Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 16
Pagi itu, untuk pertama kalinya sejak seminggu terakhir, Bianca bangun dengan perasaan ringan.
Bukan karena hidupnya tiba-tiba membaik, melainkan karena hari ini ia punya tujuan yang benar-benar miliknya.
Bianca bangun lebih awal dari biasanya. Cahaya matahari pagi menembus celah tirai kamar, jatuh lembut ke lantai. Ia duduk di tepi ranjang sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum kecil pada bayangannya sendiri di cermin.
Hari ini wawancara kerja.
Setelah mandi dan menata diri, Bianca memilih kemeja lengan panjang berwarna biru muda. Warna itu membuat kulitnya tampak lebih cerah. Ia memadukannya dengan celana panjang krem yang jatuh pas di pinggang, memberi kesan profesional sekaligus menonjolkan kaki jenjangnya.
Rambutnya dikuncir rapi ke belakang sederhana, tapi memberi kesan tegas. Tidak ada helai yang dibiarkan jatuh sembarangan. Bianca ingin terlihat percaya diri, bukan hanya cantik.
Ia merias wajahnya ringan. Foundation tipis, alis yang dibentuk natural, sedikit perona pipi, dan lipstik bernuansa nude pink. Wajahnya tampak segar, seperti seseorang yang siap menghadapi dunia, bukan perempuan yang hidup dalam pernikahan dingin.
Bianca mengambil tas berwarna senada dengan celananya, memasukkan map berisi portofolio dan CV yang sudah ia siapkan sejak semalam.
Di depan cermin, Bianca berputar perlahan.
Ia merapikan kerah kemeja, mengencangkan kuncir rambutnya, lalu menatap dirinya sendiri cukup lama. Ada kilau tekad di matanya kilau yang tidak muncul karena siapa pun, tapi karena dirinya sendiri.
“Kamu bisa,” gumamnya pelan.
Bukan untuk Sadewa.
Bukan untuk Mama Hanum.
Bukan untuk siapa pun.
Untuk Bianca Kartika.
Ia mengambil ponsel dan kunci, melangkah keluar kamar dengan langkah mantap. Pagi itu, apartemen yang biasanya terasa dingin, seolah hanya menjadi titik awal bukan lagi penjara sunyi.
Dan tanpa ia sadari, pagi dengan semangat itu akan menjadi awal perubahan kecil… yang kelak mengguncang banyak hal, termasuk hati seseorang yang selama ini memilih menutup mata.
Pagi itu apartemen masih diselimuti keheningan ketika Bianca berdiri di depan pintu kamar Sadewa. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya, lalu mengetuk pintu itu dengan pelan dua kali, sopan, tidak tergesa.
Tidak ada jawaban.
Bianca menunggu beberapa detik, lalu mengetuk sekali lagi. Kali ini terdengar suara langkah malas dari dalam, disusul bunyi kunci diputar.
Pintu terbuka setengah.
Sadewa muncul dengan kaus rumah berwarna gelap, rambutnya acak-acakan seperti belum tersentuh sisir, matanya setengah terpejam. Ia menguap lebar tanpa berusaha menutupinya, jelas baru terbangun.
“Ada apa?” tanyanya serak.
Namun kata-kata itu seolah berhenti di tenggorokannya sendiri.
Di hadapannya berdiri Bianca rapi, wangi, dan begitu berbeda dari Bianca yang biasa ia lihat di apartemen. Kemeja biru muda yang jatuh pas di tubuhnya membuat kulit Bianca tampak cerah, celana krem yang ia kenakan menegaskan kaki jenjangnya, dan kunciran rambutnya memberi kesan profesional sekaligus anggun. Wajah Bianca terlihat segar, matanya berbinar, senyumnya lembut.
Sadewa terpaku beberapa detik terlalu lama.
Ada sesuatu yang mengusik dadanya. Perasaan asing yang cepat-cepat ia tepis.
Ia menggeleng kecil, seolah mengusir pikiran yang tidak seharusnya muncul. “Pagi-pagi begini kenapa?” tanyanya akhirnya, nadanya kembali datar.
Bianca tersenyum, senyum yang tidak dibuat-buat. “Aku mau pamit.”
Sadewa mengangkat alisnya samar. “Pamit ke mana?”
