.
“Arga…” suaranya pelan, hampir bergetar. “Aku pergi karena aku tidak punya pilihan. Aku bukan siapa-siapa di rumah itu. Tidak ada yang menganggapku… bahkan kau—”
“Jangan bilang aku tidak menganggapmu!” potong Arga cepat, nadanya meninggi. “Aku.. aku mencarimu, Alya. Aku menunggumu. Tapi yang aku dapat hanya kabar-kabar busuk yang mereka sebarkan.”
Alya menutup mata sejenak, menahan rasa sakit yang kembali menyeruak. Air matanya hampir pecah, tapi ia menahannya sekuat tenaga. Ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Arga.
“Apa kau benar-benar percaya dengan apa yang mereka katakan waktu itu?” tanyanya lirih, akhirnya menatap mata Arga.
Arga terdiam. Tatapannya goyah, ada penyesalan yang jelas terpancar. “Aku… aku ingin percaya padamu. Tapi kau tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk mendengar penjelasanmu.”
Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara napas mereka yang terdengar, berat dan penuh beban masa lalu.
Alya melangkah mundur, mencoba menjaga jarak. “Kalau begitu, anggap saja malam ini kebetulan. Kita bertemu lagi, ya… tapi aku bukan Alya yang dulu. Aku kembali hanya untuk pekerjaanku. Tidak lebih.”
Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, Arga bergerak cepat, berdiri tepat di hadapannya. Tatapan matanya tajam, penuh tekad.
“Alya,” suaranya rendah namun bergetar, “aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja untuk kedua kalinya. Bukan kali ini.”
Alya menahan napas, hatinya berdegup kencang. Ia tahu, badai yang ia hindari lima tahun lalu kini berdiri di hadapannya, menuntut jawaban.
Arga menahan teguk leher Alya, Arga mencium dan...
#SKIP