NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Menerima Tawaran

Nayla baru saja keluar dari kamar rawat pasien ketika tiba-tiba seseorang menyapanya.

"Permisi, Nona...," suara seorang wanita membuat Nayla menoleh.

Nayla tersenyum sopan. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" tanyanya ramah.

Wanita itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri, "Nama saya Gabriella Mahesa, biasa dipanggil Gaby."

Nayla menerima uluran tangan itu, memperkenalkan dirinya juga, "Saya Nayla Ardiansyah, Nyonya. Senang berkenalan."

Setelah perkenalan singkat, Gaby bertanya dengan lembut, "Kalau boleh tahu, apakah kamu sedang sibuk, Nayla?"

Nayla, meski sedikit gugup, mengangguk sopan. "Kebetulan sekarang jam istirahat saya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"

Gaby tersenyum lega. "Kalau begitu, bisakah kita berbicara sebentar? Kita cari tempat yang nyaman."

"Baik, Nyonya," jawab Nayla, meski hatinya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dibicarakan wanita ini.

Mereka berjalan beriringan menuju taman rumah sakit. Suasana sore itu cukup tenang, hanya terdengar suara burung dan sesekali deru angin.

Setelah menemukan bangku kosong, mereka pun duduk.

Gaby membuka pembicaraan dengan nada hangat, "Mungkin kamu heran kenapa saya, orang asing, tiba-tiba mengajakmu bicara."

Nayla tersenyum kecil, menunggu penjelasan.

"Tadi tanpa sengaja saya melihat bagaimana kamu memperlakukan pasien yang kamu rawat," lanjut Gaby. "Saya bisa melihat kesabaran dan ketulusanmu saat merawatnya. Tidak semua orang punya ketulusan seperti itu."

Nayla menunduk malu. "Itu memang sudah menjadi tugas saya, Nyonya. Tapi jujur, saya memang sangat menyukai pekerjaan ini. Merawat orang lain membuat saya merasa berguna."

Gaby mengangguk mengapresiasi. "Kamu pasti orang yang kuat ya, Nayla? Kalau boleh tahu, kamu tinggal dengan siapa?"

Sejenak Nayla terdiam, lalu menjawab dengan suara sedikit bergetar, berusaha tetap tegar, "Saya tinggal bersama ayah saya, Nyonya. Ibu saya sudah lama meninggal dunia."

Wajah Gaby ikut berubah sendu mendengar jawaban itu. Ia lalu bertanya, "Ayahmu, apakah beliau sehat?"

Nayla menggelengkan kepala perlahan. "Ayah saya sakit parah, Nyonya. Beliau mengidap gagal ginjal stadium lanjut dan harus menjalani cuci darah rutin. Saat saya bekerja, bibi saya—adik ayah—yang membantu menjaga beliau di rumah."

Mendengar itu, hati Gaby terasa tersentuh. Ia bisa memahami beban berat yang Nayla pikul. Biaya pengobatan seperti itu tentu sangat besar.

Setelah beberapa saat terdiam, Gaby akhirnya mengutarakan maksud pertemuannya.

"Sebenarnya, Nayla, ada sesuatu yang ingin saya tawarkan," ucapnya perlahan. "Putra saya, Leon, mengalami kecelakaan sekitar sebulan yang lalu. Akibatnya, ia mengalami kelumpuhan. Selama ini, saya sudah mencoba mempekerjakan beberapa perawat, tapi tak satu pun yang bertahan. Leon menjadi sangat temperamental sejak kejadian itu."

Nayla mendengarkan dengan seksama.

"Saya membutuhkan seseorang yang sabar... seperti kamu," lanjut Gaby penuh harap. "Saya ingin menawarkan pekerjaan kepada kamu, untuk menjadi perawat pribadi putra saya di rumah."

Nayla terkejut. Ini jelas di luar dugaan.

"Dan saya sangat berharap pada mu, Nay," sambung Gaby cepat, menangkap keraguan di mata Nayla. "Saya akan memberikan bayaran yang sangat layak. Mengenai pekerjaanmu di rumah sakit ini, biarkan saya yang berbicara dengan pihak manajemen. Dan satu lagi, saya harap kamu bisa tinggal di rumah saya, supaya bisa selalu ada untuk Leon."

Nayla terdiam. Banyak hal berkecamuk dalam pikirannya. Ia sadar, tawaran ini bisa membantu biaya pengobatan ayahnya, tapi tentu ini bukan pekerjaan mudah.

Dengan hati-hati, Nayla berkata, "Maaf, Nyonya Gaby. Sebelum saya memberikan keputusan, izinkan saya berbicara dulu dengan ayah dan bibi saya."

Gaby mengangguk penuh pengertian. "Tentu saja, Nayla. Saya paham ini bukan keputusan yang mudah. Tapi saya berharap kamu mau mempertimbangkannya."

Gaby lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkan sebuah kartu nama kepada Nayla.

"Ini kartu nama saya. Kamu bisa menghubungi saya kapan saja setelah kamu berdiskusi dengan keluargamu," kata Gaby sambil tersenyum lembut.

Nayla menerima kartu nama itu dengan kedua tangan. "Terima kasih, Nyonya Gaby. Saya akan segera memberi kabar."