“Aku ada wawancara kerja hari ini,,kan kemarin aku udah ngomong” jawab Bianca ringan, tapi ada semangat yang tak bisa ia sembunyikan. “Di bagian perancangan.”
Sadewa menatap Bianca lagi, kali ini lebih sadar. Wawancara. Kerja. Dunia Bianca yang selama ini berjalan sendiri, tanpa dirinya.
“Oh,” katanya singkat. “Ya.”
Itu saja.
Tidak ada pertanyaan di mana. Tidak ada ucapan semoga berhasil. Tidak ada rasa ingin tahu. Sadewa hanya mengangguk kecil, refleks, seperti kebiasaan.
Bianca tidak terlihat kecewa. Ia sudah terbiasa dengan respons seperti itu. Ia hanya mengangguk balik, lalu melangkah setengah langkah lebih dekat.
“Aku pergi dulu,” ucapnya lembut.
Sadewa hendak menutup pintu ketika tiba-tiba Bianca menunduk sedikit. Gerakannya halus, penuh tata krama. Tangan Bianca meraih tangan Sadewa tangan yang masih hangat karena baru bangun tidur lalu ia mencium punggung tangan itu dengan penuh hormat.
Tidak terburu-buru.
Tidak canggung.
Tulus.
Seperti seorang istri yang meminta ridho suaminya sebelum melangkah pergi.
Sadewa membeku.
Seluruh tubuhnya seolah kehilangan kemampuan bergerak. Otaknya kosong, tidak siap memproses sentuhan itu. Bukan ciumannya yang membuatnya terkejut melainkan maknanya.
Bianca melakukan itu bukan karena kewajiban kontrak.
Bukan karena tuntutan siapa pun.
Tapi karena ia memilih melakukannya.
“Doain ya,” ucap Bianca pelan setelah melepas tangan Sadewa, matanya menatap lurus dengan ketenangan yang anehnya menyesakkan.
Sadewa membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu apa pun tapi tidak ada suara yang keluar. Lidahnya kelu. Dadanya terasa sempit.
Bianca tidak menunggu jawabannya.
Ia tersenyum sekali lagi, lalu berbalik. Langkahnya cepat, nyaris berlari menuju pintu apartemen, seolah jika ia terlalu lama di sana, keberaniannya akan runtuh.
Pintu terbuka.
Pintu tertutup.
Dan Bianca menghilang dari pandangan.
Sadewa masih berdiri di ambang pintu kamarnya, tangannya terangkat setengah, posisi yang sama seperti saat Bianca mencium tangannya. Udara pagi terasa berbeda. Terlalu sunyi.
Ia menatap tangannya sendiri.
Tangannya yang baru saja disentuh dengan penuh hormat oleh perempuan yang tidak pernah ia inginkan… tapi kini justru meninggalkan bekas yang sulit diabaikan.
“Kenapa dia begitu…,” gumamnya lirih, entah pada siapa.
Ia kembali masuk ke kamar, menutup pintu, bersandar di sana. Rambutnya masih acak-acakan, matanya menatap kosong ke lantai.
Bianca seharusnya menuntut.
Bianca seharusnya marah.
Bianca seharusnya membencinya.
Tapi yang Bianca lakukan justru sebaliknya.
Dan itulah yang membuat Sadewa gelisah.
Di luar, Bianca berjalan cepat menuju lift. Begitu pintu lift menutup, senyumnya memudar perlahan. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, menghembuskan napas panjang yang baru ia sadari sejak tadi ia tahan.
Tangannya masih bergetar sedikit.
Ia tidak tahu kenapa ia mencium tangan Sadewa tadi. Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada yang mengharuskan. Tapi ia tahu satu hal—meski pernikahan ini tidak ia inginkan, ia tidak ingin kehilangan dirinya sendiri.
Ia tetap ingin menjadi Bianca yang dibesarkan dengan nilai, dengan hormat, dengan harga diri.
Lift turun perlahan.
Bianca merapikan bahunya, menegakkan kepala, dan ketika pintu lift terbuka, ia kembali melangkah keluar dengan langkah mantap.
Hari itu, Bianca pergi sebagai seorang perempuan yang sedang memperjuangkan masa depannya.
Dan tanpa ia sadari, pagi sederhana itu telah meninggalkan retakan kecil namun nyata di hati seorang pria yang selama ini mengira dirinya kebal terhadap apa pun.