Mereka pun berpisah dengan perasaan berbeda. Nayla membawa harapan baru untuk keluarganya, sementara Gaby membawa sedikit kelegaan, berharap Tuhan membukakan jalan agar Nayla menjadi jawaban atas kebuntuannya selama ini.

---

Setelah jam kerja selesai, Nayla segera pulang ke rumah sederhananya.

Rumah kecil itu mungkin tak seberapa, namun bagi Nayla, di sanalah semua kenangan masa kecilnya tersimpan. Di dinding ruang tamu, masih tergantung beberapa foto keluarga yang sudah mulai memudar warnanya, menjadi saksi bisu kasih sayang seorang ibu yang kini telah tiada.

Kini, rumah itu hanya dihuni Nayla dan ayahnya yang tengah sakit.

Rumah bibi Nayla, adik dari sang ayah, berada persis di sebelah rumah mereka. Sejak ibunya meninggal, sang bibi-lah yang selalu hadir, membantu dan menjaga mereka berdua tanpa mengeluh.

Malam itu, setelah makan malam sederhana bersama, Nayla sengaja meminta bibinya untuk tidak buru-buru pulang.

"Bibi, jangan pulang dulu, ya? Ada hal penting yang ingin Nayla bicarakan," pinta Nayla lembut.

Sang bibi, seorang wanita paruh baya berhati hangat, mengangguk. "Ada apa, Nak? Ceritakan saja."

Ayah Nayla yang duduk bersandar di kursi roda juga memandang putrinya penuh perhatian.

Nayla menarik napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata.

"Siang tadi, saat Nayla kerja di rumah sakit, ada seorang yang menemui Nayla," Nayla mulai bercerita. "Beliau menawari Nayla sebuah pekerjaan , untuk menjadi perawat pribadi putranya yang sedang lumpuh akibat kecelakaan."

Sang bibi dan ayahnya menyimak dengan seksama.

"Nayla sempat ragu...," lanjut Nayla, suaranya bergetar, "karena pekerjaannya bukan hanya merawat, tapi Nayla juga harus tinggal di rumah mereka, supaya selalu bisa mengurus putranya."

Sang bibi bertanya lembut, "Bagaimana dengan pekerjaanmu di rumah sakit, Nak?"

Nayla menjawab, "Nyonya Gaby—beliau yang menawarkan pekerjaan itu—katanya akan berbicara langsung dengan pihak rumah sakit. Jadi Nayla tidak perlu khawatir soal izin atau cuti."

Ayah Nayla masih diam, wajahnya tampak berat.

"Bibi..." Nayla menoleh pada bibinya dengan mata berkaca-kaca, "Selama Nayla menginap di rumah majikan, Nayla mohon... tolong bantu jaga Ayah. Nayla tidak mungkin tenang kalau tidak ada yang menemani Ayah di rumah."

Sang bibi, dengan suara yang sedikit bergetar menahan haru, menjawab, "Tentu, Nak. Selama ini juga Bibi sudah menganggap kalian seperti anak sendiri. Bibi akan bantu semampu Bibi."

Nayla menggenggam tangan bibinya erat, berusaha menahan air mata.

"Lagipula," lanjut Nayla, berusaha tersenyum, "kalau Nayla menerima pekerjaan ini, Nayla bisa mendapatkan gaji yang lebih besar. Uang itu bisa Nayla pakai untuk biaya cuci darah Ayah, beli obat, dan juga sedikit-sedikit bantu kebutuhan Bibi."

Sang ayah yang dari tadi hanya diam akhirnya bersuara, suaranya parau dan berat.

"Maafkan Ayah, Nak... karena sakit ini, kamu harus bersusah payah."

Nayla segera berlutut di depan ayahnya, memegang kedua tangan lelaki tua itu.

"Jangan pernah berkata seperti itu, Ayah," ucap Nayla sungguh-sungguh. "Bagi Nayla, merawat Ayah adalah kehormatan. Ini adalah cara Nayla membalas semua kasih sayang Ayah sejak Nayla kecil."

Sang ayah menunduk, matanya memerah, menahan air mata yang hampir jatuh.

Suasana malam itu penuh dengan kehangatan meski sederhana.

Mereka bertiga, keluarga kecil yang saling mencintai, saling menguatkan satu sama lain di tengah ujian hidup yang berat.

Setelah suasana sedikit tenang, Nayla kembali berkata, "Besok Nayla akan menghubungi Nyonya Gaby untuk mengabarkan keputusan Nayla. Mohon doanya, ya, Bibi... Ayah..."

Sang bibi dan ayahnya mengangguk penuh restu.

Dengan tekad yang bulat, Nayla pun bersiap untuk memasuki babak baru dalam hidupnya, dengan harapan bahwa semua yang dilakukannya ini kelak akan membuahkan kebaikan bagi keluarganya.

1
murniyati Spd
sangat bagus dan menarik untuk di baca /Good/
Guchuko
Sukses membuatku merasa seperti ikut dalam cerita!
Ververr
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
Zani: Terimakasih sudah mampir kak🥰, ditunggu update selanjutnya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!